Cerita Dewasa untuk 17 Tahun Ke Atas.
+3
squallj
losi
AlfaFarm
7 posters
Halaman 1 dari 1
Cerita Dewasa untuk 17 Tahun Ke Atas.
Tiduri aku ibu....
Sebagai seorang wanita yang cantik, Dina memiliki hampir segala yang diimpikan kaum wanita. Parasnya ayu, manies dan selalu enak dipandang. Bentuk hidung, mata, alis, bulu mata hingga ke garis pipi yang tertata indah bak bulu perindu diatas bintang timur diwaktu senja. Posturnya tubuhnya sangat ideal untuk seorang wanita. Kulitnya yang putih dan jenis rambutnya yang panjang hitam bergelombang menambah nilai keaggunannya. Kemolekan lekuk tubuhnya menyebabkan ia sering disebut wanita terseksi.
Dina, seorang wanita karir pada salah satu perusahaan swasta besar di Ibukota, termasuk wanita yang cerdas. Ditunjang pendidikan formalnya yang merupakan alumni Pasca Sarjana Komunikasi Universitas ternama.
Loyalitas terhadap perusahaan tidak diragukan lagi, sehingga menjadikan dirinya sebagai salah satu ’maskot’ pegawai diperusahaannya. Tak heran bila karirnya bagai ’rising’ star. belum sepuluh tahun bekerja, dia sudah menduduki jabatan penting, setingkat Department Head (Kepala Bagian). Dikenal dekat dengan bawahan. Suppel dan mampu berkomunikasi dengan baik dengan jajaran pimpinan. Tipikal Dina selalu menjadi bahan pembicaraan dikalangan pegawai, gunjingan hingga tentu saja ’fitnah’ dari orang-orang yang tidak menyukainya. Apalagi ketika terdengar kabar bahwa dia akan dipromosikan menjadi salah satu deputy kepala divisi.
’ah…paling dengan keseksiannya’ kata mereka yang tidak suka.
—oooOooo—
”Ibu mau kemana….?” tanya Fitri, puteri bungsunya
”Ibu mau berangkat ke kantor nak…” jawab Dina, sambil merapihkan pakaiannya
”Kok masih gelap bu….bareng ayah gak bu…?” tanya Fitri lagi dengan bahasa anak yang agak cadel
”Ayah khan belum pulang nak. Masih di Bandung…” jawab dina, tanpa memalingkan wajah dari cermin hiasnya
Jam masih menunjukkan pk. 04.25 pagi. Hari masih gelap. Anak-anaknya masih terlelap, kecuali Fitri yang terbangun karena mendengar suara peralatan riasnya.
”Aku tidak boleh terlambat…aku harus tiba sebelum Bos dan Klienku datang..” pikir Dina dalam hati
”Bu, aku masih mau tidur….” kata Fitri
”Iyya nak….”
.Dina mencium kening anak puteri satu-satunya itu. Dengan penuh kasih sayang dipeluknya erat sambil berkata pelan, ”Nanti sekolah sama si Mbok ya….sarapan disekolah juga gak apa-apa kok…Ibu harus berangkat pagi-pagi…”
”Ah, Ibu…kemarin sudah pegi pagi…kemarinnya lagi pagi, sekarang pagi lagi…” keluh Fitri, dengan menggeleng-gelengkan kepalanya
”Fitri, Ibu bekerja juga untuk Fitri. Untuk sekolah Fitri dan Adit…..untuk membelikan Fitri rumah-rumahan dan masak-masakan…” jawab Dina pelan
”Tapi Ibu selalu pulang malam. Fitri gak pernah tidur bareng Ibu. Makan sama si Mbok…sekolah juga sama si Mbok….” keluh Fitri lagi sambil menggulingkan tubuhnya.
”Fitri, Ibu mau berangkat…..kamu berangkat sama si Mbok ya…!” seru Dina dengan sedikit keras dan wajah agak memerah.
Dina segera keluar kamar. Dia memang tidur bersama anak puterinya yang masih berusia tiga tahun. Ketika akan membuka pintu kamar, Dina menyempatkan diri melihat raut wajahnya dicermin.
Terlihat jelas rona merah diwajahnya. Warna kulitnya yang putih menambah kejelasan ’rona merahnya’. Dina menghela nafas panjang, kemarahan sesaat telah merubah tutur bahasanya. Sudah merubah pula paras ayunya…
”Huh…Fitri selalu membuat aku marah….Fitri sering memperlambat jalanku ke kantor…” keluhnya sambil mengusap keringat didahinya.
”Ah sudah pk. 04.45…aku bisa terlambat …”
Dina mempercepat langkahnya. Sampai diteras rumah keraguan muncul dihatinya….Dia belum sempat bicara dengan Adit, anak sulungnya…
”Ah dia khan sudah tujuh tahun. Sudah lebih besar. Dia pasti ngerti lah…”
—oooOooo—
Presentasi mengenai pengembangan perusahaan, khususnya bidang komunikasi, kemitraan dan pemasaran yang dipaparkan Dina memdapatkan sambutan luar biasa dari Stake Holder (Pemegang Saham, Komisaris, Jajaran Direksi dan Mitra Kerja). Sambutan itu ditandai dengan tepuk tangan meriah sambil berdiri dan ucapan selamat yang seolah tak putus.
Senyum sumringah tersembul dari wajah Dina. Perasaan puas memenuhi rongga hatinya. Dia menghela nafas panjang. Memejamkan mata sesaat….”Akhirnya aku berhasil….”
Untung aku bisa mempersiapkan diri dengan baik. Untung juga aku tiba lebih awal sehingga bisa mengkondisikan semuanya…….
”Dina selamat ya….tidak sia-sia kami menempatkan kamu sebagai Dept Head Promosi & Kemitraan…..” kata seorang Direksi sambil menjabat erat tangan Dina.
Jabatan tangan yang terasa ’lain’. Terasa ada getaran ’hangat’ yang menjalar melalui jari-jari terus hingga pangkal tangan, dan meluncur deras dihati. Jantung berdegup kencang…entah perasaan apa itu. Yang jelas perasaan itu membuatnya pikirannya ’kacau’, hatinya diliputi oleh suatu misteri..entah misteri apa
”Dina, kerja kamu luar biasa…..masih muda, cantik, jenius….tak salah jika Perusahaan memberimu posisi tsb…..” kata seorang Komisaris
Pujian komisaris menambah kencang degup jantungnya…seolah darah berhenti mengalir. Seolah kaki sulit untuk digerakkan. Dengan menghirup nafas pelan, Dina membalas pujian tsb
”Terima kasih Pak..terima kasih…semua berkat bantuan dan bimbingan Bapak…”
”Berapa usiamu sekarang… adakah 40…?” tanya Komisaris itu lagi
Dina tersipu malu…..rona merah kembali menghiasi wajahnya….
”Saya baru 34…. Pak…” jawab Dina sambil tertunduk malu
”Wow…Surprise…kita memiliki calon direksi termuda. Cantik, jenius dan ber-visi…semoga kamu sukses ya….”
Dina terkesima. Tak percaya. Calon direksi….? ah, gak mungkin… aku salah dengar….
—oooOooo—
Minggu, pk. 04.00 Dina terbangun.
Ohhhhh….lelah pikiran dan badannya membuatnya agak sedikit malas untuk bangun. Namun undangan stake holder untuk sekedar minum kopi pagi di Kafe Padang Golf mengharuskan dia untuk segera bergegas…..
”Ah….ngantuknya…..”
Dina kembali merahkan badannya….rasanya dia ingin meliburkan diri bersama anak-anaknya….terutama Fitri yang kemarin membuatnya sedikit marah….
Tapi…undangan Direksi dan Komisaris adalah sebuah ’Perintah’…laksana titah Raja yang harus dijalankan, meskipun hanya ajakan sambil lalu…
”Ahhhh…..”
Dina mulai menyiapkan diri. Mandi pagi dan sedikit bersolek….tampil agak cantik dan…hmmmm..seksi dikit rasanya tidak apa-apa. Toh akan bersantai bersama orang-orang penting ’penguasa’ kantor….’apalagi bila….bila ada yg tertarik padaku…’ pikirnya..
’ah pikiran ngelantur…..’ pikirnya lagi
”Ibuuuu….Tolong tiduri aku Bu….” seru Adit sambil berjalan pelan dan membawa bantal guling yang sarung entah kemana
”Adiiit….?” tanyanya heran
”Adiit….” seru Dina kembali. Heran, tidak biasanya Adit bangun pagi dan pindah ke kamarnya.
”Ibuuu…tolong tiduri aku bu…semalam aku gak bisa tidur…aku kepikiran Ayah….aku ingin bermain bersama Ayah….”
”Adit. Hari ini Ibu masuk kantor….Ibu akan bertemu Bos di kantor…” jawab Dina
”Ibuuu…tolong tiduri aku…aku ngantuk …pengen tidur bareng Ibu…” pinta Adit, kemudian merebahkan kepalanya di pangkuan Dina, Ibundanya…
Dina terdiam. Hatinya semakin membuncah….perasaan malas memenuhi undangan Direksi kembali muncul….tapi motivasi untuk memperlihatkan loyalitas demikian tinggi…dus, dia sudah berdandan seksi.
Diusap-usap perlahan kepala Adit. Rambutnya yang sedikit ikal bergelombang mirip seperti rambutnya. Bentuk wajahnya yang agak oval dan halus merujuk pada ayahnya…
”ahhh..aku jadi ingat Mas Darman. Wajah Adit mirip ayahnya….semalam dia memberi kabar kalau Meeting di bandung diperpanjang karena banyak Klien baru yang ikut datang….” bathin Dina dalam hati….seketika ia merasa bersalah dengan suaminya.
”Adiiit, Ibu harus pergi sayang…..Ibu harus masuk kantor…..”
”Tapi buu…” Adit tidak bisa meneruskan kalimatnya, karena Dina mengangkat kakinya perlahan, sehingga kepala Adit berpindah ke bagian pinggir tempat tidur.
Dina meneruskan riasannya dimuka cermin yang ada di sisi kanan tempat tidurnya. Bibirnya diolesi lipstick tipis warna merah muda, sesuai dengan pakaian yang dikenakannya. Pakaian terbaik yang dimilikinya, hadiah Ulang Tahun dari Mas Darman suami tercinta.
”Mas Darman pasti akan silau bila melihat aku sekarang. Pasti akan memujiku ’Cantiiik’..hehehe…sayang dandananku saat ini untuk orang lain….”
”Huk..huk..huk..” suara batuk kecil beriak keluar dari mulut Adit
”Adiit, kamu batuk. Jajan apa kamu kemarin” tanya Dina sambil terus memainkan penghalus bedak dipipinya
”Huk..huk..huk..” suara itu kembali terdengar
“Mboookkk….tolong ambilkan air putih hangat. Adit batuk nih” teriak Dina dari dalam kamarnya
Tepat pk. 05.00 Dina meluncur menuju Kafe Padang Golf. Perjalanan akan memakan waktu 30 menit. Cukuplah. Karena pertemuan dan sarapan kopi pagi baru akan dimulai pk. 06.00. Tapi biasanya banyak yang sudah datang dengan perlengkapan stick golf, termasuk pemilihan ’caddy’ pendamping permainan golfnya nanti.
—oooOooo—
Dina sangat menikmati suasana Kopi Paginya. Dia begitu cepat menyesuaikan diri dengan lingkungannya. Tidak ada lagi perasaan canggung, malu dan minder bercengkerama dengan jajaran Direksi, Komisaris dan Pimpinan Unit Mitra Kerja. Apalagi dalam acara yang dikemas secara informal ini. Seolah ia sudah menjadi bagian dari mereka. Jajaran elit perusahaan.
”Penuhi jiwa ini dengan satu rindu…rindu untuk mendapatkan rahmat-Mu…meski tak layak ku harap debu Cinta-MU” ringtone HP Dina berbunyi….
”Maaf Pak,,,,,,,” Dina tak sanggup meneruskan kata-katanya untuk meminta ijin mengangkat Hpnya
”Silakan ..silakan….ini suasana santai kok” jawab salah seorang Direksi
”Permisi Pak”
”Meski begitu ku akan bersimpuh… Penuhi jiwa ini dengan satu rindu…rindu untuk mendapatkan rahmat-Mu….” ringtone itu terus berbunyi…
Ditempat yang agak jauh dari kerumunan orang Dina mengangkat Hpnya…
”Hallo….” sapanya
”Bu…kamu ada dimana sekarang….?” tanya suara disana dengan lembut
”Sedang bersama Direksi dan komisaris di kantor.. Yahas…” jawab Dina
Ohhh,…ternyata dari mas Darman, suaminya. Dina terbiasa memanggilnya Ayah, menyesuaikan diri dengan panggilan anak-anaknya
”Loch emangnya masuk… ?” tanya Mas Darman lagi
”Iyya Yah…”
”kapan pulangnya…Adit sakit di rumah kata si Mbok…”
”nanti siang…..atau mungkin juga sore…”
”Yaa sudah…biar Ayah saja yang pulang segera”
—oooOooo—
Pk. 15.30 Dina kembali kerumahnya.
Sarapan Kopi Pagi di kafe Padang Golf ternyata diteruskan dengan acara ramah tamah dan meeting informal dengan Mitra Kerja dan Klien. Beberapa Kontrak Kerja ’deal’ setengah kamar dalam ramah tamah itu. Dina baru mengetahui kalau banyak ’deal’ ’deal’ kontrak kerja yang putus di Kafe, Padang Golf serta jamuan makan. Mungkin karena lebih santai dan informal….pikirnya, sehingga lebih mudah untuk bicara dari hati ke hati
Tiba di ujung jalan pemukiman, Dina melihat banyak orang berduyun menuju satu rumah dengan membawa nampan, rantang dan gelas-gelas kecil.
”Ada apa ini…?” tanya Dina dalam hati
Ada bendera kuning terikat di atas tiang listrik tepi jalan…
”Ohh ada yang meninggal….”
Dina mempercepat langkahnya. Ia juga ingin melayat. Ia tak ingin juga tertinggal dalam urusan sosial di lingkungannya….
Tak berapa lama Dina tersentak. Kakinya kaku tak bisa digerakkan….dia melihat banyak orang berkerumun dipekarangan rumahnya. Kebanyakan ibu-ibu dan wanita yang mengenakan pakaian berwarna gelap dan berkerudung. Bapak-bapak ada di ruang tengah…
”ohh…apakah…apakah…..”
”Tidaaaakkkkkkkkk”
Dina mencoba untuk berlari. Namun kakinya semakin sulit bergerak.
Air mata Dina deras mengalir ketiak ia melihat seorang bapak berpeci hitam dan berpakaian muslim putih sedang melantunkan ayat-ayat Qur’an. Dari suaranya tersendat terlihat jelas bahwa Bapak itu menahan tangis. Kadang sesegukan sesekali menghambat laju bacaan Qur’annya..
”Mas Darman…..Ayahhhhhh” seru Dina setengah berteriak
“Ayah siapa yang meninggal Yah….?” tanya Dina kepada Bapak yang sedang mengaji tadi
”Ayah..siapa yah….?” tanyanya lagi
Bapak tadi tidak menjawab. Telunjuk jarinya mengisyaratkan bahwa Dina bisa membuka kain kafan yang belum tertutup
Dengan sedikit merangkak, Dina berjalan tersendat, dan membuka kain kafan penutup wajah si mayit.
”Yaa Allah…Aadiiitttt” Dina langsung memeluk tubuh jenazah itu
”Maafkan Ibu Nak….maafkan Ibu nak…….” teriak Dina keras, membuat seisi rumah menoleh kepadanya. Bahkan beberapa orang yang berada di luar juga berlari kearah rumah
”Adddiiiiittttt….Sini nak…Ibu akan tiduri kamu…Ibu akan tidur bersamamu Nak…..”
”Addiiittttt bangun nak..Ibu sudah pulang…Ibu sudah pulang nak….”
”Ibu ingin tidur bersama mu….”
Dina meraung keras seperti anak kecil yang kehilangan orang tuanya….air matanya mengalir deras. Tak kuasa menahan sedih. Rasanya ingin sekali ia menggoyang-goyangkan tubuh kaku itu agar kembali bergerak….namun Mas Darman segera merangkulnya. Memeluknya. Dan mencium keningnya…
”Bu….ini salah kita..salah Ayah….Ayah terlalu sering meninggalkan keluarga..”
”Bukan Yah…ini salah Ibu…tadi pagi Adit minta ditemani tidur, tapi Ibu tolak…”
”Ya sudahlah…ini salah kita semua. Adit terkena paru-paru basah akut. Dan terlambat ditolong…..”
—oooOooo—
Anak, isteri, suami dan keluarga adalah perhiasan dunia. Perhiasan yang paling indah adalah istri yang sholeh (Amar’atush-Sholihah), suami yang adil (’imamun ’adilun) dan anak-anak yang mendoakan orang tuanya (awaladdun sholihin yad’ulah)
Salam ukhuwah elha
www.jangankedip.blogspot.com
Sebagai seorang wanita yang cantik, Dina memiliki hampir segala yang diimpikan kaum wanita. Parasnya ayu, manies dan selalu enak dipandang. Bentuk hidung, mata, alis, bulu mata hingga ke garis pipi yang tertata indah bak bulu perindu diatas bintang timur diwaktu senja. Posturnya tubuhnya sangat ideal untuk seorang wanita. Kulitnya yang putih dan jenis rambutnya yang panjang hitam bergelombang menambah nilai keaggunannya. Kemolekan lekuk tubuhnya menyebabkan ia sering disebut wanita terseksi.
Dina, seorang wanita karir pada salah satu perusahaan swasta besar di Ibukota, termasuk wanita yang cerdas. Ditunjang pendidikan formalnya yang merupakan alumni Pasca Sarjana Komunikasi Universitas ternama.
Loyalitas terhadap perusahaan tidak diragukan lagi, sehingga menjadikan dirinya sebagai salah satu ’maskot’ pegawai diperusahaannya. Tak heran bila karirnya bagai ’rising’ star. belum sepuluh tahun bekerja, dia sudah menduduki jabatan penting, setingkat Department Head (Kepala Bagian). Dikenal dekat dengan bawahan. Suppel dan mampu berkomunikasi dengan baik dengan jajaran pimpinan. Tipikal Dina selalu menjadi bahan pembicaraan dikalangan pegawai, gunjingan hingga tentu saja ’fitnah’ dari orang-orang yang tidak menyukainya. Apalagi ketika terdengar kabar bahwa dia akan dipromosikan menjadi salah satu deputy kepala divisi.
’ah…paling dengan keseksiannya’ kata mereka yang tidak suka.
—oooOooo—
”Ibu mau kemana….?” tanya Fitri, puteri bungsunya
”Ibu mau berangkat ke kantor nak…” jawab Dina, sambil merapihkan pakaiannya
”Kok masih gelap bu….bareng ayah gak bu…?” tanya Fitri lagi dengan bahasa anak yang agak cadel
”Ayah khan belum pulang nak. Masih di Bandung…” jawab dina, tanpa memalingkan wajah dari cermin hiasnya
Jam masih menunjukkan pk. 04.25 pagi. Hari masih gelap. Anak-anaknya masih terlelap, kecuali Fitri yang terbangun karena mendengar suara peralatan riasnya.
”Aku tidak boleh terlambat…aku harus tiba sebelum Bos dan Klienku datang..” pikir Dina dalam hati
”Bu, aku masih mau tidur….” kata Fitri
”Iyya nak….”
.Dina mencium kening anak puteri satu-satunya itu. Dengan penuh kasih sayang dipeluknya erat sambil berkata pelan, ”Nanti sekolah sama si Mbok ya….sarapan disekolah juga gak apa-apa kok…Ibu harus berangkat pagi-pagi…”
”Ah, Ibu…kemarin sudah pegi pagi…kemarinnya lagi pagi, sekarang pagi lagi…” keluh Fitri, dengan menggeleng-gelengkan kepalanya
”Fitri, Ibu bekerja juga untuk Fitri. Untuk sekolah Fitri dan Adit…..untuk membelikan Fitri rumah-rumahan dan masak-masakan…” jawab Dina pelan
”Tapi Ibu selalu pulang malam. Fitri gak pernah tidur bareng Ibu. Makan sama si Mbok…sekolah juga sama si Mbok….” keluh Fitri lagi sambil menggulingkan tubuhnya.
”Fitri, Ibu mau berangkat…..kamu berangkat sama si Mbok ya…!” seru Dina dengan sedikit keras dan wajah agak memerah.
Dina segera keluar kamar. Dia memang tidur bersama anak puterinya yang masih berusia tiga tahun. Ketika akan membuka pintu kamar, Dina menyempatkan diri melihat raut wajahnya dicermin.
Terlihat jelas rona merah diwajahnya. Warna kulitnya yang putih menambah kejelasan ’rona merahnya’. Dina menghela nafas panjang, kemarahan sesaat telah merubah tutur bahasanya. Sudah merubah pula paras ayunya…
”Huh…Fitri selalu membuat aku marah….Fitri sering memperlambat jalanku ke kantor…” keluhnya sambil mengusap keringat didahinya.
”Ah sudah pk. 04.45…aku bisa terlambat …”
Dina mempercepat langkahnya. Sampai diteras rumah keraguan muncul dihatinya….Dia belum sempat bicara dengan Adit, anak sulungnya…
”Ah dia khan sudah tujuh tahun. Sudah lebih besar. Dia pasti ngerti lah…”
—oooOooo—
Presentasi mengenai pengembangan perusahaan, khususnya bidang komunikasi, kemitraan dan pemasaran yang dipaparkan Dina memdapatkan sambutan luar biasa dari Stake Holder (Pemegang Saham, Komisaris, Jajaran Direksi dan Mitra Kerja). Sambutan itu ditandai dengan tepuk tangan meriah sambil berdiri dan ucapan selamat yang seolah tak putus.
Senyum sumringah tersembul dari wajah Dina. Perasaan puas memenuhi rongga hatinya. Dia menghela nafas panjang. Memejamkan mata sesaat….”Akhirnya aku berhasil….”
Untung aku bisa mempersiapkan diri dengan baik. Untung juga aku tiba lebih awal sehingga bisa mengkondisikan semuanya…….
”Dina selamat ya….tidak sia-sia kami menempatkan kamu sebagai Dept Head Promosi & Kemitraan…..” kata seorang Direksi sambil menjabat erat tangan Dina.
Jabatan tangan yang terasa ’lain’. Terasa ada getaran ’hangat’ yang menjalar melalui jari-jari terus hingga pangkal tangan, dan meluncur deras dihati. Jantung berdegup kencang…entah perasaan apa itu. Yang jelas perasaan itu membuatnya pikirannya ’kacau’, hatinya diliputi oleh suatu misteri..entah misteri apa
”Dina, kerja kamu luar biasa…..masih muda, cantik, jenius….tak salah jika Perusahaan memberimu posisi tsb…..” kata seorang Komisaris
Pujian komisaris menambah kencang degup jantungnya…seolah darah berhenti mengalir. Seolah kaki sulit untuk digerakkan. Dengan menghirup nafas pelan, Dina membalas pujian tsb
”Terima kasih Pak..terima kasih…semua berkat bantuan dan bimbingan Bapak…”
”Berapa usiamu sekarang… adakah 40…?” tanya Komisaris itu lagi
Dina tersipu malu…..rona merah kembali menghiasi wajahnya….
”Saya baru 34…. Pak…” jawab Dina sambil tertunduk malu
”Wow…Surprise…kita memiliki calon direksi termuda. Cantik, jenius dan ber-visi…semoga kamu sukses ya….”
Dina terkesima. Tak percaya. Calon direksi….? ah, gak mungkin… aku salah dengar….
—oooOooo—
Minggu, pk. 04.00 Dina terbangun.
Ohhhhh….lelah pikiran dan badannya membuatnya agak sedikit malas untuk bangun. Namun undangan stake holder untuk sekedar minum kopi pagi di Kafe Padang Golf mengharuskan dia untuk segera bergegas…..
”Ah….ngantuknya…..”
Dina kembali merahkan badannya….rasanya dia ingin meliburkan diri bersama anak-anaknya….terutama Fitri yang kemarin membuatnya sedikit marah….
Tapi…undangan Direksi dan Komisaris adalah sebuah ’Perintah’…laksana titah Raja yang harus dijalankan, meskipun hanya ajakan sambil lalu…
”Ahhhh…..”
Dina mulai menyiapkan diri. Mandi pagi dan sedikit bersolek….tampil agak cantik dan…hmmmm..seksi dikit rasanya tidak apa-apa. Toh akan bersantai bersama orang-orang penting ’penguasa’ kantor….’apalagi bila….bila ada yg tertarik padaku…’ pikirnya..
’ah pikiran ngelantur…..’ pikirnya lagi
”Ibuuuu….Tolong tiduri aku Bu….” seru Adit sambil berjalan pelan dan membawa bantal guling yang sarung entah kemana
”Adiiit….?” tanyanya heran
”Adiit….” seru Dina kembali. Heran, tidak biasanya Adit bangun pagi dan pindah ke kamarnya.
”Ibuuu…tolong tiduri aku bu…semalam aku gak bisa tidur…aku kepikiran Ayah….aku ingin bermain bersama Ayah….”
”Adit. Hari ini Ibu masuk kantor….Ibu akan bertemu Bos di kantor…” jawab Dina
”Ibuuu…tolong tiduri aku…aku ngantuk …pengen tidur bareng Ibu…” pinta Adit, kemudian merebahkan kepalanya di pangkuan Dina, Ibundanya…
Dina terdiam. Hatinya semakin membuncah….perasaan malas memenuhi undangan Direksi kembali muncul….tapi motivasi untuk memperlihatkan loyalitas demikian tinggi…dus, dia sudah berdandan seksi.
Diusap-usap perlahan kepala Adit. Rambutnya yang sedikit ikal bergelombang mirip seperti rambutnya. Bentuk wajahnya yang agak oval dan halus merujuk pada ayahnya…
”ahhh..aku jadi ingat Mas Darman. Wajah Adit mirip ayahnya….semalam dia memberi kabar kalau Meeting di bandung diperpanjang karena banyak Klien baru yang ikut datang….” bathin Dina dalam hati….seketika ia merasa bersalah dengan suaminya.
”Adiiit, Ibu harus pergi sayang…..Ibu harus masuk kantor…..”
”Tapi buu…” Adit tidak bisa meneruskan kalimatnya, karena Dina mengangkat kakinya perlahan, sehingga kepala Adit berpindah ke bagian pinggir tempat tidur.
Dina meneruskan riasannya dimuka cermin yang ada di sisi kanan tempat tidurnya. Bibirnya diolesi lipstick tipis warna merah muda, sesuai dengan pakaian yang dikenakannya. Pakaian terbaik yang dimilikinya, hadiah Ulang Tahun dari Mas Darman suami tercinta.
”Mas Darman pasti akan silau bila melihat aku sekarang. Pasti akan memujiku ’Cantiiik’..hehehe…sayang dandananku saat ini untuk orang lain….”
”Huk..huk..huk..” suara batuk kecil beriak keluar dari mulut Adit
”Adiit, kamu batuk. Jajan apa kamu kemarin” tanya Dina sambil terus memainkan penghalus bedak dipipinya
”Huk..huk..huk..” suara itu kembali terdengar
“Mboookkk….tolong ambilkan air putih hangat. Adit batuk nih” teriak Dina dari dalam kamarnya
Tepat pk. 05.00 Dina meluncur menuju Kafe Padang Golf. Perjalanan akan memakan waktu 30 menit. Cukuplah. Karena pertemuan dan sarapan kopi pagi baru akan dimulai pk. 06.00. Tapi biasanya banyak yang sudah datang dengan perlengkapan stick golf, termasuk pemilihan ’caddy’ pendamping permainan golfnya nanti.
—oooOooo—
Dina sangat menikmati suasana Kopi Paginya. Dia begitu cepat menyesuaikan diri dengan lingkungannya. Tidak ada lagi perasaan canggung, malu dan minder bercengkerama dengan jajaran Direksi, Komisaris dan Pimpinan Unit Mitra Kerja. Apalagi dalam acara yang dikemas secara informal ini. Seolah ia sudah menjadi bagian dari mereka. Jajaran elit perusahaan.
”Penuhi jiwa ini dengan satu rindu…rindu untuk mendapatkan rahmat-Mu…meski tak layak ku harap debu Cinta-MU” ringtone HP Dina berbunyi….
”Maaf Pak,,,,,,,” Dina tak sanggup meneruskan kata-katanya untuk meminta ijin mengangkat Hpnya
”Silakan ..silakan….ini suasana santai kok” jawab salah seorang Direksi
”Permisi Pak”
”Meski begitu ku akan bersimpuh… Penuhi jiwa ini dengan satu rindu…rindu untuk mendapatkan rahmat-Mu….” ringtone itu terus berbunyi…
Ditempat yang agak jauh dari kerumunan orang Dina mengangkat Hpnya…
”Hallo….” sapanya
”Bu…kamu ada dimana sekarang….?” tanya suara disana dengan lembut
”Sedang bersama Direksi dan komisaris di kantor.. Yahas…” jawab Dina
Ohhh,…ternyata dari mas Darman, suaminya. Dina terbiasa memanggilnya Ayah, menyesuaikan diri dengan panggilan anak-anaknya
”Loch emangnya masuk… ?” tanya Mas Darman lagi
”Iyya Yah…”
”kapan pulangnya…Adit sakit di rumah kata si Mbok…”
”nanti siang…..atau mungkin juga sore…”
”Yaa sudah…biar Ayah saja yang pulang segera”
—oooOooo—
Pk. 15.30 Dina kembali kerumahnya.
Sarapan Kopi Pagi di kafe Padang Golf ternyata diteruskan dengan acara ramah tamah dan meeting informal dengan Mitra Kerja dan Klien. Beberapa Kontrak Kerja ’deal’ setengah kamar dalam ramah tamah itu. Dina baru mengetahui kalau banyak ’deal’ ’deal’ kontrak kerja yang putus di Kafe, Padang Golf serta jamuan makan. Mungkin karena lebih santai dan informal….pikirnya, sehingga lebih mudah untuk bicara dari hati ke hati
Tiba di ujung jalan pemukiman, Dina melihat banyak orang berduyun menuju satu rumah dengan membawa nampan, rantang dan gelas-gelas kecil.
”Ada apa ini…?” tanya Dina dalam hati
Ada bendera kuning terikat di atas tiang listrik tepi jalan…
”Ohh ada yang meninggal….”
Dina mempercepat langkahnya. Ia juga ingin melayat. Ia tak ingin juga tertinggal dalam urusan sosial di lingkungannya….
Tak berapa lama Dina tersentak. Kakinya kaku tak bisa digerakkan….dia melihat banyak orang berkerumun dipekarangan rumahnya. Kebanyakan ibu-ibu dan wanita yang mengenakan pakaian berwarna gelap dan berkerudung. Bapak-bapak ada di ruang tengah…
”ohh…apakah…apakah…..”
”Tidaaaakkkkkkkkk”
Dina mencoba untuk berlari. Namun kakinya semakin sulit bergerak.
Air mata Dina deras mengalir ketiak ia melihat seorang bapak berpeci hitam dan berpakaian muslim putih sedang melantunkan ayat-ayat Qur’an. Dari suaranya tersendat terlihat jelas bahwa Bapak itu menahan tangis. Kadang sesegukan sesekali menghambat laju bacaan Qur’annya..
”Mas Darman…..Ayahhhhhh” seru Dina setengah berteriak
“Ayah siapa yang meninggal Yah….?” tanya Dina kepada Bapak yang sedang mengaji tadi
”Ayah..siapa yah….?” tanyanya lagi
Bapak tadi tidak menjawab. Telunjuk jarinya mengisyaratkan bahwa Dina bisa membuka kain kafan yang belum tertutup
Dengan sedikit merangkak, Dina berjalan tersendat, dan membuka kain kafan penutup wajah si mayit.
”Yaa Allah…Aadiiitttt” Dina langsung memeluk tubuh jenazah itu
”Maafkan Ibu Nak….maafkan Ibu nak…….” teriak Dina keras, membuat seisi rumah menoleh kepadanya. Bahkan beberapa orang yang berada di luar juga berlari kearah rumah
”Adddiiiiittttt….Sini nak…Ibu akan tiduri kamu…Ibu akan tidur bersamamu Nak…..”
”Addiiittttt bangun nak..Ibu sudah pulang…Ibu sudah pulang nak….”
”Ibu ingin tidur bersama mu….”
Dina meraung keras seperti anak kecil yang kehilangan orang tuanya….air matanya mengalir deras. Tak kuasa menahan sedih. Rasanya ingin sekali ia menggoyang-goyangkan tubuh kaku itu agar kembali bergerak….namun Mas Darman segera merangkulnya. Memeluknya. Dan mencium keningnya…
”Bu….ini salah kita..salah Ayah….Ayah terlalu sering meninggalkan keluarga..”
”Bukan Yah…ini salah Ibu…tadi pagi Adit minta ditemani tidur, tapi Ibu tolak…”
”Ya sudahlah…ini salah kita semua. Adit terkena paru-paru basah akut. Dan terlambat ditolong…..”
—oooOooo—
Anak, isteri, suami dan keluarga adalah perhiasan dunia. Perhiasan yang paling indah adalah istri yang sholeh (Amar’atush-Sholihah), suami yang adil (’imamun ’adilun) dan anak-anak yang mendoakan orang tuanya (awaladdun sholihin yad’ulah)
Salam ukhuwah elha
www.jangankedip.blogspot.com
AlfaFarm- Sersan
- Jumlah posting : 167
Join date : 13.01.14
Age : 36
Lokasi : Baturraden Purwokerto
10 Tahun Aku Membenci Suamiku...
NANGIS BACA INI.!
10 tahun Aku membenci Suamiku ][
Semoga peristiwa di bawah ini membuat kita belajar bersyukur untuk apa yang kita miliki :
Aku membencinya, itulah yang selalu kubisikkan dalam hatiku hampir sepanjang kebersamaan kami. Meskipun menikahinya, aku tak pernah benar-benar menyerahkan hatiku padanya. Menikah karena paksaan orangtua, membuatku membenci suamiku sendiri.
Walaupun menikah terpaksa, aku tak pernah menunjukkan sikap benciku. Meskipun membencinya, setiap hari aku melayaninya sebagaimana tugas istri. Aku terpaksa melakukan semuanya karena aku tak punya pegangan lain. Beberapa kali muncul keinginan meninggalkannya tapi aku tak punya kemampuan finansial dan dukungan siapapun. Kedua orangtuaku sangat menyayangi suamiku karena menurut mereka, suamiku adalah sosok suami sempurna untuk putri satu-satunya mereka.
Ketika menikah, aku menjadi istri yang teramat manja. Kulakukan segala hal sesuka hatiku. Suamiku juga memanjakanku sedemikian rupa. Aku tak pernah benar-benar menjalani tugasku sebagai seorang istri. Aku selalu bergantung padanya karena aku menganggap hal itu sudah seharusnya setelah apa yang ia lakukan padaku. Aku telah menyerahkan hidupku padanya sehingga tugasnyalah membuatku bahagia dengan menuruti semua keinginanku.
Di rumah kami, akulah ratunya. Tak ada seorangpun yang berani melawan. Jika ada sedikit saja masalah, aku selalu menyalahkan suamiku. Aku tak suka handuknya yang basah yang diletakkan di tempat tidur, aku sebal melihat ia meletakkan sendok sisa mengaduk susu di atas meja dan meninggalkan bekas lengket, aku benci ketika ia memakai komputerku meskipun hanya untuk menyelesaikan pekerjaannya. Aku marah kalau ia menggantung bajunya di kapstock bajuku, aku juga marah kalau ia memakai pasta gigi tanpa memencetnya dengan rapi, aku marah kalau ia menghubungiku hingga berkali-kali ketika aku sedang bersenang-senang dengan teman-temanku.
Tadinya aku memilih untuk tidak punya anak. Meskipun tidak bekerja, tapi aku tak mau mengurus anak. Awalnya dia mendukung dan akupun ber-KB dengan pil. Tapi rupanya ia menyembunyikan keinginannya begitu dalam sampai suatu hari aku lupa minum pil KB dan meskipun ia tahu ia membiarkannya. Akupun hamil dan baru menyadarinya setelah lebih dari empat bulan, dokterpun menolak menggugurkannya.
Itulah kemarahanku terbesar padanya. Kemarahan semakin bertambah ketika aku mengandung sepasang anak kembar dan harus mengalami kelahiran yang sulit. Aku memaksanya melakukan tindakan vasektomi agar aku tidak hamil lagi. Dengan patuh ia melakukan semua keinginanku karena aku mengancam akan meninggalkannya bersama kedua anak kami.
Waktu berlalu hingga anak-anak tak terasa berulang tahun yang ke-delapan. Seperti pagi-pagi sebelumnya, aku bangun paling akhir. Suami dan anak-anak sudah menungguku di meja makan. Seperti biasa, dialah yang menyediakan sarapan pagi dan mengantar anak-anak ke sekolah. Hari itu, ia mengingatkan kalau hari itu ada peringatan ulang tahun ibuku. Aku hanya menjawab dengan anggukan tanpa mempedulikan kata-katanya yang mengingatkan peristiwa tahun sebelumnya, saat itu aku memilih ke mal dan tidak hadir di acara ibu. Yaah, karena merasa terjebak dengan perkawinanku, aku juga membenci kedua orangtuaku.
Sebelum ke kantor, biasanya suamiku mencium pipiku saja dan diikuti anak-anak. Tetapi hari itu, ia juga memelukku sehingga anak-anak menggoda ayahnya dengan ribut. Aku berusaha mengelak dan melepaskan pelukannya. Meskipun akhirnya ikut tersenyum bersama anak-anak. Ia kembali mencium hingga beberapa kali di depan pintu, seakan-akan berat untuk pergi.
Ketika mereka pergi, akupun memutuskan untuk ke salon. Menghabiskan waktu ke salon adalah hobiku. Aku tiba di salon langgananku beberapa jam kemudian. Di salon aku bertemu salah satu temanku sekaligus orang yang tidak kusukai. Kami mengobrol dengan asyik termasuk saling memamerkan kegiatan kami. Tiba waktunya aku harus membayar tagihan salon, namun betapa terkejutnya aku ketika menyadari bahwa dompetku tertinggal di rumah. Meskipun merogoh tasku hingga bagian terdalam aku tak menemukannya di dalam tas.
Sambil berusaha mengingat-ingat apa yang terjadi hingga dompetku tak bisa kutemukan aku menelepon suamiku dan bertanya.
“Maaf sayang, kemarin Farhan meminta uang jajan dan aku tak punya uang kecil maka kuambil dari dompetmu. Aku lupa menaruhnya kembali ke tasmu, kalau tidak salah aku letakkan di atas meja kerjaku.” Katanya menjelaskan dengan lembut.
Dengan marah, aku mengomelinya dengan kasar. Kututup telepon tanpa menunggunya selesai bicara. Tak lama kemudian, handphoneku kembali berbunyi dan meski masih kesal, akupun mengangkatnya dengan setengah membentak. “Apalagi??”
“Sayang, aku pulang sekarang, aku akan ambil dompet dan mengantarnya padamu. Sayang sekarang ada dimana?” tanya suamiku cepat, kuatir aku menutup telepon kembali. Aku menyebut nama salonku dan tanpa menunggu jawabannya lagi, aku kembali menutup telepon.
Aku berbicara dengan kasir dan mengatakan bahwa suamiku akan datang membayarkan tagihanku. Si empunya Salon yang sahabatku sebenarnya sudah membolehkanku pergi dan mengatakan aku bisa membayarnya nanti kalau aku kembali lagi.
Tapi rasa malu karena “musuh”ku juga ikut mendengarku ketinggalan dompet membuatku gengsi untuk berhutang dulu.
Hujan turun ketika aku melihat keluar dan berharap mobil suamiku segera sampai. Menit berlalu menjadi jam, aku semakin tidak sabar sehingga mulai menghubungi handphone suamiku. Tak ada jawaban meskipun sudah berkali-kali kutelepon. Padahal biasanya hanya dua kali berdering teleponku sudah diangkatnya. Aku mulai merasa tidak enak dan marah.
Teleponku diangkat setelah beberapa kali mencoba. Ketika suara bentakanku belum lagi keluar, terdengar suara asing menjawab telepon suamiku. Aku terdiam beberapa saat sebelum suara lelaki asing itu memperkenalkan diri, “Selamat siang, ibu. Apakah ibu istri dari bapak armandi?” kujawab pertanyaan itu segera.
Lelaki asing itu ternyata seorang polisi, ia memberitahu bahwa suamiku mengalami kecelakaan dan saat ini ia sedang dibawa ke rumah sakit kepolisian. Saat itu aku hanya terdiam dan hanya menjawab terima kasih. Ketika telepon ditutup, aku berjongkok dengan bingung. Tanganku menggenggam erat handphone yang kupegang dan beberapa pegawai salon mendekatiku dengan sigap bertanya ada apa hingga wajahku menjadi pucat seputih kertas.
Entah bagaimana akhirnya aku sampai di rumah sakit. Entah bagaimana juga tahu-tahu seluruh keluarga hadir di sana menyusulku. Aku yang hanya diam seribu bahasa menunggu suamiku di depan ruang gawat darurat. Aku tak tahu harus melakukan apa karena selama ini dialah yang melakukan segalanya untukku. Ketika akhirnya setelah menunggu beberapa jam, tepat ketika kumandang adzan maghrib terdengar seorang dokter keluar dan menyampaikan berita itu. Suamiku telah tiada. Ia pergi bukan karena kecelakaan itu sendiri, serangan stroke-lah yang menyebabkan kematiannya.
Selesai mendengar kenyataan itu, aku malah sibuk menguatkan kedua orangtuaku dan orangtuanya yang shock. Sama sekali tak ada airmata setetespun keluar di kedua mataku. Aku sibuk menenangkan ayah ibu dan mertuaku. Anak-anak yang terpukul memelukku dengan erat tetapi kesedihan mereka sama sekali tak mampu membuatku menangis.
Ketika jenazah dibawa ke rumah dan aku duduk di hadapannya, aku termangu menatap wajah itu. Kusadari baru kali inilah aku benar-benar menatap wajahnya yang tampak tertidur pulas. Kudekati wajahnya dan kupandangi dengan seksama.
Saat itulah dadaku menjadi sesak teringat apa yang telah ia berikan padaku selama sepuluh tahun kebersamaan kami. Kusentuh perlahan wajahnya yang telah dingin dan kusadari inilah kali pertama kali aku menyentuh wajahnya yang dulu selalu dihiasi senyum hangat.
Airmata merebak dimataku, mengaburkan pandanganku. Aku terkesiap berusaha mengusap agar airmata tak menghalangi tatapan terakhirku padanya, aku ingin mengingat semua bagian wajahnya agar kenangan manis tentang suamiku tak berakhir begitu saja. Tapi bukannya berhenti, airmataku semakin deras membanjiri kedua pipiku. Peringatan dari imam mesjid yang mengatur prosesi pemakaman tidak mampu membuatku berhenti menangis. Aku berusaha menahannya, tapi dadaku sesak mengingat apa yang telah kuperbuat padanya terakhir kali kami berbicara.
Aku teringat betapa aku tak pernah memperhatikan kesehatannya. Aku hampir tak pernah mengatur makannya. Padahal ia selalu mengatur apa yang kumakan. Ia memperhatikan vitamin dan obat yang harus kukonsumsi terutama ketika mengandung dan setelah melahirkan. Ia tak pernah absen mengingatkanku makan teratur, bahkan terkadang menyuapiku kalau aku sedang malas makan. Aku tak pernah tahu apa yang ia makan karena aku tak pernah bertanya. Bahkan aku tak tahu apa yang ia sukai dan tidak disukai.
Hampir seluruh keluarga tahu bahwa suamiku adalah penggemar mie instant dan kopi kental. Dadaku sesak mendengarnya, karena aku tahu ia mungkin terpaksa makan mie instant karena aku hampir tak pernah memasak untuknya. Aku hanya memasak untuk anak-anak dan diriku sendiri. Aku tak perduli dia sudah makan atau belum ketika pulang kerja. Ia bisa makan masakanku hanya kalau bersisa. Iapun pulang larut malam setiap hari karena dari kantor cukup jauh dari rumah. Aku tak pernah mau menanggapi permintaannya untuk pindah lebih dekat ke kantornya karena tak mau jauh-jauh dari tempat tinggal teman-temanku.
Saat pemakaman, aku tak mampu menahan diri lagi. Aku pingsan ketika melihat tubuhnya hilang bersamaan onggokan tanah yang menimbun. Aku tak tahu apapun sampai terbangun di tempat tidur besarku. Aku terbangun dengan rasa sesal memenuhi rongga dadaku. Keluarga besarku membujukku dengan sia-sia karena mereka tak pernah tahu mengapa aku begitu terluka kehilangan dirinya.
Hari-hari yang kujalani setelah kepergiannya bukanlah kebebasan seperti yang selama ini kuinginkan tetapi aku malah terjebak di dalam keinginan untuk bersamanya. Di hari-hari awal kepergiannya, aku duduk termangu memandangi piring kosong. Ayah, Ibu dan ibu mertuaku membujukku makan. Tetapi yang kuingat hanyalah saat suamiku membujukku makan kalau aku sedang mengambek dulu.
Ketika aku lupa membawa handuk saat mandi, aku berteriak memanggilnya seperti biasa dan ketika malah ibuku yang datang, aku berjongkok menangis di dalam kamar mandi berharap ia yang datang. Kebiasaanku yang meneleponnya setiap kali aku tidak bisa melakukan sesuatu di rumah, membuat teman kerjanya kebingungan menjawab teleponku. Setiap malam aku menunggunya di kamar tidur dan berharap esok pagi aku terbangun dengan sosoknya di sebelahku.
Dulu aku begitu kesal kalau tidur mendengar suara dengkurannya, tapi sekarang aku bahkan sering terbangun karena rindu mendengarnya kembali. Dulu aku kesal karena ia sering berantakan di kamar tidur kami, tetapi kini aku merasa kamar tidur kami terasa kosong dan hampa. Dulu aku begitu kesal jika ia melakukan pekerjaan dan meninggalkannya di laptopku tanpa me-log out, sekarang aku memandangi komputer, mengusap tuts-tutsnya berharap bekas jari-jarinya masih tertinggal di sana.
Dulu aku paling tidak suka ia membuat kopi tanpa alas piring di meja, sekarang bekasnya yang tersisa di sarapan pagi terakhirnyapun tidak mau kuhapus. Remote televisi yang biasa disembunyikannya, sekarang dengan mudah kutemukan meski aku berharap bisa mengganti kehilangannya dengan kehilangan remote. Semua kebodohan itu kulakukan karena aku baru menyadari bahwa dia mencintaiku dan aku sudah terkena panah cintanya.
Aku juga marah pada diriku sendiri, aku marah karena semua kelihatan normal meskipun ia sudah tidak ada. Aku marah
karena baju-bajunya masih di sana meninggalkan baunya yang membuatku rindu. Aku marah karena tak bisa menghentikan semua penyesalanku. Aku marah karena tak ada lagi yang membujukku agar tenang, tak ada lagi yang mengingatkanku sholat meskipun kini kulakukan dengan ikhlas.
Aku sholat karena aku ingin meminta maaf, meminta maaf pada Allah karena menyia-nyiakan suami yang dianugerahi padaku, meminta ampun karena telah menjadi istri yang tidak baik pada suami yang begitu sempurna. Sholatlah yang mampu menghapus dukaku sedikit demi sedikit. Cinta Allah padaku ditunjukkannya dengan begitu banyak perhatian dari keluarga untukku dan anak-anak. Teman-temanku yang selama ini kubela-belain, hampir tak pernah menunjukkan batang hidung mereka setelah kepergian suamiku.
Empat puluh hari setelah kematiannya, keluarga mengingatkanku untuk bangkit dari keterpurukan. Ada dua anak yang menungguku dan harus kuhidupi. Kembali rasa bingung merasukiku. Selama ini aku tahu beres dan tak pernah bekerja. Semua dilakukan suamiku. Berapa besar pendapatannya selama ini aku tak pernah peduli, yang kupedulikan hanya jumlah rupiah yang ia transfer ke rekeningku untuk kupakai untuk keperluan pribadi dan setiap bulan uang itu hampir tak pernah bersisa. Dari kantor tempatnya bekerja, aku memperoleh gaji terakhir beserta kompensasi bonusnya.
Ketika melihatnya aku terdiam tak menyangka, ternyata seluruh gajinya ditransfer ke rekeningku selama ini. Padahal aku tak pernah sedikitpun menggunakan untuk keperluan rumah tangga. Entah darimana ia memperoleh uang lain untuk memenuhi kebutuhan rumah tangga karena aku tak pernah bertanya sekalipun soal itu.Yang aku tahu sekarang aku harus bekerja atau anak-anakku takkan bisa hidup karena jumlah gaji terakhir dan kompensasi bonusnya takkan cukup untuk menghidupi kami bertiga. Tapi bekerja di mana? Aku hampir tak pernah punya pengalaman sama sekali. Semuanya selalu diatur oleh dia.
Kebingunganku terjawab beberapa waktu kemudian. Ayahku datang bersama seorang notaris. Ia membawa banyak sekali dokumen. Lalu notaris memberikan sebuah surat. Surat pernyataan suami bahwa ia mewariskan seluruh kekayaannya padaku dan anak-anak, ia menyertai ibunya dalam surat tersebut tapi yang membuatku tak mampu berkata apapun adalah isi suratnya untukku.
Istriku Liliana tersayang,
Maaf karena harus meninggalkanmu terlebih dahulu, sayang. maaf karena harus membuatmu bertanggung jawab mengurus segalanya sendiri. Maaf karena aku tak bisa memberimu cinta dan kasih sayang lagi. Allah memberiku waktu yang terlalu singkat karena mencintaimu dan anak-anak adalah hal terbaik yang pernah kulakukan untukmu.
Seandainya aku bisa, aku ingin mendampingi sayang selamanya. Tetapi aku tak mau kalian kehilangan kasih sayangku begitu saja. Selama ini aku telah menabung sedikit demi sedikit untuk kehidupan kalian nanti. Aku tak ingin sayang susah setelah aku pergi. Tak banyak yang bisa kuberikan tetapi aku berharap sayang bisa memanfaatkannya untuk membesarkan dan mendidik anak-anak. Lakukan yang terbaik untuk mereka, ya sayang.
Jangan menangis, sayangku yang manja. Lakukan banyak hal untuk membuat hidupmu yang terbuang percuma selama ini. Aku memberi kebebasan padamu untuk mewujudkan mimpi-mimpi yang tak sempat kau lakukan selama ini. Maafkan kalau aku menyusahkanmu dan semoga Tuhan memberimu jodoh yang lebih baik dariku.
Teruntuk Farah, putri tercintaku. Maafkan karena ayah tak bisa mendampingimu. Jadilah istri yang baik seperti Ibu dan Farhan, ksatria pelindungku. Jagalah Ibu dan Farah. Jangan jadi anak yang bandel lagi dan selalu ingat dimanapun kalian berada, ayah akan disana melihatnya. Oke, Buddy!
Aku terisak membaca surat itu, ada gambar kartun dengan kacamata yang diberi lidah menjulur khas suamiku kalau ia mengirimkan note. Notaris memberitahu bahwa selama ini suamiku memiliki beberapa asuransi dan tabungan deposito dari hasil warisan ayah kandungnya. Suamiku membuat beberapa usaha dari hasil deposito tabungan tersebut dan usaha tersebut cukup berhasil meskipun dimanajerin oleh orang-orang kepercayaannya. Aku hanya bisa menangis terharu mengetahui betapa besar cintanya pada kami, sehingga ketika ajal menjemputnya ia tetap membanjiri kami dengan cinta.
Aku tak pernah berpikir untuk menikah lagi. Banyaknya lelaki yang hadir tak mampu menghapus sosoknya yang masih begitu hidup di dalam hatiku. Hari demi hari hanya kuabdikan untuk anak-anakku. Ketika orangtuaku dan mertuaku pergi satu persatu meninggalkanku selaman-lamanya, tak satupun meninggalkan kesedihan sedalam kesedihanku saat suamiku pergi.
Kini kedua putra putriku berusia duapuluh tiga tahun. Dua hari lagi putriku menikahi seorang pemuda dari tanah seberang. Putri kami bertanya, “Ibu, aku harus bagaimana nanti setelah menjadi istri, soalnya Farah kan ga bisa masak, ga bisa nyuci, gimana ya bu?”
Aku merangkulnya sambil berkata “Cinta sayang, cintailah suamimu, cintailah pilihan hatimu, cintailah apa yang ia miliki dan kau akan mendapatkan segalanya. Karena cinta, kau akan belajar menyenangkan hatinya, akan belajar menerima kekurangannya, akan belajar bahwa sebesar apapun persoalan, kalian akan menyelesaikannya atas nama cinta.”
Putriku menatapku, “seperti cinta ibu untuk ayah? Cinta itukah yang membuat ibu tetap setia pada ayah sampai sekarang?”
Aku menggeleng, “bukan, sayangku. Cintailah suamimu seperti ayah mencintai ibu dulu, seperti ayah mencintai kalian berdua. Ibu setia pada ayah karena cinta ayah yang begitu besar pada ibu dan kalian berdua.”
Aku mungkin tak beruntung karena tak sempat menunjukkan cintaku pada suamiku. Aku menghabiskan sepuluh tahun untuk membencinya, tetapi menghabiskan hampir sepanjang sisa hidupku untuk mencintainya. Aku bebas darinya karena kematian, tapi aku tak pernah bisa bebas dari cintanya yang begitu tulus.
10 tahun Aku membenci Suamiku ][
Semoga peristiwa di bawah ini membuat kita belajar bersyukur untuk apa yang kita miliki :
Aku membencinya, itulah yang selalu kubisikkan dalam hatiku hampir sepanjang kebersamaan kami. Meskipun menikahinya, aku tak pernah benar-benar menyerahkan hatiku padanya. Menikah karena paksaan orangtua, membuatku membenci suamiku sendiri.
Walaupun menikah terpaksa, aku tak pernah menunjukkan sikap benciku. Meskipun membencinya, setiap hari aku melayaninya sebagaimana tugas istri. Aku terpaksa melakukan semuanya karena aku tak punya pegangan lain. Beberapa kali muncul keinginan meninggalkannya tapi aku tak punya kemampuan finansial dan dukungan siapapun. Kedua orangtuaku sangat menyayangi suamiku karena menurut mereka, suamiku adalah sosok suami sempurna untuk putri satu-satunya mereka.
Ketika menikah, aku menjadi istri yang teramat manja. Kulakukan segala hal sesuka hatiku. Suamiku juga memanjakanku sedemikian rupa. Aku tak pernah benar-benar menjalani tugasku sebagai seorang istri. Aku selalu bergantung padanya karena aku menganggap hal itu sudah seharusnya setelah apa yang ia lakukan padaku. Aku telah menyerahkan hidupku padanya sehingga tugasnyalah membuatku bahagia dengan menuruti semua keinginanku.
Di rumah kami, akulah ratunya. Tak ada seorangpun yang berani melawan. Jika ada sedikit saja masalah, aku selalu menyalahkan suamiku. Aku tak suka handuknya yang basah yang diletakkan di tempat tidur, aku sebal melihat ia meletakkan sendok sisa mengaduk susu di atas meja dan meninggalkan bekas lengket, aku benci ketika ia memakai komputerku meskipun hanya untuk menyelesaikan pekerjaannya. Aku marah kalau ia menggantung bajunya di kapstock bajuku, aku juga marah kalau ia memakai pasta gigi tanpa memencetnya dengan rapi, aku marah kalau ia menghubungiku hingga berkali-kali ketika aku sedang bersenang-senang dengan teman-temanku.
Tadinya aku memilih untuk tidak punya anak. Meskipun tidak bekerja, tapi aku tak mau mengurus anak. Awalnya dia mendukung dan akupun ber-KB dengan pil. Tapi rupanya ia menyembunyikan keinginannya begitu dalam sampai suatu hari aku lupa minum pil KB dan meskipun ia tahu ia membiarkannya. Akupun hamil dan baru menyadarinya setelah lebih dari empat bulan, dokterpun menolak menggugurkannya.
Itulah kemarahanku terbesar padanya. Kemarahan semakin bertambah ketika aku mengandung sepasang anak kembar dan harus mengalami kelahiran yang sulit. Aku memaksanya melakukan tindakan vasektomi agar aku tidak hamil lagi. Dengan patuh ia melakukan semua keinginanku karena aku mengancam akan meninggalkannya bersama kedua anak kami.
Waktu berlalu hingga anak-anak tak terasa berulang tahun yang ke-delapan. Seperti pagi-pagi sebelumnya, aku bangun paling akhir. Suami dan anak-anak sudah menungguku di meja makan. Seperti biasa, dialah yang menyediakan sarapan pagi dan mengantar anak-anak ke sekolah. Hari itu, ia mengingatkan kalau hari itu ada peringatan ulang tahun ibuku. Aku hanya menjawab dengan anggukan tanpa mempedulikan kata-katanya yang mengingatkan peristiwa tahun sebelumnya, saat itu aku memilih ke mal dan tidak hadir di acara ibu. Yaah, karena merasa terjebak dengan perkawinanku, aku juga membenci kedua orangtuaku.
Sebelum ke kantor, biasanya suamiku mencium pipiku saja dan diikuti anak-anak. Tetapi hari itu, ia juga memelukku sehingga anak-anak menggoda ayahnya dengan ribut. Aku berusaha mengelak dan melepaskan pelukannya. Meskipun akhirnya ikut tersenyum bersama anak-anak. Ia kembali mencium hingga beberapa kali di depan pintu, seakan-akan berat untuk pergi.
Ketika mereka pergi, akupun memutuskan untuk ke salon. Menghabiskan waktu ke salon adalah hobiku. Aku tiba di salon langgananku beberapa jam kemudian. Di salon aku bertemu salah satu temanku sekaligus orang yang tidak kusukai. Kami mengobrol dengan asyik termasuk saling memamerkan kegiatan kami. Tiba waktunya aku harus membayar tagihan salon, namun betapa terkejutnya aku ketika menyadari bahwa dompetku tertinggal di rumah. Meskipun merogoh tasku hingga bagian terdalam aku tak menemukannya di dalam tas.
Sambil berusaha mengingat-ingat apa yang terjadi hingga dompetku tak bisa kutemukan aku menelepon suamiku dan bertanya.
“Maaf sayang, kemarin Farhan meminta uang jajan dan aku tak punya uang kecil maka kuambil dari dompetmu. Aku lupa menaruhnya kembali ke tasmu, kalau tidak salah aku letakkan di atas meja kerjaku.” Katanya menjelaskan dengan lembut.
Dengan marah, aku mengomelinya dengan kasar. Kututup telepon tanpa menunggunya selesai bicara. Tak lama kemudian, handphoneku kembali berbunyi dan meski masih kesal, akupun mengangkatnya dengan setengah membentak. “Apalagi??”
“Sayang, aku pulang sekarang, aku akan ambil dompet dan mengantarnya padamu. Sayang sekarang ada dimana?” tanya suamiku cepat, kuatir aku menutup telepon kembali. Aku menyebut nama salonku dan tanpa menunggu jawabannya lagi, aku kembali menutup telepon.
Aku berbicara dengan kasir dan mengatakan bahwa suamiku akan datang membayarkan tagihanku. Si empunya Salon yang sahabatku sebenarnya sudah membolehkanku pergi dan mengatakan aku bisa membayarnya nanti kalau aku kembali lagi.
Tapi rasa malu karena “musuh”ku juga ikut mendengarku ketinggalan dompet membuatku gengsi untuk berhutang dulu.
Hujan turun ketika aku melihat keluar dan berharap mobil suamiku segera sampai. Menit berlalu menjadi jam, aku semakin tidak sabar sehingga mulai menghubungi handphone suamiku. Tak ada jawaban meskipun sudah berkali-kali kutelepon. Padahal biasanya hanya dua kali berdering teleponku sudah diangkatnya. Aku mulai merasa tidak enak dan marah.
Teleponku diangkat setelah beberapa kali mencoba. Ketika suara bentakanku belum lagi keluar, terdengar suara asing menjawab telepon suamiku. Aku terdiam beberapa saat sebelum suara lelaki asing itu memperkenalkan diri, “Selamat siang, ibu. Apakah ibu istri dari bapak armandi?” kujawab pertanyaan itu segera.
Lelaki asing itu ternyata seorang polisi, ia memberitahu bahwa suamiku mengalami kecelakaan dan saat ini ia sedang dibawa ke rumah sakit kepolisian. Saat itu aku hanya terdiam dan hanya menjawab terima kasih. Ketika telepon ditutup, aku berjongkok dengan bingung. Tanganku menggenggam erat handphone yang kupegang dan beberapa pegawai salon mendekatiku dengan sigap bertanya ada apa hingga wajahku menjadi pucat seputih kertas.
Entah bagaimana akhirnya aku sampai di rumah sakit. Entah bagaimana juga tahu-tahu seluruh keluarga hadir di sana menyusulku. Aku yang hanya diam seribu bahasa menunggu suamiku di depan ruang gawat darurat. Aku tak tahu harus melakukan apa karena selama ini dialah yang melakukan segalanya untukku. Ketika akhirnya setelah menunggu beberapa jam, tepat ketika kumandang adzan maghrib terdengar seorang dokter keluar dan menyampaikan berita itu. Suamiku telah tiada. Ia pergi bukan karena kecelakaan itu sendiri, serangan stroke-lah yang menyebabkan kematiannya.
Selesai mendengar kenyataan itu, aku malah sibuk menguatkan kedua orangtuaku dan orangtuanya yang shock. Sama sekali tak ada airmata setetespun keluar di kedua mataku. Aku sibuk menenangkan ayah ibu dan mertuaku. Anak-anak yang terpukul memelukku dengan erat tetapi kesedihan mereka sama sekali tak mampu membuatku menangis.
Ketika jenazah dibawa ke rumah dan aku duduk di hadapannya, aku termangu menatap wajah itu. Kusadari baru kali inilah aku benar-benar menatap wajahnya yang tampak tertidur pulas. Kudekati wajahnya dan kupandangi dengan seksama.
Saat itulah dadaku menjadi sesak teringat apa yang telah ia berikan padaku selama sepuluh tahun kebersamaan kami. Kusentuh perlahan wajahnya yang telah dingin dan kusadari inilah kali pertama kali aku menyentuh wajahnya yang dulu selalu dihiasi senyum hangat.
Airmata merebak dimataku, mengaburkan pandanganku. Aku terkesiap berusaha mengusap agar airmata tak menghalangi tatapan terakhirku padanya, aku ingin mengingat semua bagian wajahnya agar kenangan manis tentang suamiku tak berakhir begitu saja. Tapi bukannya berhenti, airmataku semakin deras membanjiri kedua pipiku. Peringatan dari imam mesjid yang mengatur prosesi pemakaman tidak mampu membuatku berhenti menangis. Aku berusaha menahannya, tapi dadaku sesak mengingat apa yang telah kuperbuat padanya terakhir kali kami berbicara.
Aku teringat betapa aku tak pernah memperhatikan kesehatannya. Aku hampir tak pernah mengatur makannya. Padahal ia selalu mengatur apa yang kumakan. Ia memperhatikan vitamin dan obat yang harus kukonsumsi terutama ketika mengandung dan setelah melahirkan. Ia tak pernah absen mengingatkanku makan teratur, bahkan terkadang menyuapiku kalau aku sedang malas makan. Aku tak pernah tahu apa yang ia makan karena aku tak pernah bertanya. Bahkan aku tak tahu apa yang ia sukai dan tidak disukai.
Hampir seluruh keluarga tahu bahwa suamiku adalah penggemar mie instant dan kopi kental. Dadaku sesak mendengarnya, karena aku tahu ia mungkin terpaksa makan mie instant karena aku hampir tak pernah memasak untuknya. Aku hanya memasak untuk anak-anak dan diriku sendiri. Aku tak perduli dia sudah makan atau belum ketika pulang kerja. Ia bisa makan masakanku hanya kalau bersisa. Iapun pulang larut malam setiap hari karena dari kantor cukup jauh dari rumah. Aku tak pernah mau menanggapi permintaannya untuk pindah lebih dekat ke kantornya karena tak mau jauh-jauh dari tempat tinggal teman-temanku.
Saat pemakaman, aku tak mampu menahan diri lagi. Aku pingsan ketika melihat tubuhnya hilang bersamaan onggokan tanah yang menimbun. Aku tak tahu apapun sampai terbangun di tempat tidur besarku. Aku terbangun dengan rasa sesal memenuhi rongga dadaku. Keluarga besarku membujukku dengan sia-sia karena mereka tak pernah tahu mengapa aku begitu terluka kehilangan dirinya.
Hari-hari yang kujalani setelah kepergiannya bukanlah kebebasan seperti yang selama ini kuinginkan tetapi aku malah terjebak di dalam keinginan untuk bersamanya. Di hari-hari awal kepergiannya, aku duduk termangu memandangi piring kosong. Ayah, Ibu dan ibu mertuaku membujukku makan. Tetapi yang kuingat hanyalah saat suamiku membujukku makan kalau aku sedang mengambek dulu.
Ketika aku lupa membawa handuk saat mandi, aku berteriak memanggilnya seperti biasa dan ketika malah ibuku yang datang, aku berjongkok menangis di dalam kamar mandi berharap ia yang datang. Kebiasaanku yang meneleponnya setiap kali aku tidak bisa melakukan sesuatu di rumah, membuat teman kerjanya kebingungan menjawab teleponku. Setiap malam aku menunggunya di kamar tidur dan berharap esok pagi aku terbangun dengan sosoknya di sebelahku.
Dulu aku begitu kesal kalau tidur mendengar suara dengkurannya, tapi sekarang aku bahkan sering terbangun karena rindu mendengarnya kembali. Dulu aku kesal karena ia sering berantakan di kamar tidur kami, tetapi kini aku merasa kamar tidur kami terasa kosong dan hampa. Dulu aku begitu kesal jika ia melakukan pekerjaan dan meninggalkannya di laptopku tanpa me-log out, sekarang aku memandangi komputer, mengusap tuts-tutsnya berharap bekas jari-jarinya masih tertinggal di sana.
Dulu aku paling tidak suka ia membuat kopi tanpa alas piring di meja, sekarang bekasnya yang tersisa di sarapan pagi terakhirnyapun tidak mau kuhapus. Remote televisi yang biasa disembunyikannya, sekarang dengan mudah kutemukan meski aku berharap bisa mengganti kehilangannya dengan kehilangan remote. Semua kebodohan itu kulakukan karena aku baru menyadari bahwa dia mencintaiku dan aku sudah terkena panah cintanya.
Aku juga marah pada diriku sendiri, aku marah karena semua kelihatan normal meskipun ia sudah tidak ada. Aku marah
karena baju-bajunya masih di sana meninggalkan baunya yang membuatku rindu. Aku marah karena tak bisa menghentikan semua penyesalanku. Aku marah karena tak ada lagi yang membujukku agar tenang, tak ada lagi yang mengingatkanku sholat meskipun kini kulakukan dengan ikhlas.
Aku sholat karena aku ingin meminta maaf, meminta maaf pada Allah karena menyia-nyiakan suami yang dianugerahi padaku, meminta ampun karena telah menjadi istri yang tidak baik pada suami yang begitu sempurna. Sholatlah yang mampu menghapus dukaku sedikit demi sedikit. Cinta Allah padaku ditunjukkannya dengan begitu banyak perhatian dari keluarga untukku dan anak-anak. Teman-temanku yang selama ini kubela-belain, hampir tak pernah menunjukkan batang hidung mereka setelah kepergian suamiku.
Empat puluh hari setelah kematiannya, keluarga mengingatkanku untuk bangkit dari keterpurukan. Ada dua anak yang menungguku dan harus kuhidupi. Kembali rasa bingung merasukiku. Selama ini aku tahu beres dan tak pernah bekerja. Semua dilakukan suamiku. Berapa besar pendapatannya selama ini aku tak pernah peduli, yang kupedulikan hanya jumlah rupiah yang ia transfer ke rekeningku untuk kupakai untuk keperluan pribadi dan setiap bulan uang itu hampir tak pernah bersisa. Dari kantor tempatnya bekerja, aku memperoleh gaji terakhir beserta kompensasi bonusnya.
Ketika melihatnya aku terdiam tak menyangka, ternyata seluruh gajinya ditransfer ke rekeningku selama ini. Padahal aku tak pernah sedikitpun menggunakan untuk keperluan rumah tangga. Entah darimana ia memperoleh uang lain untuk memenuhi kebutuhan rumah tangga karena aku tak pernah bertanya sekalipun soal itu.Yang aku tahu sekarang aku harus bekerja atau anak-anakku takkan bisa hidup karena jumlah gaji terakhir dan kompensasi bonusnya takkan cukup untuk menghidupi kami bertiga. Tapi bekerja di mana? Aku hampir tak pernah punya pengalaman sama sekali. Semuanya selalu diatur oleh dia.
Kebingunganku terjawab beberapa waktu kemudian. Ayahku datang bersama seorang notaris. Ia membawa banyak sekali dokumen. Lalu notaris memberikan sebuah surat. Surat pernyataan suami bahwa ia mewariskan seluruh kekayaannya padaku dan anak-anak, ia menyertai ibunya dalam surat tersebut tapi yang membuatku tak mampu berkata apapun adalah isi suratnya untukku.
Istriku Liliana tersayang,
Maaf karena harus meninggalkanmu terlebih dahulu, sayang. maaf karena harus membuatmu bertanggung jawab mengurus segalanya sendiri. Maaf karena aku tak bisa memberimu cinta dan kasih sayang lagi. Allah memberiku waktu yang terlalu singkat karena mencintaimu dan anak-anak adalah hal terbaik yang pernah kulakukan untukmu.
Seandainya aku bisa, aku ingin mendampingi sayang selamanya. Tetapi aku tak mau kalian kehilangan kasih sayangku begitu saja. Selama ini aku telah menabung sedikit demi sedikit untuk kehidupan kalian nanti. Aku tak ingin sayang susah setelah aku pergi. Tak banyak yang bisa kuberikan tetapi aku berharap sayang bisa memanfaatkannya untuk membesarkan dan mendidik anak-anak. Lakukan yang terbaik untuk mereka, ya sayang.
Jangan menangis, sayangku yang manja. Lakukan banyak hal untuk membuat hidupmu yang terbuang percuma selama ini. Aku memberi kebebasan padamu untuk mewujudkan mimpi-mimpi yang tak sempat kau lakukan selama ini. Maafkan kalau aku menyusahkanmu dan semoga Tuhan memberimu jodoh yang lebih baik dariku.
Teruntuk Farah, putri tercintaku. Maafkan karena ayah tak bisa mendampingimu. Jadilah istri yang baik seperti Ibu dan Farhan, ksatria pelindungku. Jagalah Ibu dan Farah. Jangan jadi anak yang bandel lagi dan selalu ingat dimanapun kalian berada, ayah akan disana melihatnya. Oke, Buddy!
Aku terisak membaca surat itu, ada gambar kartun dengan kacamata yang diberi lidah menjulur khas suamiku kalau ia mengirimkan note. Notaris memberitahu bahwa selama ini suamiku memiliki beberapa asuransi dan tabungan deposito dari hasil warisan ayah kandungnya. Suamiku membuat beberapa usaha dari hasil deposito tabungan tersebut dan usaha tersebut cukup berhasil meskipun dimanajerin oleh orang-orang kepercayaannya. Aku hanya bisa menangis terharu mengetahui betapa besar cintanya pada kami, sehingga ketika ajal menjemputnya ia tetap membanjiri kami dengan cinta.
Aku tak pernah berpikir untuk menikah lagi. Banyaknya lelaki yang hadir tak mampu menghapus sosoknya yang masih begitu hidup di dalam hatiku. Hari demi hari hanya kuabdikan untuk anak-anakku. Ketika orangtuaku dan mertuaku pergi satu persatu meninggalkanku selaman-lamanya, tak satupun meninggalkan kesedihan sedalam kesedihanku saat suamiku pergi.
Kini kedua putra putriku berusia duapuluh tiga tahun. Dua hari lagi putriku menikahi seorang pemuda dari tanah seberang. Putri kami bertanya, “Ibu, aku harus bagaimana nanti setelah menjadi istri, soalnya Farah kan ga bisa masak, ga bisa nyuci, gimana ya bu?”
Aku merangkulnya sambil berkata “Cinta sayang, cintailah suamimu, cintailah pilihan hatimu, cintailah apa yang ia miliki dan kau akan mendapatkan segalanya. Karena cinta, kau akan belajar menyenangkan hatinya, akan belajar menerima kekurangannya, akan belajar bahwa sebesar apapun persoalan, kalian akan menyelesaikannya atas nama cinta.”
Putriku menatapku, “seperti cinta ibu untuk ayah? Cinta itukah yang membuat ibu tetap setia pada ayah sampai sekarang?”
Aku menggeleng, “bukan, sayangku. Cintailah suamimu seperti ayah mencintai ibu dulu, seperti ayah mencintai kalian berdua. Ibu setia pada ayah karena cinta ayah yang begitu besar pada ibu dan kalian berdua.”
Aku mungkin tak beruntung karena tak sempat menunjukkan cintaku pada suamiku. Aku menghabiskan sepuluh tahun untuk membencinya, tetapi menghabiskan hampir sepanjang sisa hidupku untuk mencintainya. Aku bebas darinya karena kematian, tapi aku tak pernah bisa bebas dari cintanya yang begitu tulus.
AlfaFarm- Sersan
- Jumlah posting : 167
Join date : 13.01.14
Age : 36
Lokasi : Baturraden Purwokerto
Bertukar Istri...
Cerita ini adalah seorang suami yang merasa bosan dengan istrinya lalu mencoba bertukar istri dengan saudara kembarnya. Istri saudaranya tersebut berpenampilan menarik, cantik dan wangi. Sampai sejauh itukah hubungan mereka? Apakah semuanya sesuai harapannya?
Baca kisahnya di bawah ini.
Senyumnya mengembang menyambutku sepulang dari kantor. Seperti biasa, wanita itu mengajakku duduk di sofa. Kemudian wanita itu membuka sepatuku, kaus kakiku dan tidak lupa menyuguhkan secangkir teh manis hangat dan sepiring kue kesukaanku.
Dia adalah Yuni. Istriku yang sudah 13 tahun menemaniku dan telah memberiku 3 orang anak yang lucu.Ketika awal menikah, Yuni seorang wanita karir yang cantik dan menarik. Sungguh, Yuni benar-benar membuatku jatuh cinta.
Namun sejak kelahiran Daffa anak pertama kami, dia memutuskan untuk berhenti dari perusahaan tempatnya bekerja. Heny ingin lebih fokus dalam merawat dan mendidik anak-anak kami.
Aku tak mempermasalahkan alasannya. Aku ikut senang dan mendukungnya. Penghasilanku sudah lebih dari cukup untuk kebutuhan rumah tangga kami.
Namun seiring berjalannya waktu, Yuni telah berubah di mataku. Yuni tak semenarik dulu lagi. Sibuknya Yuni dalam mengurus rumah tangga dan merawat anak-anak kami, membuat Yuni lalai dalam merawat dirinya. Yuni jarang menggunakan make up, parfum, dan sering kali memakai daster butut yang selalu setia menemaninya di rumah. Menurut Yuni, sangat nyaman dan adem bila memakai daster di cuaca yang sangat panas.
“Mau makan malam atau mandi dulu mas?” Yuni membuyarkan lamunanku.
Di tangannya sudah siap handuk dan baju gantiku. Mataku sempat melirik sebuah foto pernikahan di dinding dengan tulisan dibawahnya: Yuni & Adi. Kami tampak begitu bahagia dan serasi.
“Mandi saja dek, tadi di kantor aku sudah makan”,
Aku terpaksa berbohong, meski sebenarnya aku belum makan, pemandangan lusuh yang ada di mataku telah merusak selera makanku.
Sementara di kantor, rekan-rekan wanitaku tampilannya modis dan wangi namun di rumah wanita yang menyambutku berbeda bagai langit dan bumi. Istriku yang memakai daster lusuh dan berdandan sangat natural.
Selesai mandi, segera aku masuk ke kamar Daffa. Dia tengah tertidur pulas. Di usianya yang masih 10 tahun, sudah terlihat wajahnya mengadopsi wajahku. Kukecup keningnya, selanjutnya aku beranjak menuju kamar Zahra dan Nadia. Mereka masih tidur dalam satu kamar. Kecantikan wajah keduanya mewarisi wajah Yuni, istriku. Setelah kucium keduanya yang sedang terlelap, segera aku beranjak menuju kamar tidurku.
Di dalam kamar, istriku sedang menyalakan lampu tidur. Aku segera berbaring ke tempat tidur yang telah rapi. Meski di rumah tidak ada pembantu rumah tangga, namun istriku mampu mengerjakan hampir semua pekerjaan rumah dengan baik. Dia memang tergolong wanita yang rajin, seolah-olah tidak ada capeknya.
“Bagaimana dengan pekerjaannya di kantor, mas ?”
“Baik dek” aku biasa memanggilnya dengan sebutan adek.
“Bener nggak ada masalah mas? Kok kuperhatikan akhir-akhir ini mas banyak diam”
“Iya, ngggak apa-apa kok,”
“Syukurlah kalau begitu mas” Yuni ikut naik ke ranjang sambil menyelimuti tubuhku dengan selimut yang lembut dan wangi. Aku memang tidak terlalu kuat dengan dingin AC.
Aku tidak bisa nyenyak dalam tidurku, jujur aku merasakan suatu kebosanan dengan kehidupanku. Disampingku istriku tidur dengan memakai daster kembang-kembang warna kuning yang juga dipakainya saat hamil Daffa anak pertamaku, yaaa…. berarti sudah 10 tahun lebih usia daster lusuh itu. Sungguh menjadi inspirasi untuk datangnya mimpi burukku.
Saat makan siang di kantor aku mengutarakan tentang kehidupan rumah tanggaku yang membosankan kepada Rudi dan Rio temen akrabku. Sambil tersenyum, silih berganti mereka mendengarkan keluhanku.
“Itu karena kamu terlalu monoton Adi, terlalu lurus berumah tangga. Sekali-kali cobalah melakukan sesuatu yang ekstrim untuk membakar kembali gelora jiwamu” Rudi nyerocos sambil menikmati sepiring nasi goreng.
“Betul tuh kata Rudi, cobalah melakukan sesuatu yang ekstrim agar kehidupan rumah tanggamu tidak monoton, dengan cara selingkuh misalnya, tuh.. diem-diem Siska, anak baru di departemen kita kuperhatikan sering curi-curi pandang ke kamu Ar, udah… jadiin aja Siska selingkuhanmu, aku yakin dengan berselingkuh kamu akan menemukan kembali apa yang selama ini hilang dari hidupmu” Rio turut memberikan usulannya.
Benar juga kata mereka, Siska anak baru di departemenku memang kuperhatikan sering curi-curi pandang, senyum serta sorot matanya menyiratkan sesuatu maksud tertentu kepadaku.
Meski di usiaku yang menginjak 38 tahun, namun ketampananku belum pudar, ditambah lagi posisiku di kantor yang cukup mapan, aku yakin tidak terlalu sulit buatku mendapatkan seorang wanita.
“Aku tidak mau terjebak dengan komitmen kepada seorang wanita sob, ada usulan lain nggak?”
“Kalau tidak mau susah-susah pelihara kambing, langsung beli satenya aja, ngerti kan maksudku di” kata Rudi dengan senyum nakalnya.
“Kita bisa kok mengantarmu ke tempat gadis-gadis cantik yang akan memuaskanmu, cinta satu malam, puas, tanpa komitmen, bayar, pulang deh berkumpul lagi bareng keluarga” Rio turut menimpali.
“Ok deh, thanks ya sob masukannya, aku pikir-pikir dulu.”
“Iya tapi jangan terlalu lama mikirnya, keburu digaet pak bos tuh si Siska, tahu sendiri bos kita nggak bisa lihat cewek bohay dikit” kata Rudi.
Untuk berselingkuh dengan wanita lain aku masih belum berani, demikian juga untuk berzinah, tidak pernah ada dalam kamusku. Dalam kekalutanku aku menghubungi Bimo, kakakku untuk bertemu saat makan siang.
Akhirnya pertemuanku dengan kakakku Bimo, akan terlaksana juga. Syukurlah di tengah kesibukannya, ia masih sempat meluangkan waktu untuk mendengar curahan hatiku.
“Hallo… sudah lama nunggu Di?” Bimo tersenyum menghampiriku.
Bimo mengenakan atasan setelan hem biru lengan panjang dan dipadukan dengan celana panjang hitam. Melihatnya, seolah aku sedang bercermin. Kita memang saudara kembar, namanya Bimo, dia lebih tua 10 menit dariku, sehingga antara kami berdua tidak ada yang memanggil kakak atau adik melainkan langsung dengan nama kami masing-masing.
“Begitulah Bim, masalah berat yang sedang aku hadapi”
Kening Bimo langsung berkerut pertanda sedang berfikir setalah mendengarkan panjang lebar curhatku, tidak lupa usulan teman-temanku Rudi dan Rio aku sampaikan kepadanya.
Bimo telah menikah juga dan baru dikaruniai 1 orang anak. Pernikan kita dahulu dilaksanakan dalam waktu yang bersamaan. Masih teringat ekspresi para tamu undangan yang tersenyum-senyum menyaksikan dua pasang pengantin dengan mempelai pria kembar identik. Ketika bersalaman tidak henti-hentinya para tamu berpesan kepada Yuni istriku, dan kepada Rosa istri Bimo,
“Awas jangan sampai tertukar ya suaminya di malam pertama!!”
Kami pun hanya bisa tersenyum membayangkan malam pertama tertukar, hihihi
“Semua keluarga pasti ada permasalahan Di, akupun juga tidak luput dari permasalahan keluarga” Bimo berucap sambil menghisap sebatang rokok.
Di mataku Bimo laki-laki yang sangat beruntung, punya istri Rosa yang cantik, seksi dan wangi. Tidak seperti Yuni yang lusuh dan bau minyak. Rosa seorang sekretaris pada sebuah perusahaan minyak asing. Kemanapun tampilannya selalu modis dan wangi. Bahkan ketika kami sekaluarga menginap di rumah Bimo, Rosa selalu tampil cantik di rumah.
“Kamu beruntung Di punya istri Yuni, seorang ibu yang pinter mendidik anak, telaten melayanimu dan bisa setiap saat bertemu denganmu, sedangkan aku karena kesibukan Rosa, jarang punya waktu untuk menikmati saat kebersamaan.”
“Tapi aku membutuhkan suatu terobosan besar dalam kehidupanku yang monotan ini Bim, kalau tidak, aku ragu apakah bahtera rumah tanggaku ini bisa diselamatkan. Kalau untuk selingkuh atau “jajan” seperti usul teman-temanku aku jelas tidak bisa melaksanakan Bim, duh.. gimana dong ada solusi nggak?”
“Hmm… gimana kalau aku tawarkan sesuatu yang ekstrim tapiiii… nggak jadi deh, Di..” ucap Bimo ragu-ragu.
“Ayo dong Bim, lanjutin kata-katanya, aku pasti setuju deh” pintaku dengan penasaran
“Sebenarnya aku ragu dengan usulanku ini, sangat ekstrim, namun lebih baik dibandingkan dengan selingkuh atau jajan Di. Kamu ingat tidak saat kita keluarga besar bertemu, Yuni dan Rosa sering salah mengira aku adalah kamu dan sebaliknya kamu dikira aku.”
“Bener juga ya Bim, selain papa mama, istri-istri dan anak-anak kita masih sering keliru, karena wajah, suara, postur dan perangai kita memang bener-bener susah dibedakan, terusss… maksud kamu apa Bim?” tanyaku tak sabar.
“Begini Di, setelah mendengar penjelasanmu tadi tentang tidak bahagianya kamu dengan istrimu, dan demi meyelamatkan rumah tangga kalian maka aku berfikir bagaimana kalau sementara waktu kita saling bertukar posisi, kamu di posisiku dan aku menggantikan posisimu.”
“ Barter atau tukeran istri maksudmu Bim”? tanyaku kaget dengan mata melotot.
“Bukan sekedar istri namun juga barter seluruh kesehariannya, keluarga dan pekerjaan Di, cukup satu minggu saja dan ada satu syarat yang tidak boleh kita langgar”?
“Syarat apa tuh, Bim”?
“Kamu berjanji tidak menggauli istriku Rosa Di, dan sebaliknya aku juga tidak berhubungan intim dengan istrimu Yuni, bagaimana?”
“Baiklah Bim kalau itu aku pasti setuju, tapi kalau boleh tahu apa alasanmu merelakan aku menikmati berada dalam posisimu meski cuma sementara”
“Seperti yang aku utarakan tadi Di, kulakukan ini untuk menyelamatkan kehidupan rumah tangga kalian, dari pada kamu terjerumus ke hal-hal yang tidak benar seperti teman-temanmu, disamping itu aku juga ingin menunjukkan kepadamu bahwa aku pun memiliki permasalahan dengan istriku, setiap rumah tangga pasti ada problem, yang terpenting bagaimana kita menyikapinya”
“Baik lah mulai kapan kita mulai permainan ini Bim ??”
“Sekarang saja mumpung kita bisa bertemu Di.”
Maka setelah kami saling bertukar informasi tentang situasi rumah, istri, anak-anak, pekerjaan dan lain-lain maka mulailah kami bertukar pakaian, HP dan kendaraan untuk melanjutkan keidupan sandiwara kami.Kupacu mobil Bimo menuju rumahnya yang sementara waktu akan jadi rumahku. Ada perasaan bimbang juga bagaimana bila Rosa, atau Farhan anaknya Bimo mengenaliku bukan Bimo.
Sesampainya di rumah, yang membukakan pintu bukanlah Rosa melainkan Mbok Rusti pembantu setia keluarga Bimo.
Dalam foto-foto yang dipajang di dinding nampak wajah cantik Rosa, hmm aku pasti bahagia seminggu ini menggantikan Bimo.
“Ibu belum pulang pak, bapak mau minum teh atau kopi? Makanan sudah mbok siapkan di meja makan” kata mbok Rusti.
Lega juga akhirnya ternyata mbok Rusti mengira aku Bimo
“Baik mbok, makasih,”
Belum sempat aku membuka sepatu, Farhan keponakanku, anak Bimo satu-satunya langsung menarik tanganku.
“Pa temenin Farhan maen bola ya.. trus maen kuda-kudaan”
“Sudah malam Farhan, papa capek besok saja ya?”
“Nggak mau, pokoknya papa harus temenin maen, kalau tidak Farhan nggak mau tidur malam”.
Dengan sangat terpaksa aku menemanin keponakanku itu bermain sepuasnya. Bayangan Yuni tiba-tiba muncul di benakku. Betapa capeknya dia selama ini mengurus ketiga orang anakku, dia melakukannya tanpa mengeluh sedikitpun.
Selesai bermain, aku masih harus menunggu sampai Farhan sampai tertidur dan aku baru bisa mandi. Tidak ada lagi Yuni yang menyiapkan handuk dan baju gantiku, aku sekarang melakukannya sendiri.
Selesai mandi aku menonton TV sambil menunggu kedatangan Rosa.
“Bapak nggak makan, pak?” sapa mbok Rusti.
“Nanti saja mbok nunggu ibu datang”
“Sebaiknya bapak makan duluan, ibu kan biasa pulang hampir tengah malam, bapak bisa kena sakit magg kalau menunggu ibu pulang” saran mbok Rusti kepadaku.
Benar juga sampai jam 22.00 Rosa belum juga pulang, akhirnya kusantap juga makanan yang sudah disiapkan mbok Surti sejak tadi, rasanya hambar dan dingin sangat berbeda dengan masakan Yuni istriku. Istriku pinter masak dan bikin kue, di hari libur pasti disempatkannya membuat sendiri kue-kue yang lezat.
Akhirnya aku tertidur juga, karena seharian capek kerja ditambah lagi menemani Farhan main kuda-kudaan. Aku terbangun dari tidurku karena merasa kedinginan, hmm pastes ternyata aku lupa tidak memakai selimut, biasanya istriku Heny yang memakaikan selimut jika aku lupa memakainya.
Kulihat disampingku tertidur seorang wanita bergaun tidur putih… Ahh hampir saja aku berteriak ketakutan,kupikir penampakan disampingku sejenis makhluk halus. Bergaun putih, muka pucat putih kaya topeng. Benar-benar membuatku terkejut.
Ternyata setelah kuperhatikan lebih dekat dia adalah Rosa. Tidurnya terlentang seperti mayat, muka pakai masker krim yang tebalnya 1 cm ditambah irisan mentimun di matanya.
Hmm… akhirnya kulanjutkan tidur juga, dalam hati aku berpikir apa enaknya Bimo punya istri cantik dan seksi namun tidurnya tidak lebih dari mayat begini, masih mending Yuni istriku yang dengan lembut dan penuh kasih sayang memperlakukan aku di atas ranjang.
Bangun tidur tidak kulihat Rosa disampingku. Mungkin dia sedang mandi, kudengar bunyi gemericik shower di kamar mandi yang ada di kamar. Segera saja aku menuju kamar mandi bawah untuk mandi. Setelah mandi aku masuk kamar dan kulihat Rosa sedang berdandan untuk ke kantor.
“Pa… sarapan sama Farhan ya, mama ada meeting pagi-pagi, nggak sempet sarapan. Oh ya pa, mulai nanti malam mama ada dinas luar kota selama 1 minggu, baik-baik ya di rumah “
Aku pun mengangguk serta beranjak turun untuk sarapan. Saat sedang menyantap sarapan, Rosa keluar dari kamar menuruni anak tangga, tampilannya sangat cantik, seksi dan wangi.
”Berangkat dulu ya pa, Farhan jangan nakal ya, mbok jaga rumah baik-baik !!” sambil menciumku ia beranjak menuju mobil meninggalkan bekas lipstick di pipiku.
Ternyata kecantikan dan keseksiannya hanya untuk orang lain bahkan suaminya pun tidak ada waktu untuk menikmatinya. Malang sekali nasibmu Bimo kakakku…
Sesampainya di kantor pertama kali yang kulakukan adalah menelpon Bimo saudara kembarku.
“Bim, tidak perlu menunggu sampai seminggu, barter ini selesai di sini saja ya. Aku tidak kuat” kataku pada Bimo.
“Hahaha… sudah kuduga kamu pasti akan menyerah Di, ok lah kita bertemu siang ini di kantin biasanya”,
Aku dengar gelak tawa Bimo di ujung telepon sana.
Sesampainya di rumah, seperti biasa dengan senyum indahnya, Yuni menyambut kedatanganku. Melepas sepatuku, kaus kakiku, dan menyiapkan air hangat untuk mandiku serta menemaniku makan malam. Masakan istriku yang masih hangat terasa begitu nikmat di lidahku. Meski baru sehari aku tidak merasakannya, serasa setahun aku tidak menikmati masakan lezat itu.
Ku lihat bola matanya lebih dalam, kulihat sorot mata kelelahan. Istriku ternyata begitu berat pekerjaanmu di rumah selama ini. Merawat ketiga anakku ditambah aku yang seolah-olah menjadi anak keempatmu yang masih serba dilayani sehingga tidak ada waktu untuk sekedar merawat tubuhmu.
Saat selesai shalat isya berjamaah dengan istriku, seperti biasa ia meraih tanganku untuk diciumnya dengan mesra. Ohh.. kurasakan tangan yang dulu begitu halus kini telah berubah sedemikian kasar, dan kurus, pastilah karena kerja kerasnya di rumah selama ini.
Kucium tangan suci ini, bagiku ini adalah tangan suci kedua setelah ibuku. Maafkan aku istriku, anak-anakku, aku selama ini hanya bisa menuntut ini dan itu bahkan begitu pengecut untuk sekedar mengutarakan uneg-unegku. Selalu membanding-bandingkanmu dengan wanita lain. Suami macam apa aku ini, yang hanya tahu mencari uang tanpa memikirkan keluarga.
Sebelum tidur, aku dan Yuni berdikusi banyak hal. Aku menyampaikan keluhanku padanya dengan cara yang halus tanpa menyinggung perasaannya. Setengah merayu dan memuji kukatakan padanya bahwa aku ingin melihat dan menikmati tubuh indahnya, dengan memberikan sebuah hadiah yang kubeli sepulang dari kantor tadi,
” Dek, aku punya hadiah untuk mu” kataku sambil menyodorkan bungkusan kado berwana biru. Warna kesukaan Yuni.
Dengan terkejut dan mata berbinar-binar Yuni membuka kadonya
” Wah, surprise nih mas. Boleh aku buka sekarang? ” tanyanya tak sabar.
” Ya, semoga dek Yuni suka dan mau memakainya malam ini ” kataku sambil mengedipkan mata.
Dengan terburu-buru Yuni membuka. Roman muka yang begitu gembira ketika Yuni melihat Adi membelikan setengah lusin Lingerie seksi pengganti daster batiknya yang lusuh. Yuni memeluk Adi dengan malu-malu dan berkata,
“Terima kasih mas, aku pasti pakai malam ini “
Aku juga menyarankan kepada Yuni untuk mengambil seorang pembantu rumah tangga dari sebuah yayasan. Tujuanku agar Yuni tidak terlalu kelelahan dalam mengurus rumah tangga dan anak-anak kami. Sehingga Yuni masih mempunyai waktu luang untuk merawat diri, kesalon, berolah raga dan membaca buku kegemarannya.
Yuni sangat gembira sekali. Dan permasalahan dikelurga kami telah tersolusikan.
“I Love you, Yuni!” Kataku sambil memeluknya
“Terima kasih sudah menemani dan mengurus aku dan anak-anak selama ini”,
Ku kecup keningnya dan tidak terasa meleleh air mataku, telah kutemukan apa yang selama ini aku cari-cari.
Merasa tertipu dengan judulnya ? ?? Hubungi klinik terdekat hahaha
http://forum.orisinil.com/index.php?topic=8614.0
Baca kisahnya di bawah ini.
Senyumnya mengembang menyambutku sepulang dari kantor. Seperti biasa, wanita itu mengajakku duduk di sofa. Kemudian wanita itu membuka sepatuku, kaus kakiku dan tidak lupa menyuguhkan secangkir teh manis hangat dan sepiring kue kesukaanku.
Dia adalah Yuni. Istriku yang sudah 13 tahun menemaniku dan telah memberiku 3 orang anak yang lucu.Ketika awal menikah, Yuni seorang wanita karir yang cantik dan menarik. Sungguh, Yuni benar-benar membuatku jatuh cinta.
Namun sejak kelahiran Daffa anak pertama kami, dia memutuskan untuk berhenti dari perusahaan tempatnya bekerja. Heny ingin lebih fokus dalam merawat dan mendidik anak-anak kami.
Aku tak mempermasalahkan alasannya. Aku ikut senang dan mendukungnya. Penghasilanku sudah lebih dari cukup untuk kebutuhan rumah tangga kami.
Namun seiring berjalannya waktu, Yuni telah berubah di mataku. Yuni tak semenarik dulu lagi. Sibuknya Yuni dalam mengurus rumah tangga dan merawat anak-anak kami, membuat Yuni lalai dalam merawat dirinya. Yuni jarang menggunakan make up, parfum, dan sering kali memakai daster butut yang selalu setia menemaninya di rumah. Menurut Yuni, sangat nyaman dan adem bila memakai daster di cuaca yang sangat panas.
“Mau makan malam atau mandi dulu mas?” Yuni membuyarkan lamunanku.
Di tangannya sudah siap handuk dan baju gantiku. Mataku sempat melirik sebuah foto pernikahan di dinding dengan tulisan dibawahnya: Yuni & Adi. Kami tampak begitu bahagia dan serasi.
“Mandi saja dek, tadi di kantor aku sudah makan”,
Aku terpaksa berbohong, meski sebenarnya aku belum makan, pemandangan lusuh yang ada di mataku telah merusak selera makanku.
Sementara di kantor, rekan-rekan wanitaku tampilannya modis dan wangi namun di rumah wanita yang menyambutku berbeda bagai langit dan bumi. Istriku yang memakai daster lusuh dan berdandan sangat natural.
Selesai mandi, segera aku masuk ke kamar Daffa. Dia tengah tertidur pulas. Di usianya yang masih 10 tahun, sudah terlihat wajahnya mengadopsi wajahku. Kukecup keningnya, selanjutnya aku beranjak menuju kamar Zahra dan Nadia. Mereka masih tidur dalam satu kamar. Kecantikan wajah keduanya mewarisi wajah Yuni, istriku. Setelah kucium keduanya yang sedang terlelap, segera aku beranjak menuju kamar tidurku.
Di dalam kamar, istriku sedang menyalakan lampu tidur. Aku segera berbaring ke tempat tidur yang telah rapi. Meski di rumah tidak ada pembantu rumah tangga, namun istriku mampu mengerjakan hampir semua pekerjaan rumah dengan baik. Dia memang tergolong wanita yang rajin, seolah-olah tidak ada capeknya.
“Bagaimana dengan pekerjaannya di kantor, mas ?”
“Baik dek” aku biasa memanggilnya dengan sebutan adek.
“Bener nggak ada masalah mas? Kok kuperhatikan akhir-akhir ini mas banyak diam”
“Iya, ngggak apa-apa kok,”
“Syukurlah kalau begitu mas” Yuni ikut naik ke ranjang sambil menyelimuti tubuhku dengan selimut yang lembut dan wangi. Aku memang tidak terlalu kuat dengan dingin AC.
Aku tidak bisa nyenyak dalam tidurku, jujur aku merasakan suatu kebosanan dengan kehidupanku. Disampingku istriku tidur dengan memakai daster kembang-kembang warna kuning yang juga dipakainya saat hamil Daffa anak pertamaku, yaaa…. berarti sudah 10 tahun lebih usia daster lusuh itu. Sungguh menjadi inspirasi untuk datangnya mimpi burukku.
Saat makan siang di kantor aku mengutarakan tentang kehidupan rumah tanggaku yang membosankan kepada Rudi dan Rio temen akrabku. Sambil tersenyum, silih berganti mereka mendengarkan keluhanku.
“Itu karena kamu terlalu monoton Adi, terlalu lurus berumah tangga. Sekali-kali cobalah melakukan sesuatu yang ekstrim untuk membakar kembali gelora jiwamu” Rudi nyerocos sambil menikmati sepiring nasi goreng.
“Betul tuh kata Rudi, cobalah melakukan sesuatu yang ekstrim agar kehidupan rumah tanggamu tidak monoton, dengan cara selingkuh misalnya, tuh.. diem-diem Siska, anak baru di departemen kita kuperhatikan sering curi-curi pandang ke kamu Ar, udah… jadiin aja Siska selingkuhanmu, aku yakin dengan berselingkuh kamu akan menemukan kembali apa yang selama ini hilang dari hidupmu” Rio turut memberikan usulannya.
Benar juga kata mereka, Siska anak baru di departemenku memang kuperhatikan sering curi-curi pandang, senyum serta sorot matanya menyiratkan sesuatu maksud tertentu kepadaku.
Meski di usiaku yang menginjak 38 tahun, namun ketampananku belum pudar, ditambah lagi posisiku di kantor yang cukup mapan, aku yakin tidak terlalu sulit buatku mendapatkan seorang wanita.
“Aku tidak mau terjebak dengan komitmen kepada seorang wanita sob, ada usulan lain nggak?”
“Kalau tidak mau susah-susah pelihara kambing, langsung beli satenya aja, ngerti kan maksudku di” kata Rudi dengan senyum nakalnya.
“Kita bisa kok mengantarmu ke tempat gadis-gadis cantik yang akan memuaskanmu, cinta satu malam, puas, tanpa komitmen, bayar, pulang deh berkumpul lagi bareng keluarga” Rio turut menimpali.
“Ok deh, thanks ya sob masukannya, aku pikir-pikir dulu.”
“Iya tapi jangan terlalu lama mikirnya, keburu digaet pak bos tuh si Siska, tahu sendiri bos kita nggak bisa lihat cewek bohay dikit” kata Rudi.
Untuk berselingkuh dengan wanita lain aku masih belum berani, demikian juga untuk berzinah, tidak pernah ada dalam kamusku. Dalam kekalutanku aku menghubungi Bimo, kakakku untuk bertemu saat makan siang.
Akhirnya pertemuanku dengan kakakku Bimo, akan terlaksana juga. Syukurlah di tengah kesibukannya, ia masih sempat meluangkan waktu untuk mendengar curahan hatiku.
“Hallo… sudah lama nunggu Di?” Bimo tersenyum menghampiriku.
Bimo mengenakan atasan setelan hem biru lengan panjang dan dipadukan dengan celana panjang hitam. Melihatnya, seolah aku sedang bercermin. Kita memang saudara kembar, namanya Bimo, dia lebih tua 10 menit dariku, sehingga antara kami berdua tidak ada yang memanggil kakak atau adik melainkan langsung dengan nama kami masing-masing.
“Begitulah Bim, masalah berat yang sedang aku hadapi”
Kening Bimo langsung berkerut pertanda sedang berfikir setalah mendengarkan panjang lebar curhatku, tidak lupa usulan teman-temanku Rudi dan Rio aku sampaikan kepadanya.
Bimo telah menikah juga dan baru dikaruniai 1 orang anak. Pernikan kita dahulu dilaksanakan dalam waktu yang bersamaan. Masih teringat ekspresi para tamu undangan yang tersenyum-senyum menyaksikan dua pasang pengantin dengan mempelai pria kembar identik. Ketika bersalaman tidak henti-hentinya para tamu berpesan kepada Yuni istriku, dan kepada Rosa istri Bimo,
“Awas jangan sampai tertukar ya suaminya di malam pertama!!”
Kami pun hanya bisa tersenyum membayangkan malam pertama tertukar, hihihi
“Semua keluarga pasti ada permasalahan Di, akupun juga tidak luput dari permasalahan keluarga” Bimo berucap sambil menghisap sebatang rokok.
Di mataku Bimo laki-laki yang sangat beruntung, punya istri Rosa yang cantik, seksi dan wangi. Tidak seperti Yuni yang lusuh dan bau minyak. Rosa seorang sekretaris pada sebuah perusahaan minyak asing. Kemanapun tampilannya selalu modis dan wangi. Bahkan ketika kami sekaluarga menginap di rumah Bimo, Rosa selalu tampil cantik di rumah.
“Kamu beruntung Di punya istri Yuni, seorang ibu yang pinter mendidik anak, telaten melayanimu dan bisa setiap saat bertemu denganmu, sedangkan aku karena kesibukan Rosa, jarang punya waktu untuk menikmati saat kebersamaan.”
“Tapi aku membutuhkan suatu terobosan besar dalam kehidupanku yang monotan ini Bim, kalau tidak, aku ragu apakah bahtera rumah tanggaku ini bisa diselamatkan. Kalau untuk selingkuh atau “jajan” seperti usul teman-temanku aku jelas tidak bisa melaksanakan Bim, duh.. gimana dong ada solusi nggak?”
“Hmm… gimana kalau aku tawarkan sesuatu yang ekstrim tapiiii… nggak jadi deh, Di..” ucap Bimo ragu-ragu.
“Ayo dong Bim, lanjutin kata-katanya, aku pasti setuju deh” pintaku dengan penasaran
“Sebenarnya aku ragu dengan usulanku ini, sangat ekstrim, namun lebih baik dibandingkan dengan selingkuh atau jajan Di. Kamu ingat tidak saat kita keluarga besar bertemu, Yuni dan Rosa sering salah mengira aku adalah kamu dan sebaliknya kamu dikira aku.”
“Bener juga ya Bim, selain papa mama, istri-istri dan anak-anak kita masih sering keliru, karena wajah, suara, postur dan perangai kita memang bener-bener susah dibedakan, terusss… maksud kamu apa Bim?” tanyaku tak sabar.
“Begini Di, setelah mendengar penjelasanmu tadi tentang tidak bahagianya kamu dengan istrimu, dan demi meyelamatkan rumah tangga kalian maka aku berfikir bagaimana kalau sementara waktu kita saling bertukar posisi, kamu di posisiku dan aku menggantikan posisimu.”
“ Barter atau tukeran istri maksudmu Bim”? tanyaku kaget dengan mata melotot.
“Bukan sekedar istri namun juga barter seluruh kesehariannya, keluarga dan pekerjaan Di, cukup satu minggu saja dan ada satu syarat yang tidak boleh kita langgar”?
“Syarat apa tuh, Bim”?
“Kamu berjanji tidak menggauli istriku Rosa Di, dan sebaliknya aku juga tidak berhubungan intim dengan istrimu Yuni, bagaimana?”
“Baiklah Bim kalau itu aku pasti setuju, tapi kalau boleh tahu apa alasanmu merelakan aku menikmati berada dalam posisimu meski cuma sementara”
“Seperti yang aku utarakan tadi Di, kulakukan ini untuk menyelamatkan kehidupan rumah tangga kalian, dari pada kamu terjerumus ke hal-hal yang tidak benar seperti teman-temanmu, disamping itu aku juga ingin menunjukkan kepadamu bahwa aku pun memiliki permasalahan dengan istriku, setiap rumah tangga pasti ada problem, yang terpenting bagaimana kita menyikapinya”
“Baik lah mulai kapan kita mulai permainan ini Bim ??”
“Sekarang saja mumpung kita bisa bertemu Di.”
Maka setelah kami saling bertukar informasi tentang situasi rumah, istri, anak-anak, pekerjaan dan lain-lain maka mulailah kami bertukar pakaian, HP dan kendaraan untuk melanjutkan keidupan sandiwara kami.Kupacu mobil Bimo menuju rumahnya yang sementara waktu akan jadi rumahku. Ada perasaan bimbang juga bagaimana bila Rosa, atau Farhan anaknya Bimo mengenaliku bukan Bimo.
Sesampainya di rumah, yang membukakan pintu bukanlah Rosa melainkan Mbok Rusti pembantu setia keluarga Bimo.
Dalam foto-foto yang dipajang di dinding nampak wajah cantik Rosa, hmm aku pasti bahagia seminggu ini menggantikan Bimo.
“Ibu belum pulang pak, bapak mau minum teh atau kopi? Makanan sudah mbok siapkan di meja makan” kata mbok Rusti.
Lega juga akhirnya ternyata mbok Rusti mengira aku Bimo
“Baik mbok, makasih,”
Belum sempat aku membuka sepatu, Farhan keponakanku, anak Bimo satu-satunya langsung menarik tanganku.
“Pa temenin Farhan maen bola ya.. trus maen kuda-kudaan”
“Sudah malam Farhan, papa capek besok saja ya?”
“Nggak mau, pokoknya papa harus temenin maen, kalau tidak Farhan nggak mau tidur malam”.
Dengan sangat terpaksa aku menemanin keponakanku itu bermain sepuasnya. Bayangan Yuni tiba-tiba muncul di benakku. Betapa capeknya dia selama ini mengurus ketiga orang anakku, dia melakukannya tanpa mengeluh sedikitpun.
Selesai bermain, aku masih harus menunggu sampai Farhan sampai tertidur dan aku baru bisa mandi. Tidak ada lagi Yuni yang menyiapkan handuk dan baju gantiku, aku sekarang melakukannya sendiri.
Selesai mandi aku menonton TV sambil menunggu kedatangan Rosa.
“Bapak nggak makan, pak?” sapa mbok Rusti.
“Nanti saja mbok nunggu ibu datang”
“Sebaiknya bapak makan duluan, ibu kan biasa pulang hampir tengah malam, bapak bisa kena sakit magg kalau menunggu ibu pulang” saran mbok Rusti kepadaku.
Benar juga sampai jam 22.00 Rosa belum juga pulang, akhirnya kusantap juga makanan yang sudah disiapkan mbok Surti sejak tadi, rasanya hambar dan dingin sangat berbeda dengan masakan Yuni istriku. Istriku pinter masak dan bikin kue, di hari libur pasti disempatkannya membuat sendiri kue-kue yang lezat.
Akhirnya aku tertidur juga, karena seharian capek kerja ditambah lagi menemani Farhan main kuda-kudaan. Aku terbangun dari tidurku karena merasa kedinginan, hmm pastes ternyata aku lupa tidak memakai selimut, biasanya istriku Heny yang memakaikan selimut jika aku lupa memakainya.
Kulihat disampingku tertidur seorang wanita bergaun tidur putih… Ahh hampir saja aku berteriak ketakutan,kupikir penampakan disampingku sejenis makhluk halus. Bergaun putih, muka pucat putih kaya topeng. Benar-benar membuatku terkejut.
Ternyata setelah kuperhatikan lebih dekat dia adalah Rosa. Tidurnya terlentang seperti mayat, muka pakai masker krim yang tebalnya 1 cm ditambah irisan mentimun di matanya.
Hmm… akhirnya kulanjutkan tidur juga, dalam hati aku berpikir apa enaknya Bimo punya istri cantik dan seksi namun tidurnya tidak lebih dari mayat begini, masih mending Yuni istriku yang dengan lembut dan penuh kasih sayang memperlakukan aku di atas ranjang.
Bangun tidur tidak kulihat Rosa disampingku. Mungkin dia sedang mandi, kudengar bunyi gemericik shower di kamar mandi yang ada di kamar. Segera saja aku menuju kamar mandi bawah untuk mandi. Setelah mandi aku masuk kamar dan kulihat Rosa sedang berdandan untuk ke kantor.
“Pa… sarapan sama Farhan ya, mama ada meeting pagi-pagi, nggak sempet sarapan. Oh ya pa, mulai nanti malam mama ada dinas luar kota selama 1 minggu, baik-baik ya di rumah “
Aku pun mengangguk serta beranjak turun untuk sarapan. Saat sedang menyantap sarapan, Rosa keluar dari kamar menuruni anak tangga, tampilannya sangat cantik, seksi dan wangi.
”Berangkat dulu ya pa, Farhan jangan nakal ya, mbok jaga rumah baik-baik !!” sambil menciumku ia beranjak menuju mobil meninggalkan bekas lipstick di pipiku.
Ternyata kecantikan dan keseksiannya hanya untuk orang lain bahkan suaminya pun tidak ada waktu untuk menikmatinya. Malang sekali nasibmu Bimo kakakku…
Sesampainya di kantor pertama kali yang kulakukan adalah menelpon Bimo saudara kembarku.
“Bim, tidak perlu menunggu sampai seminggu, barter ini selesai di sini saja ya. Aku tidak kuat” kataku pada Bimo.
“Hahaha… sudah kuduga kamu pasti akan menyerah Di, ok lah kita bertemu siang ini di kantin biasanya”,
Aku dengar gelak tawa Bimo di ujung telepon sana.
Sesampainya di rumah, seperti biasa dengan senyum indahnya, Yuni menyambut kedatanganku. Melepas sepatuku, kaus kakiku, dan menyiapkan air hangat untuk mandiku serta menemaniku makan malam. Masakan istriku yang masih hangat terasa begitu nikmat di lidahku. Meski baru sehari aku tidak merasakannya, serasa setahun aku tidak menikmati masakan lezat itu.
Ku lihat bola matanya lebih dalam, kulihat sorot mata kelelahan. Istriku ternyata begitu berat pekerjaanmu di rumah selama ini. Merawat ketiga anakku ditambah aku yang seolah-olah menjadi anak keempatmu yang masih serba dilayani sehingga tidak ada waktu untuk sekedar merawat tubuhmu.
Saat selesai shalat isya berjamaah dengan istriku, seperti biasa ia meraih tanganku untuk diciumnya dengan mesra. Ohh.. kurasakan tangan yang dulu begitu halus kini telah berubah sedemikian kasar, dan kurus, pastilah karena kerja kerasnya di rumah selama ini.
Kucium tangan suci ini, bagiku ini adalah tangan suci kedua setelah ibuku. Maafkan aku istriku, anak-anakku, aku selama ini hanya bisa menuntut ini dan itu bahkan begitu pengecut untuk sekedar mengutarakan uneg-unegku. Selalu membanding-bandingkanmu dengan wanita lain. Suami macam apa aku ini, yang hanya tahu mencari uang tanpa memikirkan keluarga.
Sebelum tidur, aku dan Yuni berdikusi banyak hal. Aku menyampaikan keluhanku padanya dengan cara yang halus tanpa menyinggung perasaannya. Setengah merayu dan memuji kukatakan padanya bahwa aku ingin melihat dan menikmati tubuh indahnya, dengan memberikan sebuah hadiah yang kubeli sepulang dari kantor tadi,
” Dek, aku punya hadiah untuk mu” kataku sambil menyodorkan bungkusan kado berwana biru. Warna kesukaan Yuni.
Dengan terkejut dan mata berbinar-binar Yuni membuka kadonya
” Wah, surprise nih mas. Boleh aku buka sekarang? ” tanyanya tak sabar.
” Ya, semoga dek Yuni suka dan mau memakainya malam ini ” kataku sambil mengedipkan mata.
Dengan terburu-buru Yuni membuka. Roman muka yang begitu gembira ketika Yuni melihat Adi membelikan setengah lusin Lingerie seksi pengganti daster batiknya yang lusuh. Yuni memeluk Adi dengan malu-malu dan berkata,
“Terima kasih mas, aku pasti pakai malam ini “
Aku juga menyarankan kepada Yuni untuk mengambil seorang pembantu rumah tangga dari sebuah yayasan. Tujuanku agar Yuni tidak terlalu kelelahan dalam mengurus rumah tangga dan anak-anak kami. Sehingga Yuni masih mempunyai waktu luang untuk merawat diri, kesalon, berolah raga dan membaca buku kegemarannya.
Yuni sangat gembira sekali. Dan permasalahan dikelurga kami telah tersolusikan.
“I Love you, Yuni!” Kataku sambil memeluknya
“Terima kasih sudah menemani dan mengurus aku dan anak-anak selama ini”,
Ku kecup keningnya dan tidak terasa meleleh air mataku, telah kutemukan apa yang selama ini aku cari-cari.
Merasa tertipu dengan judulnya ? ?? Hubungi klinik terdekat hahaha
http://forum.orisinil.com/index.php?topic=8614.0
AlfaFarm- Sersan
- Jumlah posting : 167
Join date : 13.01.14
Age : 36
Lokasi : Baturraden Purwokerto
Re: Cerita Dewasa untuk 17 Tahun Ke Atas.
ditunggu lagi pak cerita2nya...
losi- Kolonel
- Jumlah posting : 944
Join date : 21.01.14
Lokasi : Dapur magma
PUISI CINTA SUAMI KEPADA ISTRI :
.
Istriku yang ku sayang…
Aku Suamimu,
pendamping hidupmu…
bukan BB-mu…
bukan juga Facebook-mu…
Tapi kenapa?
Pertama kau buka matamu,
yang kau sapa BB-mu,
FB-mu…
bukanya “Selamat pagi Suamiku…”
Bunyi ping ping,
buzz buzz,
krik krik,
tingtong tingtong
lebih menarik perhatianmu
dari pada panggilan sayangku…
Biarlah,
kamu asyik dengan FB-mu,
kamu bawa terus BB-mu…
ke ruang tamu,
ruang makan,
dapur,
kamar mandi,
garasi,
bahkan di atas tempat tidur…
Biarlah kamu terus menunduk,
bahkan matamu tidak berkedip
meski pun suami dan ibu mertuamu lewat
di depanmu…
Sampai kapan kamu
akan terjerumus Cinta Segitiga seperti ini,
Istriku tersayang…?
(Cinta segitiga antara
Facebook, Blackberry
dan Suamimu…..???)
_____
From : Kakanda
[Copas]
Istriku yang ku sayang…
Aku Suamimu,
pendamping hidupmu…
bukan BB-mu…
bukan juga Facebook-mu…
Tapi kenapa?
Pertama kau buka matamu,
yang kau sapa BB-mu,
FB-mu…
bukanya “Selamat pagi Suamiku…”
Bunyi ping ping,
buzz buzz,
krik krik,
tingtong tingtong
lebih menarik perhatianmu
dari pada panggilan sayangku…
Biarlah,
kamu asyik dengan FB-mu,
kamu bawa terus BB-mu…
ke ruang tamu,
ruang makan,
dapur,
kamar mandi,
garasi,
bahkan di atas tempat tidur…
Biarlah kamu terus menunduk,
bahkan matamu tidak berkedip
meski pun suami dan ibu mertuamu lewat
di depanmu…
Sampai kapan kamu
akan terjerumus Cinta Segitiga seperti ini,
Istriku tersayang…?
(Cinta segitiga antara
Facebook, Blackberry
dan Suamimu…..???)
_____
From : Kakanda
[Copas]
AlfaFarm- Sersan
- Jumlah posting : 167
Join date : 13.01.14
Age : 36
Lokasi : Baturraden Purwokerto
squallj- Registered Sellers
- Jumlah posting : 1062
Join date : 26.02.13
Lokasi : Kediri
Re: Cerita Dewasa untuk 17 Tahun Ke Atas.
Bagus Bang, Cerpennya...
aditp- Jendral
- Jumlah posting : 1318
Join date : 05.08.13
Re: Cerita Dewasa untuk 17 Tahun Ke Atas.
AlfaFarm wrote:.
Istriku yang ku sayang…
Aku Suamimu,
pendamping hidupmu…
bukan BB-mu…
bukan juga Facebook-mu…
Tapi kenapa?
Pertama kau buka matamu,
yang kau sapa BB-mu,
FB-mu…
bukanya “Selamat pagi Suamiku…”
Bunyi ping ping,
buzz buzz,
krik krik,
tingtong tingtong
lebih menarik perhatianmu
dari pada panggilan sayangku…
Biarlah,
kamu asyik dengan FB-mu,
kamu bawa terus BB-mu…
ke ruang tamu,
ruang makan,
dapur,
kamar mandi,
garasi,
bahkan di atas tempat tidur…
Biarlah kamu terus menunduk,
bahkan matamu tidak berkedip
meski pun suami dan ibu mertuamu lewat
di depanmu…
Sampai kapan kamu
akan terjerumus Cinta Segitiga seperti ini,
Istriku tersayang…?
(Cinta segitiga antara
Facebook, Blackberry
dan Suamimu…..???)
_____
From : Kakanda
[Copas]
sepertinya ini pengalaman pribadi...
losi- Kolonel
- Jumlah posting : 944
Join date : 21.01.14
Lokasi : Dapur magma
penyebar semangat- Kapten
- Jumlah posting : 322
Join date : 22.02.14
Age : 54
Lokasi : semarang
Re: Cerita Dewasa untuk 17 Tahun Ke Atas.
tambah..tambah..
topanbadai- Registered Sellers
- Jumlah posting : 658
Join date : 07.09.10
Age : 51
Lokasi : Banda Aceh
Re: Cerita Dewasa untuk 17 Tahun Ke Atas.
topanbadai wrote:tambah..tambah..
setuju...
losi- Kolonel
- Jumlah posting : 944
Join date : 21.01.14
Lokasi : Dapur magma
Di manakah posisi Ibu kita???
Kasih Ibu Tak Batas Waktu
48 Votes
Seorang anak bertengkar dengan ibunya & meninggalkan rumah. Saat berjalan ia baru menyadari bahwa ia sama sekali tidak membawa uang. Ia melewati sebuah kedai bakmi. Ia ingin sekali memesan semangkok bakmi karena lapar.
Pemilik bakmi melihat anak itu berdiri cukup lama di depan kedainya, lalu bertanya”Nak, apakah engkau ingin memesan bakmi?”
“Ya, tetapi aku tidak membawa uang,”jawab anak itu dengan malu-malu.”Tidak apa-apa, aku akan mentraktirmu,”jawab si pemilik kedai.
Anak itu segera makan. Kemudian air matanya mulai berlinang.”Ada apa Nak?”Tanya si pemilik kedai.”Tidak apa-apa, aku hanya terharu karena seorang yg baru kukenal memberi aku semangkuk bakmi tetapi ibuku sendiri setelah bertengkar denganku, mengusirku dari rumah. Kau seorang yang baru kukenal tetapi begitu peduli padaku.
Pemilik kedai itu berkata”Nak, mengapa kau berpikir begitu? Renungkan hal ini, aku hanya memberimu semangkuk bakmi & kau begitu terharu…. Ibumu telah memasak bakmi, nasi, dll sampai kamu dewasa, harusnya kamu berterima kasih kepadanya.
Anak itu kaget mendengar hal tersebut.”Mengapa aku tidak berpikir tentang hal itu?”
Untuk semangkuk bakmi dari orang yang baru kukenal aku begitu berterima kasih, tetapi terhadap ibuku yang memasak untukku selama bertahun-tahun,aku bahkan tidak peduli.
Anak itu segera menghabiskan bakminya lalu ia menguatkan dirinya untuk segera pulang. Begitu sampai di ambang pintu rumah, ia melihat ibunya dengan wajah letih & cemas. Ketika melihat anaknya, kalimat pertama yang keluar dari mulutnya adalah “Nak, kau sudah pulang, cepat masuk, aku telah menyiapkan makan malam.”
Mendengar hal itu, si anak tidak dapat menahan tangisnya & ia menangis di hadapan ibunya.
Kadang kita mungkin akan sangat berterima kasih kepada orang lain untuk suatu pertolongan kecil yg diberikannya pada kita. Namun kepada orang yang sangat dekat dengan kita (keluarga) khususnya orang tua kita, kita sering melupakannya begitu saja.
http://iphincow.com/2013/12/22/kasih-ibu-tak-batas-waktu/#more-628
48 Votes
Seorang anak bertengkar dengan ibunya & meninggalkan rumah. Saat berjalan ia baru menyadari bahwa ia sama sekali tidak membawa uang. Ia melewati sebuah kedai bakmi. Ia ingin sekali memesan semangkok bakmi karena lapar.
Pemilik bakmi melihat anak itu berdiri cukup lama di depan kedainya, lalu bertanya”Nak, apakah engkau ingin memesan bakmi?”
“Ya, tetapi aku tidak membawa uang,”jawab anak itu dengan malu-malu.”Tidak apa-apa, aku akan mentraktirmu,”jawab si pemilik kedai.
Anak itu segera makan. Kemudian air matanya mulai berlinang.”Ada apa Nak?”Tanya si pemilik kedai.”Tidak apa-apa, aku hanya terharu karena seorang yg baru kukenal memberi aku semangkuk bakmi tetapi ibuku sendiri setelah bertengkar denganku, mengusirku dari rumah. Kau seorang yang baru kukenal tetapi begitu peduli padaku.
Pemilik kedai itu berkata”Nak, mengapa kau berpikir begitu? Renungkan hal ini, aku hanya memberimu semangkuk bakmi & kau begitu terharu…. Ibumu telah memasak bakmi, nasi, dll sampai kamu dewasa, harusnya kamu berterima kasih kepadanya.
Anak itu kaget mendengar hal tersebut.”Mengapa aku tidak berpikir tentang hal itu?”
Untuk semangkuk bakmi dari orang yang baru kukenal aku begitu berterima kasih, tetapi terhadap ibuku yang memasak untukku selama bertahun-tahun,aku bahkan tidak peduli.
Anak itu segera menghabiskan bakminya lalu ia menguatkan dirinya untuk segera pulang. Begitu sampai di ambang pintu rumah, ia melihat ibunya dengan wajah letih & cemas. Ketika melihat anaknya, kalimat pertama yang keluar dari mulutnya adalah “Nak, kau sudah pulang, cepat masuk, aku telah menyiapkan makan malam.”
Mendengar hal itu, si anak tidak dapat menahan tangisnya & ia menangis di hadapan ibunya.
Kadang kita mungkin akan sangat berterima kasih kepada orang lain untuk suatu pertolongan kecil yg diberikannya pada kita. Namun kepada orang yang sangat dekat dengan kita (keluarga) khususnya orang tua kita, kita sering melupakannya begitu saja.
http://iphincow.com/2013/12/22/kasih-ibu-tak-batas-waktu/#more-628
AlfaFarm- Sersan
- Jumlah posting : 167
Join date : 13.01.14
Age : 36
Lokasi : Baturraden Purwokerto
Re: Cerita Dewasa untuk 17 Tahun Ke Atas.
AlfaFarm wrote:Tiduri aku ibu....
Sebagai seorang wanita yang cantik, Dina memiliki hampir segala yang diimpikan kaum wanita. Parasnya ayu, manies dan selalu enak dipandang. Bentuk hidung, mata, alis, bulu mata hingga ke garis pipi yang tertata indah bak bulu perindu diatas bintang timur diwaktu senja. Posturnya tubuhnya sangat ideal untuk seorang wanita. Kulitnya yang putih dan jenis rambutnya yang panjang hitam bergelombang menambah nilai keaggunannya. Kemolekan lekuk tubuhnya menyebabkan ia sering disebut wanita terseksi.
Dina, seorang wanita karir pada salah satu perusahaan swasta besar di Ibukota, termasuk wanita yang cerdas. Ditunjang pendidikan formalnya yang merupakan alumni Pasca Sarjana Komunikasi Universitas ternama.
Loyalitas terhadap perusahaan tidak diragukan lagi, sehingga menjadikan dirinya sebagai salah satu ’maskot’ pegawai diperusahaannya. Tak heran bila karirnya bagai ’rising’ star. belum sepuluh tahun bekerja, dia sudah menduduki jabatan penting, setingkat Department Head (Kepala Bagian). Dikenal dekat dengan bawahan. Suppel dan mampu berkomunikasi dengan baik dengan jajaran pimpinan. Tipikal Dina selalu menjadi bahan pembicaraan dikalangan pegawai, gunjingan hingga tentu saja ’fitnah’ dari orang-orang yang tidak menyukainya. Apalagi ketika terdengar kabar bahwa dia akan dipromosikan menjadi salah satu deputy kepala divisi.
’ah…paling dengan keseksiannya’ kata mereka yang tidak suka.
—oooOooo—
”Ibu mau kemana….?” tanya Fitri, puteri bungsunya
”Ibu mau berangkat ke kantor nak…” jawab Dina, sambil merapihkan pakaiannya
”Kok masih gelap bu….bareng ayah gak bu…?” tanya Fitri lagi dengan bahasa anak yang agak cadel
”Ayah khan belum pulang nak. Masih di Bandung…” jawab dina, tanpa memalingkan wajah dari cermin hiasnya
Jam masih menunjukkan pk. 04.25 pagi. Hari masih gelap. Anak-anaknya masih terlelap, kecuali Fitri yang terbangun karena mendengar suara peralatan riasnya.
”Aku tidak boleh terlambat…aku harus tiba sebelum Bos dan Klienku datang..” pikir Dina dalam hati
”Bu, aku masih mau tidur….” kata Fitri
”Iyya nak….”
.Dina mencium kening anak puteri satu-satunya itu. Dengan penuh kasih sayang dipeluknya erat sambil berkata pelan, ”Nanti sekolah sama si Mbok ya….sarapan disekolah juga gak apa-apa kok…Ibu harus berangkat pagi-pagi…”
”Ah, Ibu…kemarin sudah pegi pagi…kemarinnya lagi pagi, sekarang pagi lagi…” keluh Fitri, dengan menggeleng-gelengkan kepalanya
”Fitri, Ibu bekerja juga untuk Fitri. Untuk sekolah Fitri dan Adit…..untuk membelikan Fitri rumah-rumahan dan masak-masakan…” jawab Dina pelan
”Tapi Ibu selalu pulang malam. Fitri gak pernah tidur bareng Ibu. Makan sama si Mbok…sekolah juga sama si Mbok….” keluh Fitri lagi sambil menggulingkan tubuhnya.
”Fitri, Ibu mau berangkat…..kamu berangkat sama si Mbok ya…!” seru Dina dengan sedikit keras dan wajah agak memerah.
Dina segera keluar kamar. Dia memang tidur bersama anak puterinya yang masih berusia tiga tahun. Ketika akan membuka pintu kamar, Dina menyempatkan diri melihat raut wajahnya dicermin.
Terlihat jelas rona merah diwajahnya. Warna kulitnya yang putih menambah kejelasan ’rona merahnya’. Dina menghela nafas panjang, kemarahan sesaat telah merubah tutur bahasanya. Sudah merubah pula paras ayunya…
”Huh…Fitri selalu membuat aku marah….Fitri sering memperlambat jalanku ke kantor…” keluhnya sambil mengusap keringat didahinya.
”Ah sudah pk. 04.45…aku bisa terlambat …”
Dina mempercepat langkahnya. Sampai diteras rumah keraguan muncul dihatinya….Dia belum sempat bicara dengan Adit, anak sulungnya…
”Ah dia khan sudah tujuh tahun. Sudah lebih besar. Dia pasti ngerti lah…”
—oooOooo—
Presentasi mengenai pengembangan perusahaan, khususnya bidang komunikasi, kemitraan dan pemasaran yang dipaparkan Dina memdapatkan sambutan luar biasa dari Stake Holder (Pemegang Saham, Komisaris, Jajaran Direksi dan Mitra Kerja). Sambutan itu ditandai dengan tepuk tangan meriah sambil berdiri dan ucapan selamat yang seolah tak putus.
Senyum sumringah tersembul dari wajah Dina. Perasaan puas memenuhi rongga hatinya. Dia menghela nafas panjang. Memejamkan mata sesaat….”Akhirnya aku berhasil….”
Untung aku bisa mempersiapkan diri dengan baik. Untung juga aku tiba lebih awal sehingga bisa mengkondisikan semuanya…….
”Dina selamat ya….tidak sia-sia kami menempatkan kamu sebagai Dept Head Promosi & Kemitraan…..” kata seorang Direksi sambil menjabat erat tangan Dina.
Jabatan tangan yang terasa ’lain’. Terasa ada getaran ’hangat’ yang menjalar melalui jari-jari terus hingga pangkal tangan, dan meluncur deras dihati. Jantung berdegup kencang…entah perasaan apa itu. Yang jelas perasaan itu membuatnya pikirannya ’kacau’, hatinya diliputi oleh suatu misteri..entah misteri apa
”Dina, kerja kamu luar biasa…..masih muda, cantik, jenius….tak salah jika Perusahaan memberimu posisi tsb…..” kata seorang Komisaris
Pujian komisaris menambah kencang degup jantungnya…seolah darah berhenti mengalir. Seolah kaki sulit untuk digerakkan. Dengan menghirup nafas pelan, Dina membalas pujian tsb
”Terima kasih Pak..terima kasih…semua berkat bantuan dan bimbingan Bapak…”
”Berapa usiamu sekarang… adakah 40…?” tanya Komisaris itu lagi
Dina tersipu malu…..rona merah kembali menghiasi wajahnya….
”Saya baru 34…. Pak…” jawab Dina sambil tertunduk malu
”Wow…Surprise…kita memiliki calon direksi termuda. Cantik, jenius dan ber-visi…semoga kamu sukses ya….”
Dina terkesima. Tak percaya. Calon direksi….? ah, gak mungkin… aku salah dengar….
—oooOooo—
Minggu, pk. 04.00 Dina terbangun.
Ohhhhh….lelah pikiran dan badannya membuatnya agak sedikit malas untuk bangun. Namun undangan stake holder untuk sekedar minum kopi pagi di Kafe Padang Golf mengharuskan dia untuk segera bergegas…..
”Ah….ngantuknya…..”
Dina kembali merahkan badannya….rasanya dia ingin meliburkan diri bersama anak-anaknya….terutama Fitri yang kemarin membuatnya sedikit marah….
Tapi…undangan Direksi dan Komisaris adalah sebuah ’Perintah’…laksana titah Raja yang harus dijalankan, meskipun hanya ajakan sambil lalu…
”Ahhhh…..”
Dina mulai menyiapkan diri. Mandi pagi dan sedikit bersolek….tampil agak cantik dan…hmmmm..seksi dikit rasanya tidak apa-apa. Toh akan bersantai bersama orang-orang penting ’penguasa’ kantor….’apalagi bila….bila ada yg tertarik padaku…’ pikirnya..
’ah pikiran ngelantur…..’ pikirnya lagi
”Ibuuuu….Tolong tiduri aku Bu….” seru Adit sambil berjalan pelan dan membawa bantal guling yang sarung entah kemana
”Adiiit….?” tanyanya heran
”Adiit….” seru Dina kembali. Heran, tidak biasanya Adit bangun pagi dan pindah ke kamarnya.
”Ibuuu…tolong tiduri aku bu…semalam aku gak bisa tidur…aku kepikiran Ayah….aku ingin bermain bersama Ayah….”
”Adit. Hari ini Ibu masuk kantor….Ibu akan bertemu Bos di kantor…” jawab Dina
”Ibuuu…tolong tiduri aku…aku ngantuk …pengen tidur bareng Ibu…” pinta Adit, kemudian merebahkan kepalanya di pangkuan Dina, Ibundanya…
Dina terdiam. Hatinya semakin membuncah….perasaan malas memenuhi undangan Direksi kembali muncul….tapi motivasi untuk memperlihatkan loyalitas demikian tinggi…dus, dia sudah berdandan seksi.
Diusap-usap perlahan kepala Adit. Rambutnya yang sedikit ikal bergelombang mirip seperti rambutnya. Bentuk wajahnya yang agak oval dan halus merujuk pada ayahnya…
”ahhh..aku jadi ingat Mas Darman. Wajah Adit mirip ayahnya….semalam dia memberi kabar kalau Meeting di bandung diperpanjang karena banyak Klien baru yang ikut datang….” bathin Dina dalam hati….seketika ia merasa bersalah dengan suaminya.
”Adiiit, Ibu harus pergi sayang…..Ibu harus masuk kantor…..”
”Tapi buu…” Adit tidak bisa meneruskan kalimatnya, karena Dina mengangkat kakinya perlahan, sehingga kepala Adit berpindah ke bagian pinggir tempat tidur.
Dina meneruskan riasannya dimuka cermin yang ada di sisi kanan tempat tidurnya. Bibirnya diolesi lipstick tipis warna merah muda, sesuai dengan pakaian yang dikenakannya. Pakaian terbaik yang dimilikinya, hadiah Ulang Tahun dari Mas Darman suami tercinta.
”Mas Darman pasti akan silau bila melihat aku sekarang. Pasti akan memujiku ’Cantiiik’..hehehe…sayang dandananku saat ini untuk orang lain….”
”Huk..huk..huk..” suara batuk kecil beriak keluar dari mulut Adit
”Adiit, kamu batuk. Jajan apa kamu kemarin” tanya Dina sambil terus memainkan penghalus bedak dipipinya
”Huk..huk..huk..” suara itu kembali terdengar
“Mboookkk….tolong ambilkan air putih hangat. Adit batuk nih” teriak Dina dari dalam kamarnya
Tepat pk. 05.00 Dina meluncur menuju Kafe Padang Golf. Perjalanan akan memakan waktu 30 menit. Cukuplah. Karena pertemuan dan sarapan kopi pagi baru akan dimulai pk. 06.00. Tapi biasanya banyak yang sudah datang dengan perlengkapan stick golf, termasuk pemilihan ’caddy’ pendamping permainan golfnya nanti.
—oooOooo—
Dina sangat menikmati suasana Kopi Paginya. Dia begitu cepat menyesuaikan diri dengan lingkungannya. Tidak ada lagi perasaan canggung, malu dan minder bercengkerama dengan jajaran Direksi, Komisaris dan Pimpinan Unit Mitra Kerja. Apalagi dalam acara yang dikemas secara informal ini. Seolah ia sudah menjadi bagian dari mereka. Jajaran elit perusahaan.
”Penuhi jiwa ini dengan satu rindu…rindu untuk mendapatkan rahmat-Mu…meski tak layak ku harap debu Cinta-MU” ringtone HP Dina berbunyi….
”Maaf Pak,,,,,,,” Dina tak sanggup meneruskan kata-katanya untuk meminta ijin mengangkat Hpnya
”Silakan ..silakan….ini suasana santai kok” jawab salah seorang Direksi
”Permisi Pak”
”Meski begitu ku akan bersimpuh… Penuhi jiwa ini dengan satu rindu…rindu untuk mendapatkan rahmat-Mu….” ringtone itu terus berbunyi…
Ditempat yang agak jauh dari kerumunan orang Dina mengangkat Hpnya…
”Hallo….” sapanya
”Bu…kamu ada dimana sekarang….?” tanya suara disana dengan lembut
”Sedang bersama Direksi dan komisaris di kantor.. Yahas…” jawab Dina
Ohhh,…ternyata dari mas Darman, suaminya. Dina terbiasa memanggilnya Ayah, menyesuaikan diri dengan panggilan anak-anaknya
”Loch emangnya masuk… ?” tanya Mas Darman lagi
”Iyya Yah…”
”kapan pulangnya…Adit sakit di rumah kata si Mbok…”
”nanti siang…..atau mungkin juga sore…”
”Yaa sudah…biar Ayah saja yang pulang segera”
—oooOooo—
Pk. 15.30 Dina kembali kerumahnya.
Sarapan Kopi Pagi di kafe Padang Golf ternyata diteruskan dengan acara ramah tamah dan meeting informal dengan Mitra Kerja dan Klien. Beberapa Kontrak Kerja ’deal’ setengah kamar dalam ramah tamah itu. Dina baru mengetahui kalau banyak ’deal’ ’deal’ kontrak kerja yang putus di Kafe, Padang Golf serta jamuan makan. Mungkin karena lebih santai dan informal….pikirnya, sehingga lebih mudah untuk bicara dari hati ke hati
Tiba di ujung jalan pemukiman, Dina melihat banyak orang berduyun menuju satu rumah dengan membawa nampan, rantang dan gelas-gelas kecil.
”Ada apa ini…?” tanya Dina dalam hati
Ada bendera kuning terikat di atas tiang listrik tepi jalan…
”Ohh ada yang meninggal….”
Dina mempercepat langkahnya. Ia juga ingin melayat. Ia tak ingin juga tertinggal dalam urusan sosial di lingkungannya….
Tak berapa lama Dina tersentak. Kakinya kaku tak bisa digerakkan….dia melihat banyak orang berkerumun dipekarangan rumahnya. Kebanyakan ibu-ibu dan wanita yang mengenakan pakaian berwarna gelap dan berkerudung. Bapak-bapak ada di ruang tengah…
”ohh…apakah…apakah…..”
”Tidaaaakkkkkkkkk”
Dina mencoba untuk berlari. Namun kakinya semakin sulit bergerak.
Air mata Dina deras mengalir ketiak ia melihat seorang bapak berpeci hitam dan berpakaian muslim putih sedang melantunkan ayat-ayat Qur’an. Dari suaranya tersendat terlihat jelas bahwa Bapak itu menahan tangis. Kadang sesegukan sesekali menghambat laju bacaan Qur’annya..
”Mas Darman…..Ayahhhhhh” seru Dina setengah berteriak
“Ayah siapa yang meninggal Yah….?” tanya Dina kepada Bapak yang sedang mengaji tadi
”Ayah..siapa yah….?” tanyanya lagi
Bapak tadi tidak menjawab. Telunjuk jarinya mengisyaratkan bahwa Dina bisa membuka kain kafan yang belum tertutup
Dengan sedikit merangkak, Dina berjalan tersendat, dan membuka kain kafan penutup wajah si mayit.
”Yaa Allah…Aadiiitttt” Dina langsung memeluk tubuh jenazah itu
”Maafkan Ibu Nak….maafkan Ibu nak…….” teriak Dina keras, membuat seisi rumah menoleh kepadanya. Bahkan beberapa orang yang berada di luar juga berlari kearah rumah
”Adddiiiiittttt….Sini nak…Ibu akan tiduri kamu…Ibu akan tidur bersamamu Nak…..”
”Addiiittttt bangun nak..Ibu sudah pulang…Ibu sudah pulang nak….”
”Ibu ingin tidur bersama mu….”
Dina meraung keras seperti anak kecil yang kehilangan orang tuanya….air matanya mengalir deras. Tak kuasa menahan sedih. Rasanya ingin sekali ia menggoyang-goyangkan tubuh kaku itu agar kembali bergerak….namun Mas Darman segera merangkulnya. Memeluknya. Dan mencium keningnya…
”Bu….ini salah kita..salah Ayah….Ayah terlalu sering meninggalkan keluarga..”
”Bukan Yah…ini salah Ibu…tadi pagi Adit minta ditemani tidur, tapi Ibu tolak…”
”Ya sudahlah…ini salah kita semua. Adit terkena paru-paru basah akut. Dan terlambat ditolong…..”
—oooOooo—
Anak, isteri, suami dan keluarga adalah perhiasan dunia. Perhiasan yang paling indah adalah istri yang sholeh (Amar’atush-Sholihah), suami yang adil (’imamun ’adilun) dan anak-anak yang mendoakan orang tuanya (awaladdun sholihin yad’ulah)
Salam ukhuwah elha
www.jangankedip.blogspot.com
bagus buat direnungkan bang...
jawara- Jendral
- Jumlah posting : 1517
Join date : 20.11.12
Age : 43
Lokasi : Banyuwangi - Jatim
Similar topics
» Media Ayam Terbil Kembali
» CERITA SORE UNTUK MAWAS DIRI.
» Selamat untuk om Taruno atas kelahiran putra keduanya
» ayam bangkok berkualitas hanya untuk kalangan atas
» terima kasih untuk pak aries setya atas kado istimewa nya
» CERITA SORE UNTUK MAWAS DIRI.
» Selamat untuk om Taruno atas kelahiran putra keduanya
» ayam bangkok berkualitas hanya untuk kalangan atas
» terima kasih untuk pak aries setya atas kado istimewa nya
Halaman 1 dari 1
Permissions in this forum:
Anda tidak dapat menjawab topik