Cerita dari tana toraja
4 posters
Halaman 1 dari 1
Cerita dari tana toraja
Awalnya, ajakan menonton sabung ayam itu datang dari Adi, teman saya yang juga pemilik rumah toko di sekitar Pasar Sentral Makale, Tana Toraja. Namun waktu ia menceritakan bagaimana penonton dan pemilik ayam lari tunggang-langgang bila aparat polisi datang mengepung, kesan saya biasa-biasa saja; bahkan ogah-ogahan menanggapinya. Ah, itu sih sudah lumrah, kataku dalam hati.
Sewaktu bersekolah di SMA dulu pun saya bersama teman sering ke tempat sabung ayam yang berada di seberang sungai di Rappang. Nah, kali ini yang mengajak adalah Adi, yang memang seorang penggila ayam sabung. Di salah satu lantai rukonya yang bertingkat tiga, saya dapati jejeran kandang bambu yang berisi ayam jantan melulu, dari anak ayam jantan sampai yang sudah dewasa; dari ayam kampung, ayam katai, ayam hutan, hingga ayam bangkok.
Ajakan itu saya tampik diam-diam. Tapi sepertinya, Julie, teman dari Kanada yang sudah dua bulan magang di Ininnawa, dan ikut dalam perjalanan ini, ingin sekali melihat adu ayam jago itu karena jelas ini benar-benar baru baginya.
Hari pertama adalah hari yang hujan. Kami hanya sempat datang ke Londa dan Kete’ Kesu. Di hari berikutnya baru kami sempatkan ke Pasar Hewan Bolu. Sekitar satu jam melihat tedong bonga (kerbau bulai) dan babi yang semok-semok, kami beringsut ke daerah jembatan untuk menunggu mobil yang hendak menuju ke Batutumonga. Awalnya kami ragu ketika Awal, kawan yang mengantar, mengajak ke tempat sabung ayam di Sa’dan. Tapi mobil angkutan yang siap ke sana sudah berhenti di depan kami.
Dengan menumpang mobil Kijang, kami berlima menuju ke Sa’dan. Kami hanya dapat kursi paling belakang dan harus duduk berdesakan. Dalam perjalanan, kami sempat berpapasan dengan dua mobil polisi. Satu mobil jip dengan sirine di atapnya dan satunya lagi mobil pengangkut personil dengan bangku berhadap-hadapan. Polisi itu, katanya, sepertinya baru dari lokasi sabung ayam. Tapi tak ada penduduk di atas mobil truk selain petugas. Jangan-jangan sudah bubar, timpalku.
Lima belas menit kemudian kami tiba. Tapi mobil yang kami tumpangi tak bisa masuk karena jalan disesaki motor dan mobil yang diparkir di pinggir jalan. Semua penumpang turun. Saya tertawa, ternyata segenap penumpang yang berada di atas mobil tadi punya tujuan yang sama, yakni menonton sabung ayam. Kami jalan kaki masuk ke penyabungan. Tak saya sangka, di sana sudah ada penjual makanan yang menghampar jualan di bahu jalan seperti penjual tenteng (kacang karamel berbungkus kulit jagung), belut (dari Bugis — begitulah yang sering saya dengar dari Awal dan Adi) di ember-ember, dan ballo (tuak) yang disaji dalam bilah bambu muda. Tak ketinggalan juga lotto (lotre totalisator atau undian dadu). Suasana di sana tak ubahnya pasar. “Ayo siapa yang mau merokok, cukup pasang seribu,” teriak si empunya usaha untung-untungan itu.
Turun ke bawah di sekitar bantaran sungai yang mengalir sampai ke Selat Makassar itu, tenda batangan bambu beratap terpal didirikan mengelilingi sebuah tenda kecil. Di bawahnya, seorang lelaki separuh baya, dengan parang diikat di pinggang, sedang meratakan tanah dengan cara menginjak-injaknya. Di sekitar arena, masih banyak kantong plastik penyok karena terinjak penonton. Sepertinya lahan itu adalah tempat persemaian.
Tidak berapa lama adu ayam jago segera dimulai. Dua orang menenteng ayam jantan bertaji masuk ke bawah tenda. Seorang di antaranya diberi sebuah bandana yang berhias bulu ayam oleh panitia. Cepat saja para penonton gaduh. Tenda digaduhi suara yang serupa dengan bunyi kodok di musim hujan, “Bekebekebeke … Bekebekebeke” sambil menyodorkan uang ke penonton lainnya; tanda mengajak taruhan.
Rupanya yang mereka maksud dalam teriakan itu adalah pa’beke’, orang yang diberi bandana (beke’) itu. Ikat kepala itu sendiri sebagai tanda agar para petaruh dan penonton tidak jadi bingung ayam siapa gerangan yang mereka jagokan. Tapi suara itu segera berhenti begitu dua ayam tersebut sudah dilepas oleh pemiliknya. Pertarungan dimulai!
Sesekali terdengar seruan panjang bersamaan “Ooooh!” dari penonton bila salah satu ayam mengumbar pukulan telak ke lawannya.
Yang ikut taruhan rupanya bukan cuma para lelaki. Di bagian tenda tempat saya menonton terdapat deretan perempuan muda dan tua. Mereka duduk membaur dan berteriak “bekebekebeke” mengajak uji peruntungan, baik sesama perempuan maupun menyodorkan uang taruhannya ke para pemuda dan bapak-bapak.
Di pertandingan yang ketujuh, saya yang sedang asyik menikmati kopi susu terkaget oleh seruan serentak “ooh!” yang pendek namun bulat dari penonton. Saya kaget berdiri mencari tahu apa gerangan yang terjadi. Ternyata salah satu ayam yang berkelahi itu sekali pukul saja sudah roboh. “Kalau begitu, biasanya kena taji jantungnya,” terang Awal. Benar! Ayam itu langsung roboh. Panitia segera menghampiri bangkai ayam itu dan memotong bagian kaki yang bertaji untuk diberikan ke pemiliknya. Sementara bangkainya diberikan ke sang pemenang.
Tradisi Menghibur
Paramisi sendiri awalnya hanya tradisi sabung ayam tanpa taruhan yang digelar untuk mengumpulkan orang sebanyak mungkin dan menghibur keluarga yang berduka. Mungkin semacam takziah-nya masyarakat Toraja. Tapi belakangan tradisi itu disebut-sebut mulai “dibisniskan”. Beberapa orang mengatakan, meski keluarga yang berduka enggan melaksanakannya, namun bila ada tetangga yang ingin menggelarnya, itu tidak jadi masalah. Selama si pelaksana diberi izin oleh keluarga yang berduka dan mampu menanggung semua akibat-akibat yang timbul karena penyelenggaraan paramisi, seperti membangun tenda sampai membayar upeti kepada petugas keamanan agar acara tak dilarang.
Sudah rahasia umum kalau rata-rata membayar ‘izin’ acara itu sekitar dua puluh jutaan rupiah. Tapi pihak pelaksananya sedikit terbantu oleh ‘retribusi’ Rp50.000 dari setiap ayam yang bertarung. Dan adu ayam jago itu bisa sampai berpuluh-puluh pasang yang bertanding dan digelar hingga berhari-hari. Tapi hari itu, mulai sekitar pukul 14.30 sampai 16.30, baru sekitar 12 pasang yang bertanding. “Kayaknya cuma sedikit yang bertanding. Kalau banyak, pasti mereka antri dan jedanya tidak lama,” ujar Awal.
Dari duabelas pertandingan yang saya saksikan selama kurang lebih dua jam itu, rerata setiap partai hanya menghabiskan waktu sekitar 1-3 menit saja. Ada juga yang tak butuh hitungan menit seperti partai yang menewaskan ayam putih tadi. Padahal memelihara dan mempersiapkan seekor ayam sabung ternyata butuh waktu sekira tujuh bulan hingga setahun.
Untuk yang dikembangbiakkan di kota, ayam itu sebaiknya baru mulai dipisahkan dan dirawat ketika sudah berumur 3 bulan. Lain soal kalau ayam yang biakkan di desa; cenderung tidak merepotkan.
Ayam kota mesti cepat dirawat dan dipisahkan dari kawanannya karena tidak memiliki ruang luas dan lapang yang dibutuhkannya untuk mengembangkan kemampuannya ketika bertaruh nanti, semisal sepakan, kepakan sayap, sampai pada soal makanan sehari-hari si ayam. Lain hal kalau ayam yang tumbuh di desa, yang menurut seorang peternak ayam sabung, Awal (28), tidak begitu merepotkan. Makanan bergizi tersedia di desa. “Ayam juga butuh ruang yang lapang untuk bermain dan bisa mengembangkan badannya,” katanya.
Setelah besar dan siap tarung, ayam-ayam itu dipilih lagi berdasarkan sisik dan bulu. Sisik besar di antara tiga sisik kecil atau sebaliknya, sisik kecil di antara tiga sisik besar, adalah sisik yang Adi sebut sisik yang kuat. Karena sisik itulah yang menentukan kekuatan sepakan si ayam. Begitu pula dengan bulu. Ada bulu tertentu, yang menurut jebolan salah satu universitas di Yogyakarta itu menentukan ketika berhadapan dengan lawannya. “Itu makanya ada istilah kalah bulu,” imbuhnya.
Ada juga yang tak kalah penting, yakni kecenderungan gerakan si ayam sendiri. Dikatakannya kalau ayam yang pukulan pertamanya adalah melompat tinggi, maka ia tidak akan mempertahankannya. Karena ayam yang lompat tinggi sangat berisiko kalau disabung. Soalnya, kalau lawannya melompat belakangan, ia bakal kena taji. Apalagi bagian dadalah yang paling rawan di badan ayam.
Awal tiba-tiba menyela. Ia berbincang dalam bahasa Toraja dengan Adi perihal ayam yang Adi jual ke salah seorang temannya sebelum berangkat, juga diikutkan dalam paramisi. Saya pun mengaku juga sempat melihat lelaki berkumis berjaket biru muda memasukkan ayam putih itu ke dalam jaket tipisnya itu di depan ruko Adi. “Ya ayam itu. Itu saya jual karena suka terbang kalau baru berkelahi,” kata Adi sengit. Ayam itu, katanya, dihargai Rp190 ribu.
Sewaktu bersekolah di SMA dulu pun saya bersama teman sering ke tempat sabung ayam yang berada di seberang sungai di Rappang. Nah, kali ini yang mengajak adalah Adi, yang memang seorang penggila ayam sabung. Di salah satu lantai rukonya yang bertingkat tiga, saya dapati jejeran kandang bambu yang berisi ayam jantan melulu, dari anak ayam jantan sampai yang sudah dewasa; dari ayam kampung, ayam katai, ayam hutan, hingga ayam bangkok.
Ajakan itu saya tampik diam-diam. Tapi sepertinya, Julie, teman dari Kanada yang sudah dua bulan magang di Ininnawa, dan ikut dalam perjalanan ini, ingin sekali melihat adu ayam jago itu karena jelas ini benar-benar baru baginya.
Hari pertama adalah hari yang hujan. Kami hanya sempat datang ke Londa dan Kete’ Kesu. Di hari berikutnya baru kami sempatkan ke Pasar Hewan Bolu. Sekitar satu jam melihat tedong bonga (kerbau bulai) dan babi yang semok-semok, kami beringsut ke daerah jembatan untuk menunggu mobil yang hendak menuju ke Batutumonga. Awalnya kami ragu ketika Awal, kawan yang mengantar, mengajak ke tempat sabung ayam di Sa’dan. Tapi mobil angkutan yang siap ke sana sudah berhenti di depan kami.
Dengan menumpang mobil Kijang, kami berlima menuju ke Sa’dan. Kami hanya dapat kursi paling belakang dan harus duduk berdesakan. Dalam perjalanan, kami sempat berpapasan dengan dua mobil polisi. Satu mobil jip dengan sirine di atapnya dan satunya lagi mobil pengangkut personil dengan bangku berhadap-hadapan. Polisi itu, katanya, sepertinya baru dari lokasi sabung ayam. Tapi tak ada penduduk di atas mobil truk selain petugas. Jangan-jangan sudah bubar, timpalku.
Lima belas menit kemudian kami tiba. Tapi mobil yang kami tumpangi tak bisa masuk karena jalan disesaki motor dan mobil yang diparkir di pinggir jalan. Semua penumpang turun. Saya tertawa, ternyata segenap penumpang yang berada di atas mobil tadi punya tujuan yang sama, yakni menonton sabung ayam. Kami jalan kaki masuk ke penyabungan. Tak saya sangka, di sana sudah ada penjual makanan yang menghampar jualan di bahu jalan seperti penjual tenteng (kacang karamel berbungkus kulit jagung), belut (dari Bugis — begitulah yang sering saya dengar dari Awal dan Adi) di ember-ember, dan ballo (tuak) yang disaji dalam bilah bambu muda. Tak ketinggalan juga lotto (lotre totalisator atau undian dadu). Suasana di sana tak ubahnya pasar. “Ayo siapa yang mau merokok, cukup pasang seribu,” teriak si empunya usaha untung-untungan itu.
Turun ke bawah di sekitar bantaran sungai yang mengalir sampai ke Selat Makassar itu, tenda batangan bambu beratap terpal didirikan mengelilingi sebuah tenda kecil. Di bawahnya, seorang lelaki separuh baya, dengan parang diikat di pinggang, sedang meratakan tanah dengan cara menginjak-injaknya. Di sekitar arena, masih banyak kantong plastik penyok karena terinjak penonton. Sepertinya lahan itu adalah tempat persemaian.
Tidak berapa lama adu ayam jago segera dimulai. Dua orang menenteng ayam jantan bertaji masuk ke bawah tenda. Seorang di antaranya diberi sebuah bandana yang berhias bulu ayam oleh panitia. Cepat saja para penonton gaduh. Tenda digaduhi suara yang serupa dengan bunyi kodok di musim hujan, “Bekebekebeke … Bekebekebeke” sambil menyodorkan uang ke penonton lainnya; tanda mengajak taruhan.
Rupanya yang mereka maksud dalam teriakan itu adalah pa’beke’, orang yang diberi bandana (beke’) itu. Ikat kepala itu sendiri sebagai tanda agar para petaruh dan penonton tidak jadi bingung ayam siapa gerangan yang mereka jagokan. Tapi suara itu segera berhenti begitu dua ayam tersebut sudah dilepas oleh pemiliknya. Pertarungan dimulai!
Sesekali terdengar seruan panjang bersamaan “Ooooh!” dari penonton bila salah satu ayam mengumbar pukulan telak ke lawannya.
Yang ikut taruhan rupanya bukan cuma para lelaki. Di bagian tenda tempat saya menonton terdapat deretan perempuan muda dan tua. Mereka duduk membaur dan berteriak “bekebekebeke” mengajak uji peruntungan, baik sesama perempuan maupun menyodorkan uang taruhannya ke para pemuda dan bapak-bapak.
Di pertandingan yang ketujuh, saya yang sedang asyik menikmati kopi susu terkaget oleh seruan serentak “ooh!” yang pendek namun bulat dari penonton. Saya kaget berdiri mencari tahu apa gerangan yang terjadi. Ternyata salah satu ayam yang berkelahi itu sekali pukul saja sudah roboh. “Kalau begitu, biasanya kena taji jantungnya,” terang Awal. Benar! Ayam itu langsung roboh. Panitia segera menghampiri bangkai ayam itu dan memotong bagian kaki yang bertaji untuk diberikan ke pemiliknya. Sementara bangkainya diberikan ke sang pemenang.
Tradisi Menghibur
Paramisi sendiri awalnya hanya tradisi sabung ayam tanpa taruhan yang digelar untuk mengumpulkan orang sebanyak mungkin dan menghibur keluarga yang berduka. Mungkin semacam takziah-nya masyarakat Toraja. Tapi belakangan tradisi itu disebut-sebut mulai “dibisniskan”. Beberapa orang mengatakan, meski keluarga yang berduka enggan melaksanakannya, namun bila ada tetangga yang ingin menggelarnya, itu tidak jadi masalah. Selama si pelaksana diberi izin oleh keluarga yang berduka dan mampu menanggung semua akibat-akibat yang timbul karena penyelenggaraan paramisi, seperti membangun tenda sampai membayar upeti kepada petugas keamanan agar acara tak dilarang.
Sudah rahasia umum kalau rata-rata membayar ‘izin’ acara itu sekitar dua puluh jutaan rupiah. Tapi pihak pelaksananya sedikit terbantu oleh ‘retribusi’ Rp50.000 dari setiap ayam yang bertarung. Dan adu ayam jago itu bisa sampai berpuluh-puluh pasang yang bertanding dan digelar hingga berhari-hari. Tapi hari itu, mulai sekitar pukul 14.30 sampai 16.30, baru sekitar 12 pasang yang bertanding. “Kayaknya cuma sedikit yang bertanding. Kalau banyak, pasti mereka antri dan jedanya tidak lama,” ujar Awal.
Dari duabelas pertandingan yang saya saksikan selama kurang lebih dua jam itu, rerata setiap partai hanya menghabiskan waktu sekitar 1-3 menit saja. Ada juga yang tak butuh hitungan menit seperti partai yang menewaskan ayam putih tadi. Padahal memelihara dan mempersiapkan seekor ayam sabung ternyata butuh waktu sekira tujuh bulan hingga setahun.
Untuk yang dikembangbiakkan di kota, ayam itu sebaiknya baru mulai dipisahkan dan dirawat ketika sudah berumur 3 bulan. Lain soal kalau ayam yang biakkan di desa; cenderung tidak merepotkan.
Ayam kota mesti cepat dirawat dan dipisahkan dari kawanannya karena tidak memiliki ruang luas dan lapang yang dibutuhkannya untuk mengembangkan kemampuannya ketika bertaruh nanti, semisal sepakan, kepakan sayap, sampai pada soal makanan sehari-hari si ayam. Lain hal kalau ayam yang tumbuh di desa, yang menurut seorang peternak ayam sabung, Awal (28), tidak begitu merepotkan. Makanan bergizi tersedia di desa. “Ayam juga butuh ruang yang lapang untuk bermain dan bisa mengembangkan badannya,” katanya.
Setelah besar dan siap tarung, ayam-ayam itu dipilih lagi berdasarkan sisik dan bulu. Sisik besar di antara tiga sisik kecil atau sebaliknya, sisik kecil di antara tiga sisik besar, adalah sisik yang Adi sebut sisik yang kuat. Karena sisik itulah yang menentukan kekuatan sepakan si ayam. Begitu pula dengan bulu. Ada bulu tertentu, yang menurut jebolan salah satu universitas di Yogyakarta itu menentukan ketika berhadapan dengan lawannya. “Itu makanya ada istilah kalah bulu,” imbuhnya.
Ada juga yang tak kalah penting, yakni kecenderungan gerakan si ayam sendiri. Dikatakannya kalau ayam yang pukulan pertamanya adalah melompat tinggi, maka ia tidak akan mempertahankannya. Karena ayam yang lompat tinggi sangat berisiko kalau disabung. Soalnya, kalau lawannya melompat belakangan, ia bakal kena taji. Apalagi bagian dadalah yang paling rawan di badan ayam.
Awal tiba-tiba menyela. Ia berbincang dalam bahasa Toraja dengan Adi perihal ayam yang Adi jual ke salah seorang temannya sebelum berangkat, juga diikutkan dalam paramisi. Saya pun mengaku juga sempat melihat lelaki berkumis berjaket biru muda memasukkan ayam putih itu ke dalam jaket tipisnya itu di depan ruko Adi. “Ya ayam itu. Itu saya jual karena suka terbang kalau baru berkelahi,” kata Adi sengit. Ayam itu, katanya, dihargai Rp190 ribu.
AyamUruk- Kapten
- Jumlah posting : 341
Join date : 27.10.11
Re: Cerita dari tana toraja
Awal tiba-tiba menyela. Ia berbincang dalam bahasa Toraja dengan Adi perihal ayam yang Adi jual ke salah seorang temannya sebelum berangkat, juga diikutkan dalam paramisi. Saya pun mengaku juga sempat melihat lelaki berkumis berjaket biru muda memasukkan ayam putih itu ke dalam jaket tipisnya itu di depan ruko Adi. “Ya ayam itu. Itu saya jual karena suka terbang kalau baru berkelahi,” kata Adi sengit. Ayam itu, katanya, dihargai Rp190 ribu.[/quote]
Pengalaman yg luar biasa ya, lebih seru kalau ada foto2 dan vid nya
TOP!
hamas- Registered Sellers
- Jumlah posting : 1793
Join date : 24.01.12
Age : 55
Re: Cerita dari tana toraja
cerita yg bagus....saya pernah baca di sebuah harian surat kabar terkenal.
jaghana- Registered Sellers
- Jumlah posting : 7124
Join date : 01.07.10
Age : 47
Lokasi : matraman jak-tim 085217314302. pin BB 2843A31C
Re: Cerita dari tana toraja
jaghana wrote:cerita yg bagus....saya pernah baca di sebuah harian surat kabar terkenal.
Cerita ini semakin menunjukkan bahwa sabung ayam memang budaya asli kita dari Sabang sampai merauke.
hamas- Registered Sellers
- Jumlah posting : 1793
Join date : 24.01.12
Age : 55
Re: Cerita dari tana toraja
Hidup sabung ayam.. tanpa judi tentunya..
ari delta- Jendral
- Jumlah posting : 1427
Join date : 30.05.10
Age : 39
Lokasi : semarang
Re: Cerita dari tana toraja
ari delta wrote:Hidup sabung ayam.. tanpa judi tentunya..
SETUJU !
hamas- Registered Sellers
- Jumlah posting : 1793
Join date : 24.01.12
Age : 55
Halaman 1 dari 1
Permissions in this forum:
Anda tidak dapat menjawab topik