PAPAJI Forum
Would you like to react to this message? Create an account in a few clicks or log in to continue.

Pelangi di langit Singosari jilid-1 (hal 1-10;11-20;21-30;31-52) jilid-1 selesai bersambung jilid-2

4 posters

Go down

Pelangi di langit Singosari jilid-1 (hal 1-10;11-20;21-30;31-52) jilid-1 selesai bersambung jilid-2 Empty Pelangi di langit Singosari jilid-1 (hal 1-10;11-20;21-30;31-52) jilid-1 selesai bersambung jilid-2

Post  iyang Tue 22 May 2012, 17:08

Karya Maestro cerita silat Nasional Almarhum
Singgih Hadi Mintardja



Ane suka karya-karya beliau temurun dari
ayahanda tercinta



Pelangi di langit Singosari jilid-1 (hal 1-10;11-20;21-30;31-52) jilid-1 selesai bersambung jilid-2 Clip_image002


HAMPIR BERSAMAAN KEDUANYA
mengangkat wajahnya, memandang ke dataran langit yang biru bersih. Warna-warna
semburat merah yang dilontarkan oleh matahari yang kelelahan di
punggung-punggung bukit di sebelah barat masih tampak menyangkut di ujung
pepohonan.


“Langit bersih,” desis salah seorang di
antaranya. Seorang tua dengan rambut yang telah memutih.


“Ya,” sahut orang kedua. Seorang pemuda yang
berwajah jantan, namun penuh kelembutan. Matanya yang bening memancarkan cahaya
keteguhan hatinya, yang memandang hari depan dengan penuh pengharapan, namun
penuh pergulatan dan perjuangan yang dilandasi dengan pasrah diri tulus ikhlas
kepada takdir Yang Maha Agung.


Keduanya diam sejenak. Tetapi kaki mereka masih
terayun dalam langkah yang berirama. Lambat-lambat mereka maju terus menyusur
dataran sebelah timur Gunung Kawi, menuju ke rumah mereka di Desa Panawijen.


“Mahisa Agni,” kembali orang tua berambut putih
itu berbicara.


“Ya, Bapa Pendeta,” sahut pemuda yang bernama
Mahisa Agni itu.


“Kita akan kemalaman di perjalanan,” sambung
pendeta tua itu.


“Tak apalah. Kalau kita berjalan terus, sebelum
tengah malam kita akan sampai,” sahut Mahisa Agni.


“Kau tidak lelah?” bertanya pendeta itu kembali.


Mahisa Agni menarik nafas. Bertahun-tahun ia
berguru kepada pendeta itu. Dan bertahun-tahun ia mendapat gemblengan lahir dan
batin. Namun setelah bertahun-tahun itu, masih saja ia dianggapnya anak-anak
yang selalu mendapat perhatian yang berlebih-lebihan.


Meskipun demikian, Mahisa Agni dapat mengerti
sepenuhnya. pendeta tua yang bernama Empu Purwa itu tak beranak laki-laki. Ia
hanya beranak seorang perempuan. Dinamainya anak itu Ken Dedes yang didapatnya
sebelum ia mengenakan pakaian pendeta. Bahkan, dirasanya bahwa sikap gurunya
jauh melampaui sikap seorang guru biasa. Diperlakukannya Mahisa Agni seperti
anak sendiri. Kadang-kadang, Mahisa Agni menangkap juga hasrat yang tersirat
dari sikap gurunya. Ken Dedes telah menjelang dewasa. Dan gadis itu cantiknya
bukan main. Seolah-olah bunga melati yang putih berkembang di antara semak-semak
yang lebat dan besar di lereng Gunung Kawi. Bahkan, diam-diam ia bersyukur pula
atas kesempatan yang pernah ditemuinya itu. Berdiam dalam satu rumah dengan
seorang gadis yang tiada taranya. Kecantikannya dan kejernihan hatinya.


Tetapi angan-angannya segera terpecah ketika
didengarnya Empu Purwa berkata mengulangi, “Kau tidak lelah Agni?”


“Tidak, Bapa,” cepat-cepat Mahisa Agni menjawab.


“Bagus,” sahut Empu Purwa, “kakimu telah cukup
terlatih. Bagaimana dengan pernafasanmu?”


“Baik, Bapa,” jawab Mahisa Agni.


Empu Purwa mengangguk-anggukkan kepalanya.
Tampaklah senyumnya menghiasi bibirnya yang tebal. Tetapi senyum itu tiba-tiba
lenyap seperti asap ditiup angin.


Dengan penuh minat Mahisa Agni memandang wajah
gurunya. Mula-mula ia menjadi ragu. Apakah sebabnya? Tetapi ketika ia memandang
ke depan, dilihatnya padang rumput Karautan. Mahisa Agni mengerutkan keningnya.
Agaknya padang rumput yang di sana-sini diselingi oleh gerumbul-gerumbul itulah
yang telah mempengaruhi pikiran gurunya.


Meskipun tak sepatah kata pun yang terlontar dari
mulut anak muda itu, namun pandangan matanya memancarkan beberapa pertanyaan
tentang padang rumput yang terkenal itu kepada gurunya. Agaknya gurunya pun
tanggap pada pertanyaan muridnya, sehingga dari sela-sela bibirnya terdengar ia
berkata, “Itulah padang rumput Karautan. Padang rumput yang terkenal sepi.
Dijauhi oleh setiap orang yang menempuh perjalanan. Mereka lebih suka melingkar
agak jauh. Lewat Pedukuhan Talrampak atau Desa Kaligeneng.”


Mahisa Agni memandang tanah yang terbentang di
hadapannya dengan tajam. Sebentar kemudian ia memandang matahari. Namun
matahari yang dicarinya telah tenggelam di balik gunung. Dan malam yang hitam
pun perlahan-lahan telah turun menyelimuti Gunung Kawi.


“Apakah hantu itu benar-benar ada?” bertanya
Mahisa Agni. Namun sama sekali ketakutan tidak mempengaruhi hatinya. Ia hanya
ingin meyakinkan pendengarannya atas hantu Padang Karautan.


“Kau percaya kepada hantu?” terdengar Empu Purwa
bertanya pula.


“Entahlah,” Mahisa Agni tersenyum. Dan gurunya tersenyum
pula.


“Aku terlalu sering mendengar cerita tentang
hantu di padang rumput Karautan,” berkata Mahisa Agni.


“Apakah kau bermaksud supaya kita mengambil jalan
melingkar?” bertanya gurunya.


“Tidak Guru,” cepat-cepat Mahisa Agni menyahut
menyambut. Ia memang tidak takut. Bahkan ia ingin melihat hantu itu. Karena itu
ia meneruskan, “Aku ingin membuktikannya.”


“Apa yang pernah kau dengar tentang hantu itu?”
bertanya gurunya pula.


“Hantu itu suka mengganggu. Bahkan memiliki
sifat-sifat kejam dan bengis. Beberapa orang pernah menjadi korban,” jawab
Mahisa Agni.


“Banyak orang yang mati oleh hantu itu. Begitu
saja?” sela Empu Purwa.


“Tidak. Kadang-kadang orang yang berani lewat
dalam rombongan-rombongan besar menemukan korban-korban itu dalam keadaan
telanjang. Darahnya kering dihisap oleh hantu itu,” sahut Mahisa Agni.


“Cerita itu memang mengerikan. Dan apa yang
sering terjadi di padang rumput itu pun memang benar-benar mengerikan. Namun
tidak seperti yang kau dengar,” potong gurunya.


“Apakah yang pernah Bapa Guru ketahui tentang
hantu itu?” bertanya Mahisa Agni.


“Marilah kita lihat,” jawab Empu Purwa, “yang aku
dengar pun terlalu mengerikan.”


Mahisa Agni menjadi berdebar-debar. Meskipun ia
tidak takut, namun perasaan yang aneh menjalari hatinya. Tetapi, ketika ia
melihat gurunya berjalan dengan tetap dan tenang, langkahnya pun menjadi tenang
pula.


Ketika bintang gubuk penceng menjadi semakin
jelas di ujung langit sebelah selatan, sampailah mereka di padang rumput yang
mengerikan itu. Ketika Mahisa Agni menginjakkan kakinya di atas batu-batu padas
dan kemudian menjejakkannya pada rumput-rumput alang-alang, kembali hatinya
berdebar-debar. Ditatapnya dalam kekelaman malam, gerumbul-gerumbul berserakan.
Seonggok demi seonggok, seperti batu-batu besar yang berserak-serak di dalam
telaga yang luas.


Tak sepatah kata pun yang meloncat dari mulut
kedua orang itu. Dengan penuh kewaspadaan Mahisa Agni berjalan di samping
gurunya, sedang gurunya tetap berjalan dengan tenang. Seakan-akan mereka sedang
menikmati sinar bulan yang cemerlang.


Ketika seekor kelinci meloncat dari semak-semak
di depan mereka, Mahisa Agni terkejut. Kemudian ia tersenyum sendiri. Dirabanya
dadanya yang berdebar-debar.


“Apakah aku sudah menjadi seorang penakut?”
pikirnya.


Tanpa sengaja diingatnya cerita Ken Dedes yang
didengarnya dari kawan-kawannya. Hantu itu mirip seperti manusia. Gagah tegap.
Wajahnya sama sekali tak menakutkan. Bahkan seseorang pernah melihatnya di
bawah sinar obor yang dibawanya. Wajah itu tampan meskipun kotor. Tetapi
sifat-sifatnyalah yang mengerikan. Hantu itu tidak biasa membiarkan korbannya
hidup. Meskipun kadang-kadang ada juga yang tak dibunuhnya. Dan yang tinggal
hidup itulah yang menyebarkan cerita tentang hantu di padang rumput Karautan.
Tak seorang pun yang dapat mengalahkannya, apalagi menangkapnya.
Jagabaya-jagabaya dari pedukuhan di sekitar padang rumput itu pun telah
mencobanya. Bahkan bersama-sama dalam rombongan yang besar. Namun hantu itu
pandai menghilang dengan meninggalkan lima atau enam orang korban.


Mahisa Agni terkejut ketika tiba-tiba gurunya
berhenti. Ia pun segera berhenti pula. Diikutinya arah pandang mata pendeta tua
itu. Dan kemudian perlahan-lahan terdengar Empu Purwa berkata dengan ramahnya,
“Nah Ki Sanak. Aku sudah mengira kalau kau menunggu kedatanganku.”


Mahisa Agni masih belum melihat seorang pun.
Namun telinganya yang tajam kemudian mendengar pula gemerisik daun-daun di
dalam semak-semak di samping mereka. Dan kemudian terdengarlah dengus kasar dan
sebuah bayangan meloncat dengan cepatnya, seperti petir yang berlari di langit.
Sesaat kemudian bayangan itu telah berdiri di hadapan mereka.


Dada Mahisa Agni bergetar cepat sekali. Hantu itu
bukan sekedar cerita untuk menakut-nakuti gadis seperti Ken Dedes saja namun
kini benar-benar telah berdiri di hadapannya. Tiba-tiba hatinya menjadi
berdebar-debar kembali. Apalagi kemudian ketika didengarnya hantu itu tertawa.
Nadanya tinggi seperti memanjat tebing Gunung Kawi menggapai langit. Karena itu
maka terasa telinganya menjadi sakit.


Ketika suara itu kemudian lenyap, terdengarlah
hantu itu berkata, “Kau sudah tahu kalau aku akan menghadangmu?”


“Hantu itu dapat berbicara seperti manusia,”
pikir Mahisa Agni.


“Ya, Ki Sanak,” terdengar gurunya menjawab.


“Dan kau sengaja menemui aku?” bertanya hantu itu
pula.


“Ya,” jawab gurunya pula.


“Kau terlalu sombong,” kembali bantu itu tertawa
menyakitkan telinga. Kemudian katanya pula, “Ada keperluanmu menemui aku?”


“Bisa juga ia diajak berbicara,” pikir Mahisa
Agni.


“Ada,” sahut Empu Purwa, “sekadar singgah di
padang rumputmu ini. Aku sedang menempuh perjalanan pulang dari Tumapel.”


“Katakan keperluanmu!” potong hantu itu.


“Jangan tergesa-gesa,” berkata Empu Purwa dengan
tenangnya. “Apakah waktumu terlalu sempit?”


“Aku tidak mau mendengar ayam jantan berkokok,”
jawabnya.


Mahisa Agni berpikir pula, “Kalau begitu benar
kata orang, hantu tidak mau mendengar suara ayam berkokok.”


Tetapi gurunya menjawab dengan kata yang
mengejutkan hatinya. “Jangan menakut-nakuti aku Ki Sanak. Aku lebih takut
kepada orang daripada kepada hantu.”
Hantu itu menggeram. Kemudian membentak, “Jawab! Apa keperluanmu!”


“Ada beberapa pertanyaan untukmu Ki Sanak,” sahut
Empu Purwa. Suaranya tetap renyah dan ramah.


Dalam kesempatan itu Mahisa Agni dapat memandang
wajah hantu itu dengan seksama. Benar mirip seperti manusia. Bahkan ia tidak
melihat perbedaannya sama sekali selain rambutnya yang panjang terurai dengan
liarnya berjuntai di atas pundaknya yang bidang. Dalam keremangan malam, tak
dilihatnya apa-apa yang mengerikan pada tubuh hantu itu. Bahkan ia sependapat
dengan kabar yang pernah didengarnya, hantu itu berwajah tampan.


“Tak ada waktu. Aku akan membunuh kalian dan
minum darah kalian,” teriak hantu itu.


Bulu kuduk Mahisa Agni serentak berdiri. Ngeri
juga ia mendengar kata-kata itu. Meskipun ia tidak takut mati namun mati
dibunuh hantu sama sekali belum pernah terlintas di dalam benaknya. Apalagi
kemudian darahnya akan diminumnya pula.


“Darahku tidak sesegar air degan Ki Sanak,” jawab
Empu Agni dengan tenang. “Apakah kau selalu haus?”


“Jangan berbicara lagi! Berjongkok dan aku isap
tengkukmu sampai kau mati,” hantu itu berteriak semakin keras.


Adalah di luar dugaan Mahisa Agni kalau tiba-tiba
Empu Purwa menjawab, “Kalau demikian kehendakmu, apa boleh buat.”


Kemudian kepada Mahisa Agni gurunya itu berkata,
“Agni, adalah sudah menjadi kebiasaan hantu-hantu pengisap darah, mengisap
korbannya lewat luka di tengkuknya yang ditimbulkan oleh gigi-gigi hantu itu.
Kalau hantu ini akan menggigit tengkukku dan kemudian mengisap darahku, aku tak
akan melawannya. Karena itu lihatlah dengan seksama, bagaimana caranya
melubangi tengkukku.”


Empu Purwa tidak menunggu jawaban. Segera ia
berlutut di hadapan hantu itu sambil menundukkan kepalanya.


Sesaat Mahisa Agni menjadi bingung. Apa yang
dilakukan gurunya itu sama sekali tidak masuk di akalnya. Tetapi tidak saja
Mahisa Agni yang menjadi bingung. Hantu itu pun tiba-tiba menjadi bingung pula.
Ketika ia melihat orang tua itu berlutut di mukanya maka segera ia bergeser
surut.


“Apa yang akan kau lakukan?” bentaknya.


“Memenuhi perintahmu. Berjongkok dan kau akan
mengisap darahku,” jawab Empu Purwa.


Kembali hantu itu menjadi bingung. Matanya
tiba-tiba bertambah liar. Kemudian katanya berteriak, “Bagus. Kau juga anak
muda. Berjongkoklah dan tundukkan kepalamu.”


“Biarlah ia hidup,” potong Empu Purwa. “Biarlah
ia menjadi saksi bahwa hantu di padang rumput Karautan telah melubangi
tengkukku dengan giginya, kemudian minum darahku dari lubang itu pula.”


Terdengarlah gigi hantu itu gemeretak. Ia telah
benar-benar menjadi marah. Kemudian katanya, “Tidak peduli apa yang kau ketahui
tentang diriku. Sebab sesaat lagi kau berdua akan mati di padang rumput ini.”


Bersamaan dengan kata-katanya itu, tiba-tiba
Mahisa Agni melihat benda yang berkilat-kilat di tangan hantu itu, yang
ditariknya dari pinggangnya.


“Pisau?” desis hatinya, “Adakah hantu memerlukan
sebuah pisau untuk membunuh seseorang? Bukankah guru berkata kalau hantu
melubangi tengkuk korbannya dengan giginya?”


Otak Mahisa Agni adalah otak yang cerah. Karena
itu segera ia tanggap atas sasmita gurunya. Demikian ia melihat hantu itu
mengayunkan pisaunya, segera ia meloncat menyerang secepat tatit.


Hantu itu terkejut melihat serangan Mahisa Agni
yang demikian cepat dan dahsyat. Karena itu ia tidak sempat menancapkan pisau
itu di tengkuk orang tua yang berjongkok di hadapannya. Beberapa langkah ia
meloncat mundur. Dengan merendahkan diri, hantu itu berhasil membebaskan diri
dari serangan Mahisa Agni. Bahkan segera hantu itu pun telah siap menghadapi
setiap kemungkinan yang bakal datang.


Mahisa Agni tidak mau membuang waktu lagi.
Demikian serangannya yang pertama gagal, segera ia mempersiapkan diri untuk
mengulangi serangannya pula. Namun, sebelum ia meloncat maju, hantu itu telah
menyerangnya pula. Serangannya cepat dan berbahaya. Bahkan terasa betapa kuat
tenaganya. Satu kakinya terjulur ke depan sedangkan kedua tangannya seperti
akan menerkamnya.


Untunglah bahwa Mahisa Agni itu murid Empu Purwa.
Apa yang telah dipelajari dan didalaminya sampai kini, benar-benar merupakan
bekal yang cukup baginya. Karena itu, ketika serangan hantu itu tiba, Mahisa
Agni segera menghindar dengan cepatnya. Menarik satu kakinya ke belakang dan
mencondongkan tubuhnya. Hantu itu seperti terbang beberapa cengkang di
hadapannya. Dengan cepatnya Mahisa Agni mempergunakan kesempatan itu. Tangan
kirinya segera terayun deras sekali ke arah tengkuk lawannya. Terasa pukulannya
mengena. Mahisa Agni mempergunakan sebagian besar tenaganya. Maka lawannya
segera terdorong ke depan dan jatuh tersungkur di tanah. Namun benar-benar mengherankan.
Segera tubuh itu berguling-guling untuk kemudian melenting bangun. Sesaat
kemudian hantu itu telah berdiri tegak di atas kedua kakinya. Bahkan segera
pula ia melontar maju dengan tangan dan jari-jari yang mengembang, seperti
hendak meremas muka Mahisa Agni.


Mahisa Agni adalah anak muda yang cukup terlatih.
Pengetahuannya tentang tata beladiri cukup baik. Bahkan beberapa pengetahuan
dari perguruan lain pun banyak diketahuinya pula. Tetapi ia belum pernah
menyaksikan cara bertempur seperti yang dilakukan hantu ini. Cepat, kuat, namun
kasarnya bukan main. Bahkan seakan-akan hantu itu bertempur tanpa aturan apa
pun yang mengikatnya. Ia menyerang dan melawan dengan cara yang tak
berketentuan. Tetapi satu kenyataan, pukulannya yang tepat mengenai tengkuk
hantu itu seakan-akan tak berbekas. Kulit hantu itu benar-benar seperti
berlapis batu. Meskipun demikian Mahisa Agni tidak segera menjadi cemas.
Pikirnya, “Asal aku dapat merabanya seperti kulit daging manusia biasa.” Memang
Mahisa Agni pernah mendengar cerita bahwa tubuh hantu tak akan dapat disentuh
tangan. Tetapi kali ini ia telah dapat menyentuh dan merasakan sentuhan itu.
Bahkan hantu itu pun jatuh tersungkur terdorong oleh tenaganya. Karena itu
hatinya menjadi semakin besar. Dan sejalan dengan itu, ia bertempur semakin
sengit.


Hantu itu masih bertempur dengan kasarnya.
Seperti angin pusaran ia membelit kemudian menghantam dari segala arah.
Kadang-kadang pukulannya sama sekali tak terarah, demikian saja meluncur dengan
derasnya seperti batu meluncur dari tangan.


Mahisa Agni terpaksa harus menyesuaikan dirinya.
Dengan tangkasnya ia meloncat, menghindar, dan menyerang. Dicarinya celah-celah
dari gerakan-gerakan yang sama sekali tak teratur itu.


Sebenarnya Mahisa Agni banyak mempunyai
kesempatan. Kalau saja ia tidak sedang bertempur dengan hantu dari padang
rumput Karautan maka pukulannya yang pertama pasti telah meruntuhkan lawannya,
yang sama sekali tidak memiliki ilmu tatabela diri itu. Namun sekali hantu itu
jatuh tersungkur, sekali ia meloncat bangkit. Sepuluh kali ia terguling di
tanah, sepuluh kali ia melenting berdiri.


Semakin lama Mahisa Agni menjadi semakin heran.
Ia telah hampir mengerahkan segenap tenaganya. Namun hantu itu masih saja
melayaninya dengan caranya yang khusus.


Mula-mula anggapannya tentang hantu itu telah
hampir larut, sejak ia melihat pisau di tangan lawannya itu. Tetapi kenyataan
yang dihadapinya telah menimbulkan keraguan pula.


“Aneh,” pikirnya, “aku tidak mengharap bahwa pada
suatu kali aku akan bertempur melawan hantu berpisau.”


Empu Purwa sudah tidak berjongkok lagi. Ia
berdiri tegak mengawasi muridnya yang lagi bertempur. Ia melihat betapa Mahisa
Agni dengan lancar mempergunakan ilmu yang telah diturunkannya kepada anak muda
itu. Cepat, lincah, dan tangguh. Kadang-kadang muridnya itu seperti terbang
melingkar-lingkar tetapi kadang-kadang seperti batu karang yang tegak tertanam
di pasir pantai. Sekali-kali orang tua itu mengangguk-anggukkan kepalanya namun
sekali-kali tampak ia mengerutkan keningnya. Lawan muridnya itu benar-benar
aneh. Ia melihat dengan pasti, tangan muridnya telah menyentuh tubuh lawannya,
namun lawannya itu benar-benar seperti kebal, kalis dari segala macam bahaya
yang menimpanya.


Mahisa Agni masih bertempur dengan sengitnya.
Kini ia telah mengerahkan segenap tenaganya. Bahkan segala macam ilmu yang
dimilikinya telah ditumpahkannya untuk melawan hantu yang tidak pandai dalam
ilmu tata bela diri namun tak dapat dijatuhkannya itu. Perkelahian itu semakin
lama menjadi semakin kabur. Hantu padang rumput itu menyerang membabi-buta.
Semakin lama semakin kasar. Ia meloncat-loncat maju dan menerjang dengan kaki,
tangan, dan pisaunya. Sekali-kali ia terpental surut oleh pukulan lawannya dan
jatuh terjerembab namun sesaat kemudian ia telah maju pula.


Bukan saja Mahisa Agni yang menjadi bingung,
bagaimana menyelesaikan pertempuran itu, bahkan Empu Purwa pun beberapa kali
menarik nafas dalam-dalam. Muridnya memiliki tenaga yang kuat seperti seekor
banteng. Namun tenaga muridnya itu seakan-akan tak berarti.


Tiba-tiba Empu Purwa mengerutkan keningnya.
Wajahnya menjadi tegang. Matanya yang lunak bening menjadi seakan-akan menyala.
Dan dadanya bergetar seperti gempa.


Empu Purwa yang tua itu melihat bayangan cahaya
yang kemerah-merahan di atas kepala hantu padang Karautan itu. Samar-samar
namun jelas baginya. Jelas bagi orang setua pendeta itu. Pendeta yang telah
masak dalam berbagai ilmu lahir batin, yang kasatmata dan tidak kasatmata.
Namun pendeta itu yakin bahwa muridnya pasti tak dapat melihatnya. Karena itu
Empu Purwa menjadi gelisah. Sekali-sekali ia menarik nafas panjang.


Malam yang kelam, semakin lama menjadi semakin
dalam. Angin yang dingin mengalir perlahan-lahan membelai batang-batang rumput
di padang Karautan. Meskipun demikian betapa panas hati Mahisa Agni, dan betapa
panas pula hati lawannya. Sebenarnyalah bahwa lawannya itu pun menjadi marah
sekali. Tak pernah ia menemukan lawan setangguh Mahisa Agni. Karena itu segera
dikerahkan segenap kekuatannya. Dengan menggeram ia menyerang sejadi-jadinya.
Dan kemarahan itulah yang telah menyalakan warna semburat merah di
ubun-ubunnya.


Dengan demikian perkelahian itu menjadi semakin
dahsyat. Gerak Mahisa Agni menjadi semakin cepat dan kuat sedangkan lawannya
menjadi semakin keras dan kasar.


Empu Purwa melihat bayangan warna merah itu
dengan cemas. Ia masih memerlukan beberapa saat untuk meyakinkannya. Dan
akhirnya, sekali lagi pendeta tua itu menarik nafas dalam-dalam. Dari mulutnya
terdengar ia berdesis, “Brahma. Hem, aneh. Kenapa Dewa Brahma membiarkan anak
itu menjadi hantu di padang rumput ini? Tidak adakah pekerjaan yang lebih baik
daripada menyamun, membunuh, dan memerkosa?” Kembali ia memandangi warna merah
di ubun-ubun lawan muridnya. Warna itu masih ada. Bahkan semakin jelas baginya.


“Menurut pendengaranku, beberapa orang menyatakan
bahwa warna itu adalah ciri keturunan Brahma,” sambungnya.


Tiba-tiba pendeta tua teringat pada pusakanya.
Sebuah trisula. Amat kecil dan berwarna kuning. Didapatnya trisula itu dari
almarhum gurunya. Turun-temurun dari guru ke murid. Dan trisula itu pun kelak
akan diserahkannya kepada Mahisa Agni. Menurut cerita gurunya, trisula itu
pertama-tama turun ke bumi sebagai sinar yang membelah langit, kemudian seperti
guruh meledak di lereng Gunung Semeru. Yang pertama-tama menemukan trisula itu
adalah Empu Wikan. Seorang Empu Sakti yang bertapa di kaki bukit Semeru. Ketika
Empu Wikan mendengar guruh meledak di malam hening maka timbullah kecurigaan di
dalam hatinya. Maka dengan hati yang berdebar-debar dipanjatnya tebing Gunung
Semeru. Dari kejauhan ia masih melihat sinar yang memancar tegak sebesar lidi
jantan menusuk langit. Ketika ia mendekati sinar itu terasa betapa panasnya,
Empu sakti itu pun harus bersemedi. Dalam semedinya terdengar suara gemuruh di
atas kepalanya. Berkata suara itu, “Empu Wikan yang bijaksana, yang dijauhi
oleh segala bencana di sekitarnya. Apabila sinar itu nanti lenyap, datanglah ke
titik tegaknya di bumi. Kau akan menemukan sebuah trisula sebagai tanda
kebesaran Siwa. Aku hadiahkan trisula itu kepadamu sebagai tanda kebesaran
namamu. Simpanlah pusaka itu dan serahkanlah turun-temurun kepada murid-murid
terkasih. Tetapi ingat Empu Wikan, pusaka itu sama sekali bukan alat pembunuh.
Tetapi ia akan dapat memengaruhi hati musuh yang bagaimana pun saktinya.”


Kenangan Empu Purwa pecah ketika lawan muridnya
jatuh hampir menimpanya. Sekali terguling namun sesaat kemudian telah tegak
kembali dan dengan garangnya menerkam muridnya seperti seekor serigala lapar
menerkam kambing. Tetapi Mahisa Agni bukanlah seekor kambing. Dengan merendahkan
diri, diangkatnya kaki kanannya langsung menghantam perut lawannya. Sekali lagi
lawannya terpental dan terbanting. Namun sekali lagi hantu padang rumput itu
meloncat bangkit. Telah berpuluh kali ia terjatuh namun ia masih segar, sesegar
mula-mula mereka bertemu.


Akhirnya Empu Purwa kasihan juga melihat
muridnya. Tandangnya sudah mulai susut. Peluh telah membalut seluruh tubuhnya
dilekati debu yang dihambur-hamburkan oleh kaki-kaki mereka yang bergulat
antara hidup dan mati itu.


“Agni, kau tak akan mampu mengalahkannya,” pikir
pendeta tua itu. Karena itu maka segera ia harus menolongnya. Membebaskan
muridnya dari libatan lawannya yang keras dan kasar.


Tetapi ia tidak dapat menghilangkan pengaruh
warna merah di kepala lawan muridnya itu dari angan-angannya.


Sekali lagi ia menimbang-nimbang. Hantu padang
rumput itu adakah kekasih Brahma sedangkan pusaka di tangannya adalah hadiah
Siwa. Karena itu maka perlahan-lahan ia maju mendekati titik pertempuran.


Lawan muridnya itu, ketika melihat Empu Purwa
mendekati mereka, berkata dengan parau, “Ayo, kau yang tua sekali. Majulah
bersama-sama. Selama kau masih belum mampu menangkap angin, selama itu kau
jangan mengharap lepas dari padang rumput ini.”


“Agni,” berkata Empu Purwa tanpa menjawab
kata-kata hantu itu, “Lepaskan lawanmu!”


Mahisa Agni heran mendengar tegur gurunya. Selama
ini, apabila gurunya melepasnya bertempur, tak pernah ditariknya kembali
sebelum tubuhnya menjadi lemas atau bahaya maut telah hampir menelannya.
Meskipun ia merasa tenaganya telah surut namun hantu itu pun tak mampu
menyentuhnya. Karena itu ia merasakan suatu keanehan pada gurunya kali ini.
Meskipun demikian, Mahisa Agni tidak berani menolak perintah itu. Dengan satu
loncatan panjang ia melepaskan lawannya.


Pelangi di langit Singosari jilid-1 (hal 1-10;11-20;21-30;31-52) jilid-1 selesai bersambung jilid-2 Clip_image003“Jangan lari!” terdengar kembali
suara hantu itu. Suara parau dan kasar.


Terakhir diubah oleh iyang tanggal Wed 23 May 2012, 12:32, total 2 kali diubah
iyang
iyang
Premium member
Premium member

Jumlah posting : 703
Join date : 09.03.10
Age : 51
Lokasi : Tarumajaya Bekasi, 085714907816

Kembali Ke Atas Go down

Pelangi di langit Singosari jilid-1 (hal 1-10;11-20;21-30;31-52) jilid-1 selesai bersambung jilid-2 Empty Re: Pelangi di langit Singosari jilid-1 (hal 1-10;11-20;21-30;31-52) jilid-1 selesai bersambung jilid-2

Post  gerimis Tue 22 May 2012, 20:16

Tadinye cuman iseng baca ini postingan..,eh ternyata rame juga.... Sebelomnye pernah jg baca postingan jaghana yg kaya gini cuman kurang bagus...hehehe....sambungannye pa iyang....
gerimis
gerimis
Premium member
Premium member

Jumlah posting : 332
Join date : 01.02.10
Age : 42
Lokasi : jakarta

Kembali Ke Atas Go down

Pelangi di langit Singosari jilid-1 (hal 1-10;11-20;21-30;31-52) jilid-1 selesai bersambung jilid-2 Empty Re: Pelangi di langit Singosari jilid-1 (hal 1-10;11-20;21-30;31-52) jilid-1 selesai bersambung jilid-2

Post  Andi Babe Wed 23 May 2012, 00:33

Bagus juga ni cerita lanjut lagi episodenya mas........ditungguh Question Smile Very Happy
Andi Babe
Andi Babe
Premium member
Premium member

Jumlah posting : 3513
Join date : 08.04.12
Lokasi : Beliton Farm Palembang 082178678607

http://beliton.farm.yahoo.co.id

Kembali Ke Atas Go down

Pelangi di langit Singosari jilid-1 (hal 1-10;11-20;21-30;31-52) jilid-1 selesai bersambung jilid-2 Empty Re: Pelangi di langit Singosari jilid-1 (hal 1-10;11-20;21-30;31-52) jilid-1 selesai bersambung jilid-2

Post  sutejo rc Wed 23 May 2012, 07:17

wah bagus nih ceritanya.... coba kalau itu cerita tentang ayam laga bisa dibuat novel wah seru juga keliatanya ya?...
sutejo rc
sutejo rc
Kapten
Kapten

Jumlah posting : 204
Join date : 23.12.10
Age : 56
Lokasi : surabaya

Kembali Ke Atas Go down

Pelangi di langit Singosari jilid-1 (hal 1-10;11-20;21-30;31-52) jilid-1 selesai bersambung jilid-2 Empty Re: Pelangi di langit Singosari jilid-1 (hal 1-10;11-20;21-30;31-52) jilid-1 selesai bersambung jilid-2

Post  iyang Wed 23 May 2012, 11:44

“Tak ada gunanya ia meneruskan.”


“Tidak!” jawab Agni, “Aku tak akan lari.”


“Ia tak akan lari,” sahut Empu Purwa, “tetapi ia
tak akan melawanmu dengan cara demikian.”


“Cara apa pun yang akan dipergunakannya, mari
maju bersama-sama,” potong hantu itu.


“Tidak,” jawab Empu Purwa, “Aku sudah terlalu
tua. Tetapi aku ingin berlaku adil.”


“Kenapa?” sahut lawan Agni.


“Kau mempergunakan senjata,” jawab pendeta tua
itu.


“Pakailah senjata!” teriak hantu padang Karautan
itu.


“Aku akan memberinya senjata,” sahut Empu Purwa.


“Jangan banyak bicara. Berikan sekarang. Kemudian
aku akan segera membunuhnya,” lagi-lagi hantu itu berteriak.


Perlahan-lahan Empu Purwa menarik trisula dari
dalam sarung kecilnya, berwarna kuning berkilauan.


“Agni,” katanya, “pergunakan trisula ini. Tetapi
ingat, jangan kau tusukkan ke tubuhnya. Pengaruhi saja perasaannya dengan
senjata itu.”


“Gila!” potong lawan Agni, “Kau berkata demikian
sengaja supaya aku mendengarnya. Tusukkan ke tubuhku. Aku tak akan mati.”


Tetapi tiba-tiba suara terhenti. Trisula itu di
mata hantu seakan-akan cahaya yang menyilaukan matanya.


Karena itu ia berteriak, “Kalian curang. Sekarang
kalian yang tidak berlaku adil. Kalian bertempur dengan alat untuk menyilaukan
mataku.”


Empu Purwa menarik nafas. Ia sendiri tidak tahu,
kenapa lawan muridnya itu menjadi silau sedangkan muridnya sendiri tidak.
Demikianlah agaknya khasiat trisula itu meskipun kali ini harus berhadapan
dengan kekasih Brahma.


Maka terdengar jawaban pendeta tua itu, “Senjata
itu sama sekali tak menyilaukan mataku dan mata anakku. Kenapa kau menjadi
silau?”


“Senjata itu agaknya kau peroleh dari setan-setan
yang mempunyai daya seperti tenung,” bantah lawan Agni dengan kasarnya.
“Sekarang kau akan menenungku.”


“Seandainya senjata itu aku terima dari setan-setan,
bukankah hantu dapat melawan setan-setan. Sebab hantu dan setan mempunyai
persamaan tabiat. Keduanya tidak mau mendengar ayam jantan berkokok,” sahut
Empu Purwa.


Hantu padang rumput itu menggeram keras sekali.
Ia tidak mau berbicara lagi. Dengan satu loncatan panjang ia menyerang Empu
Purwa. Meskipun serangan itu datangnya tiba-tiba sekali namun Empu Purwa dengan
cepat dapat menghindarkan diri. Ia adalah seorang pendeta yang mumpuni.
Meskipun tak ada hasratnya untuk berkelahi namun adalah hak setiap hidup untuk
mempertahankan hidupnya.


Mahisa Agni pun tidak tinggal diam. Segera ia
meloncat menyerang hantu padang rumput. Dan kembali terjadi perkelahian yang
sengit antara hantu berpisau dan Mahisa Agni dengan trisula di tangan. Meskipun
demikian Mahisa Agni sama sekali tidak tahu apakah gunanya senjata itu apabila
sama sekali tidak boleh ditusukkan ke tubuh lawannya. Namun ia tidak berani
melanggar pantangan itu.


Karena itu dipegangnya trisula itu dengan tangan
kirinya sedangkan tangan kanannya dengan tangkas menangkis setiap serangan dan
bahkan beberapa kali untuk menyerang lawannya. Dengan trisula di tangan kiri
itu sebenarnya gerak Mahisa Agni justru terganggu. Tetapi terasa suatu keanehan
terjadi atas lawannya itu. Tiba-tiba ia tidak segarang semula. Berkali-kali
lawannya terpaksa meloncat menjauhi dan kadang-kadang tangannya terpaksa
melindungi matanya. Mahisa Agni menjadi heran. Agaknya lawannya itu benar-benar
menjadi silau.


“Inilah khasiat trisula ini,” pikir Mahisa Agni.
Dengan demikian ia dapat mempergunakan kesempatan sebaik-baiknya. Digerakkannya
trisula itu melingkar-lingkar seperti kemamang yang menari-nari di
udara. Dan lawannya menjadi semakin terdesak. Dengan demikian Mahisa Agni dapat
mengenainya lebih banyak, dan betapapun keras kulit hantu itu namun lambat laun
terasa juga nyeri-nyeri di kulit dagingnya. Tenaga Mahisa Agni benar-benar
sekuat raksasa. Pada umurnya menjelang seperempat abad itu, Mahisa Agni
benar-benar merupakan seorang pemuda yang pilih tanding.


Akhirnya terasa bahwa tandang lawannya menjadi
semakin susut meskipun tenaga Agni sendiri seakan-akan telah terperas habis.
Berkali-kali hantu itu meloncat surut dan mundur. Semakin lama semakin jauh.
Hingga akhirnya hantu itu berteriak, “Kalau kau jantan, lepaskan trisula itu. Aku
juga akan melepaskan pisauku.”


“Pisaumu itu tak berarti apa-apa,” sahut Empu
Purwa, “Tetapi kau memiliki tanda-tanda yang aneh di atas kepalamu.”


“Jangan mencari-cari. Pertimbangkan tantanganku,”
jawabnya.


Sekali lagi Empu Purwa mendekati mereka. Katanya
dengan nada penuh kedamaian, “Berhentilah berkelahi.”


“Kalian menyerah?” jawab lawan Agni.


Mahisa Agnilah yang menyahut, “Tidak!”


Kembali terdengar suara Empu Purwa, “Berhentilah
berkelahi! Dengarkan kata-kataku!”


Suaranya seakan-akan mengandung suatu wibawa yang
agung. Mahisa Agni adalah muridnya sehingga ia sama sekali tak dapat berbuat
lain daripada menghentikan perkelahian. Tetapi tidak saja Mahisa Agni yang
terpengaruh oleh kata-kata itu, bahkan lawannya pun tiba-tiba meloncat mundur.
Sehingga dengan demikian, pertempuran pun menjadi terhenti karenanya.


Empu Purwa melangkah semakin dekat di antara
kedua lawan itu. Katanya kemudian, “Ki Sanak, kau memiliki tanda-tanda yang
khusus pada dirimu. Karena itu aku dapat mengenalmu.”


“Kau kenal aku?” sahut hantu itu.


“Ya,” jawab Empu Purwa.


“Aku adalah penjaga padang rumput ini. Sato
mara satu mati, jalma mara jalma mati.
Aku lubangi tengkuknya dan aku
hisap darahnya.”


“Tetapi beberapa orang menemukan korbanmu tanpa
mengenakan pakaiannya. Tanpa ikat pinggang, tanpa uang dan perhiasan,” potong
Empu Purwa.


Hantu itu menggeram. Tetapi sebelum ia menjawab
Empu Purwa telah meneruskan kata-katanya, “Jangan menyembunyikannya dirimu. Kau
adalah kekasih dewa-dewa.”


Tampak lawan Mahisa Agni itu mengerutkan
keningnya.


“Siapakah namamu Ki Sanak?” desak Empu Purwa.


“Hantu tidak pernah punya nama,” jawabnya.


“Siapakah namamu Ki Sanak?” ulang Empu Purwa.


“Aku tak punya nama!” teriaknya keras-keras
sehingga suaranya menggema di seluruh padang rumput Karautan.


Tetapi kembali terdengar suara Empu Purwa tenang
perlahan-lahan, namun pasti, “Siapakah namamu Ki Sanak?”


Hantu yang menakutkan setiap orang itu tiba-tiba
menundukkan kepalanya. Rambutnya yang liar berjuntai di atas bahunya. Angin
yang lembut mengalir perlahan-lahan menggerakkan ujung-ujung rambut yang
terurai lepas sebebas rumput alang-alang di padang rumput itu.


Tanpa diduga oleh Mahisa Agni tiba-tiba terdengar
mulut hantu itu menjawab, “Namaku Ken Arok.”


Mahisa Agni terkejut mendengar nama itu. Tidak
saja Mahisa Agni, tetapi yang menyebutkan nama itu pun terkejut pula. Dengan
lantangnya ia berteriak, “Jangan ulangi namaku! Dan untuk seterusnya kau tak
akan sempat menyebut namaku. Sebab kalian berdua akan kubunuh malam ini agar
Ken Arok tetap tak dikenal orang.”


Tiba-tiba Mahisa Agni bersiap kembali. Nama Ken
Arok adalah nama yang menakutkan. Tak ada bedanya dengan hantu di padang rumput
Karautan, yang ternyata adalah Ken Arok itu sendiri.


“Kau adalah orang buruan,” berkata Agni dengan
lantang, “selagi kau bernama hantu pun aku tidak takut. Apalagi ternyata kau
adalah manusia terkutuk. Bersiaplah, kita bertempur sampai hayat kita
menentukan, siapakah di antara kita yang akan berhasil keluar dari padang
rumput ini.”


“Bagus!” teriak hantu yang ternyata bernama Ken
Arok itu.


“Berpuluh, bahkan beratus orang, yang telah aku
bunuh. Apa artinya kalian berdua?”


Sesaat kemudian Ken Arok dan Mahisa Agni telah
siap untuk bertempur kembali namun segera Empu Purwa berkata, “Perkelahian di
antara kalian tak ada gunanya. Sebab perkelahian itu tak akan sampai pada
ujungnya. Ken Arok memiliki kelebihan dari manusia biasa sedangkan Agni membawa
pusaka yang tak ada duanya di dunia ini.”


“Aku akan melayaninya, Bapa,” sahut Agni,
“sehari, dua hari bahkan selapan pun aku tak akan meninggalkannya.”


“Sebelum ayam jantan berkokok kau sudah mati,”
potong Ken Arok.


“Tak ada artinya, Agni,” berkata Empu Purwa.


Kemudian kepada Ken Arok, pendeta tua itu
berkata, “Arok, apakah kau dapat berkelahi dengan mata yang silau? Bagaimanakah
kalau trisula itu berada di tanganku, kemudian Agni memukulmu semalam suntuk?
Kau tak akan dapat membalasnya sebab aku akan menggerakkan trisula itu di
tentang matamu.”


“Curang!” teriak Ken Arok dengan marah.


“Kau juga curang,” bantah Empu Purwa.


“Kenapa? Hanya karena aku memegang pisau ini?
Baiklah. Kalau demikian pisauku akan aku buang. Kita bertempur tanpa senjata.”


“Bukan,” sahut Empu Purwa, “Bukan karena
senjatamu. Tetapi kenapa kau seolah-olah menjadi kebal?”


Ken Arok mengerutkan keningnya. Pertanyaan itu
benar-benar aneh. Akhirnya ia menjawab, “Bukan kehendakku. Sejak aku sadar
tentang diriku, aku telah menjadi kebal. Dewa-dewalah yang membuat aku
demikian. Bertanyalah kepada Dewa-dewa. Kalau itu kau anggap kecurangan,
Dewalah yang membekali aku dengan kecurangan itu.”


“Bagus. Dewa pulalah yang memberi aku trisula
itu,” sahut Empu Purwa, “Adakah itu juga suatu kecurangan?”


Ken Arok menggeram. Tetapi ia tidak menjawab.
Wajahnya menjadi tegang dan tangannya yang memegang pisau menjadi gemetar.
Tetapi sesaat kemudian terdengar suara Empu Purwa lunak, “Kemarilah. Duduklah.”


Ken Arok dan Mahisa Agni sama sekali tidak tahu
maksud pendeta tua itu. Karena itu, untuk sesaat mereka berdiri mematung
sehingga orang tua itu mengulangi kata-katanya, “Mahisa Agni dan Ken Arok.
Kemarilah! Duduklah!”


Meskipun masih diliputi oleh keragu-raguan namun
Mahisa Agni kemudian duduk di samping gurunya. Ken Arok masih tegak seperti
tonggak.


“Kemarilah Arok,” panggil Empu Purwa dengan
ramahnya.


Seperti orang yang kehilangan kesadaran, Ken Arok
melangkah dua langkah maju. Kemudian menjatuhkan dirinya di samping pendeta tua
itu.


“Arok,” kata pendeta tua itu, “seharusnya kau
sadar dirimu. Siapakah engkau dan apakah yang akan terjadi atas dirimu. Kau
memiliki beberapa kelebihan dari orang lain tetapi kelebihan itu telah kau
salah gunakan.”


Ken Arok tidak segera menjawab. Ditatapnya mata
orang tua itu. Di dalam malam yang gelap, mata itu seakan-akan memancarkan
cahaya yang putih bening.


“Ken Arok. Apabila kau sedang berbaring menjelang
tidur, tidakkah kau pernah menghitung berapa orang yang telah menjadi korbanmu?
Tidakkah kau pernah membayangkan, bahwa orang yang menggeletak mati di padang
rumput Karautan ini, atau di tempat-tempat lain yang pernah kau diami, tidak
saja menimbulkan kengerian pada saat-saat matinya, tetapi peristiwa itu juga
akan meninggalkan goresan yang dalam bagi keluarganya? Bagi anak-anak dan istri
mereka yang menunggunya di rumah? Tidakkah kau pernah membayangkan bahwa
seorang laki-laki pergi merantau untuk mendapatkan sesuap nasi. Tetapi di jalan
pulang laki-laki itu bertemu dengan seorang anak muda yang bernama Ken Arok. Di
rumah anak-anaknya yang lapar menunggunya. Tetapi laki-laki itu tak akan pernah
pulang.”


Ken Arok belum pernah mendengar seorang pun
berkata demikian kepadanya. Kawan-kawannya pada masa kanak-kanaknya, ayah
angkatnya yang bernama Lembong, Bango Samparan, dan orang-orang yang pernah
datang pergi dalam perjalanan hidupnya. Yang dikenalnya hanyalah daerah-daerah
yang gelap. Judi, tuak, perempuan, dan segala macam kejahatan. Sekali dua kali
hidupnya terdampar juga ke rumah-rumah yang wajar. Namun tak sempat didengarnya
nasihat dan petuah-petuah. Karena itu, maka kata-kata Empu Purwa itu mula-mula
asing baginya. Tetapi kalimat-kalimat itu seperti embun yang menetes dari langit.
Perlahan-lahan daun-daun rumput yang kering menjadi basah pula. Demikianlah
kata-kata asing itu di hati Ken Arok. Meskipun ia belum mengenal seluruhnya,
namun terasa bahwa ada dunia lain dari dunianya yang gelap.


“Ken Arok,” kembali terdengar suara Empu Purwa,
“Kau masih muda. Masa depanmu masih panjang.”


Tiba-tiba Ken Arok menundukkan wajahnya.
Perlahan-lahan diamatinya tangannya. Tangan yang kotor karena darah dan air
mata. Dan kini tangan itu menjadi gemetar.


“Tak ada jalan lain yang dapat aku tempuh,”
terdengar suaranya parau. Tetapi tidak sekeras semula.


“Banyak,” sahut Empu Purwa.


“Aku telah asing dari hidup manusia wajar. Semua
orang menjauhi aku,” katanya.


“Mereka takut kepadamu. Kepada
perbuatan-perbuatanmu,” jawab Empu Purwa.


Ken Arok menggeleng. Matanya menjadi sayu.
Katanya, “Tidak. Sejak aku lahir di luar kehendakku. Aku adalah anak panas.
Ayahku mati ketika ibuku diceraikannya. Dan orang menyalahkan aku. Kemudian
menurut kata orang, pada masa aku masih bayi merah, aku dibuang di pekuburan. Aku
dipelihara oleh Bapak Lembong. Seorang pencuri. Salahkah aku kalau aku kemudian
mengikuti cara hidupnya?”


“Tidak,” sahut Empu Purwa, “Kau tidak bersalah.
Tetapi kau akan lebih berbahagia kalau kau dapat menempuh cara hidup yang
lain.”


Ken Arok memandang wajah pendeta tua itu dengan
seksama. Kesan wajahnya telah berubah sama sekali dari semula. Matanya kini
sudah tidak liar dan ganas. Bahkan kini menjadi suram.


Sekali lagi ia menggeleng, “Aku tidak tahu apakah
masih ada cara hidup yang lain yang dapat aku jalani. Aku telah dijauhi oleh
sanak-kadang.”


“Jangan risau,” sahut Empu Purwa, “meskipun kau
dijauhi oleh sanak-kadang dan handai-taulan, apabila kau tundukkan kepalamu dan
bersujud kepadanya, maka adalah sahabat manusia yang jauh lebih berharga dari
sanak-kadang, handai, dan taulan.”


“Siapakah dia?” bertanya Ken Arok.


“Yang Maha Agung,” jawab Empu Purwa.
Perlahan-lahan namun langsung menusuk kalbu Ken Arok. Mahisa Agni telah sering
mendengar gurunya berkata demikian kepadanya. Berkata tentang Yang Maha Kuasa,
yang menciptakan langit dan bumi, kemudian memeliharanya dan kelak akan datang
masanya langit dan bumi akan dihancurkannya.


Tetapi Ken Arok belum pernah mendengar sebutan
itu. Karena itu ia masih berdiam diri menunggu penjelasan.


“Ken Arok,” Empu Purwa melanjutkan, “meskipun kau
hidup sendiri di dunia ini, namun kau akan berbahagia kalau Yang Maha Agung itu
tidak meninggalkanmu.”


Ken Arok masih berdiam diri. Kata-kata pendeta
tua itu belum begitu jelas baginya. Ia sama sekali tidak kenal kepada Yang Maha
Agung itu.


Tetapi dalam kesibukan berpikir, tiba-tiba Ken
Arok teringat pada pengalamannya. Ketika ia dikejar-kejar oleh orang
Kemundungan. Ketika ia sudah tidak tahu apa yang harus dilakukan. Maka
memanjatlah ia ke atas sebatang pohon tal. Tetapi orang-orang yang mengejarnya
memotong batangnya. Pada saat itu, pada saat ia telah kehilangan akal,
terdengarlah suara dari langit, “Ken Arok, potonglah dua helai daun tal.
Pakailah sebagai sayap. Dan kau akan dapat terbang melintasi sungai di bawah
pohon tal itu.”


Kemudian, ketika dipotongnya dua pelepah daun tal
serta dinaiknya, seakan-akan ia terbang melintasi sungai.


Maka tiba-tiba melontarlah pertanyaan menusuk
benaknya, “Suara apakah yang telah menyelamatkan aku itu?” Suara itu telah lama
dilupakannya. Bahkan dianggapnya tidak pernah ada. Tetapi suara itu kini
terngiang kembali. Jelas, seperti baru saja diucapkan. Akhirnya sampailah ia
pada kesimpulan. Itulah suara Yang Maha Agung.


Ken Arok terkejut sendiri pada kesimpulan yang
ditemukannya. Bersamaan dengan itu, terbayanglah di matanya peristiwa-peristiwa
yang pernah dialaminya. Perampokan, pembunuhan, perkosaan, dan segala jenis
kejahatan. Tiba-tiba Ken Arok menjadi takut. Takut kepada penemuannya. Pada
kesimpulan yang didapatnya. Kalau benar Yang Maha Agung itu ada maka akan
diketahui semua perbuatannya.


Ken Arok menjadi gemetar seperti orang
kedinginan, wajahnya menjadi pucat. Dan dengan suara yang bergetar Ken Arok
bertanya meyakinkan, “Adakah Yang Maha Agung itu kenal kepadaku?”


“Ya,” sahut Empu Purwa, “Yang Maha Agung itu
kenal kepadamu, kepadaku, kepada Agni, dan kepada semua manusia di dunia ini
seperti seorang bapa mengenal anak-anaknya.”


“Tahukah Yang Maha Agung itu atas apa yang pernah
dan sedang aku lakukan?” bertanya Ken Arok pula.


“Pasti,” jawab Empu Purwa.


Mendengar jawaban itu Ken Arok menjadi menggigil
karenanya. Keringat dingin mengalir di seluruh wajah kulitnya.


Tiba-tiba Mahisa Agni menjadi terkejut ketika
tiba-tiba Ken Arok itu meloncat berdiri. Terdengarlah ia berteriak, “Bohong!
Bohong! Kau akan menakut-nakuti aku?”


Tanpa sesadarnya Mahisa Agni pun meloncat
berdiri. Dengan kesiagaan penuh ia mengawasi Ken Arok yang berdiri tegang di
muka gurunya. Matanya yang sayu suram kini menjadi liar kembali. Dengan ujung
pisaunya ia menunjuk ke wajah Empu Purwa yang masih duduk dengan tenangnya.
Katanya, “Kau ingin melawan aku dengan cara pengecut itu? Berdirilah
bersama-sama. Kita bertempur sampai binasa.”


Mahisa Agni telah bersiap. Ia akan dapat
menyerang Ken Arok dengan satu loncatan. Tetapi ketika hampir saja ia meloncat
menyerang, sekali lagi ia terkejut. Dilihatnya Ken Arok itu meloncat mundur dan
tiba-tiba hantu padang rumput Karautan itu memutar tubuhnya dan berlari
sekencang-kencangnya seperti kuda lepas dari ikatannya. Sesaat Agni diam mematung.
Namun kemudian ia pun meloncat mengejar hantu yang mengerikan itu. Tetapi
tiba-tiba langkahnya terhenti karena suara gurunya, “Agni! Biarkan ia lari.
Kemarilah!”


Sekali lagi Agni tidak dapat memahami tindakan
gurunya. Ken Arok adalah orang buruan yang berbahaya. Apakah orang itu akan
dilepaskannya? Tetapi Mahisa Agni berhenti juga. Dengan wajah yang tegang
karena pertanyaan-pertanyaan yang bergelut di dadanya, ia berjalan tergesa-gesa
mendekati gurunya.


“Bapa,” katanya terbata-bata, “kenapa orang itu
kita biarkan pergi?”


Empu Purwa menarik nafas. Perlahan-lahan orang
tua itu berdiri.


“Marilah kita lanjutkan perjalanan kita,” berkata
orang tua itu. Seakan-akan ia tak mendengar pertanyaan muridnya, bahkan katanya
kemudian, “Kita tidak akan sampai tengah malam nanti.”


Karena pertanyaannya tidak dijawab, Agni menjadi
semakin tidak puas. Tetapi ia diam saja. Ia pun kemudian berjalan di samping
gurunya. Sekali-kali matanya dilemparkannya jauh ke belakang tabir kelamnya
malam. Hantu padang rumput Karautan telah hilang seakan-akan ditelan oleh
raksasa hitam yang maha besar. Meskipun demikian Mahisa Agni tidak
bertanya-tanya lagi.


Bintang gemintang di langit masih bercahaya
gemerlapan. Beberapa pasang telah semakin bergeser ke barat. Dan embun pun
perlahan-lahan turun.


Agni masih berjalan di samping gurunya. Dengan
matanya yang tajam, ditatapnya padang rumput yang terbentang di hadapannya.
Beberapa tonggak lagi ia masih harus berjalan.


Dalam keheningan malam itu kemudian terdengar
suara gurunya lirih, “Agni, masihkah kau berpikir tentang hantu padang
Karautan?”


Mahisa Agni menoleh. Kemudian ia mengangguk
sambil menjawab, “Ya Bapa.”


“Apa yang kau lihat pada anak muda itu?” bertanya
gurunya.


Mahisa Agni tidak tahu maksud gurunya. Karena itu
untuk sesaat ia tidak menjawab sehingga Empu Purwa mengulangi, “Adakah sesuatu
yang aneh yang kau lihat pada Ken Arok?”


“Apakah yang aneh itu?” bertanya Mahisa Agni.


“Itulah yang aku tanyakan kepadamu. Sesuatu yang
tidak ada pada kebanyakan manusia,” sahut gurunya.


Mahisa Agni termenung sejenak. Dicobanya untuk
membayangkan kembali tubuh lawannya. Dada yang bidang, sepasang tangan yang
kokoh kuat, rambut yang liar berjuntai sampai ke pundaknya, dan wajahnya yang
tampan namun penuh kekasaran dan kekerasan. Tiba-tiba Agni menggeleng, gumamnya
seperti kepada diri sendiri, “Tak ada. Tak ada yang aneh padanya.”


Empu Purwa mengangguk-angguk. Pikirnya, “Aku
sudah menduga bahwa Agni tak melihat cahaya di ubun-ubun Ken Arok.”


Tetapi yang keluar dari mulutnya adalah, “Memang
tidak ada Agni namun ada cerita yang aneh tentang anak muda yang menjadi buruan
itu.”


Mahisa Agni mengawasi wajah gurunya dengan
seksama. Tetapi tak dilihatnya kesan apa pun pada wajah yang tua itu. Mungkin
karena gelapnya malam. Mungkin karena di wajah pendeta tua itu segala sesuatu
menjadi tenang, setenang permukaan telaga yang terlindung dari sentuhan angin.
Tetapi kemudian terdengar Empu Purwa berkata, “Agni, tak banyak yang aku dengar
tentang asal-usul Ken Arok. Tetapi aku pernah mendengarnya dari mulut beberapa
orang pendeta. Di antaranya pendeta di Sagenggeng. Bahwa dari kepala Ken Arok
itu memancar cahaya yang kemerah-merahan. Dan cahaya yang demikian adalah ciri
dari mereka yang dikasihi oleh Brahma.”


“Kalau demikian…?” kata-kata Mahisa Agni
terputus.


“Ya,” Empu Purwa mengangguk-anggukkan kepalanya,
“Ken Arok adalah kekasih Brahma. Bahkan orang pernah menganggap bahwa Ken Arok
adalah pecahan Dewa Brahma sendiri.”


Mahisa Agni menundukkan wajahnya, ditatapnya
ujung kakinya berganti-ganti. Seakan-akan ia sedang menghitung setiap langkah
yang dibuatnya. Kembali menjalar di benaknya beberapa macam pertanyaan yang
kadang-kadang sangat aneh baginya. Tiba-tiba teringatlah ia kepada trisula di
tangannya. Ya, di tangan kirinya masih digenggamnya tangkai trisula yang
terlalu kecil baginya. Tanpa sesadarnya, diamatinya trisula itu dengan seksama.
Trisula itu benar-benar berkilauan namun tidak sampai menyilaukan baginya.


Mahisa Agni terkejut ketika didengarnya gurunya
berkata, “Agni, cerita tentang trisula itu sama anehnya dengan cerita tentang
orang buruan itu.”


Agni mengangkat wajahnya. Sekali lagi
dipandangnya wajah gurunya. Wajah yang sepi hening.


“Trisula itu adalah hadiah dari Siwa,” Empu Purwa
meneruskan.


Memang cerita itu aneh bagi Mahisa Agni. Karena
itu ia menjadi heran. Kekasih Brahma yang hampir setiap saat menjalankan
kejahatan, dan senjata hadiah Siwa di tangannya. Adakah dengan demikian berarti
bahwa membenarkan segala macam kejahatan itu?


Meskipun pertanyaan itu tidak terucapkan namun
Empu Purwa telah dapat menangkap dari wajah muridnya, maka katanya, “Agni.
Jangan kau risaukan apa yang sedang dilakukan oleh Brahma, Siwa, dan Wisnu
sekali pun. Kalau pada suatu saat, orang-orang yang menurut cerita bersumber
pada kekuatan Brahma harus berhadapan dengan orang-orang bersumber pada
kekuatan Siwa atau Wisnu, itu bukanlah hal yang perlu kau herankan. Sebab, baik
Siwa, Brahma, maupun Wisnu itu sendiri merupakan pancaran dari Maha Kekuasaan
Yang Esa. Dan keesaan kekuasaan itulah yang mengatur mereka. Apa yang dilakukan
Brahma, Wisnu, dan Siwa adalah satu rangkaian yang bersangkut-paut dengan
tujuan tunggal. Apa yang diadakan oleh kekuasaan itu, kemudian dipeliharanya
untuk kemudian, apabila sampai saatnya, dihancurkannya.”


Kini kembali Mahisa Agni menundukkan wajahnya. Ia
dapat mengerti apa yang dikatakan oleh gurunya. Dan itulah sebabnya, maka
gurunya tak mengizinkannya untuk mengejar Ken Arok, yang menurut kata orang
adalah pecahan Dewa Brahma itu sendiri.


Kemudian, gurunya itu tidak berkata-kata lagi.
Mereka berjalan saja menembus malam yang gelap dingin. Dan setapak demi setapak
mereka mendekati rumah mereka. Desa Panawijen.


Ketika mereka menjadi semakin dekat semakin dekat
maka lupalah Mahisa Agni kepada Ken Arok, pada trisula di tangannya, pada
cerita tentang Brahma dan Siwa, serta pada perkelahian yang baru saja dialami.
Yang ada di dalam angan-angannya kemudian adalah kampung halamannya. Kampung
halaman di mana ia meneguk ilmu dari gurunya, Empu Purwa.


Tetapi, kampung halaman itu tidak akan demikian
memukaunya apabila di sana tidak ada orang-orang tersangkut di dalam hatinya,
selain gurunya, pendeta tua yang sabar dan tawakal itu.


Yang mula-mula hadir di dalam angan-angannya
adalah seorang gadis yang memiliki kecantikan seperti yang dirindukan oleh
bidadari sekali pun. Kadang-kadang Mahisa Agni menjadi heran, apabila
dibandingkannya wajah gadis itu dan wajah ayahnya. Ayahnya bukanlah seorang
yang berwajah tampan pada masa mudanya. Entahlah kalau ibunya seorang bidadari
yang kamanungsan. Mahisa Agni belum pernah melihatnya. Bahkan anak gadis itu
sendiri pun tak dapat mengingat wajah ibunya lagi. Dan gadis yang bernama Ken
Dedes itu, di matanya tak ada yang memadainya. Sehingga tidaklah aneh bahwa
setiap mulut yang tersebar dari lereng timur Gunung Kawi sampai ke Tumapel pernah
menyebut namanya.


Tetapi gadis itu terlalu bersikap manja
kepadanya, seperti seorang adik kepada seorang kakak yang sangat mengasihinya.
Mahisa Agni tidak begitu senang pada sikap itu. Seharusnya Ken Dedes tidak
menganggapnya sebagai seorang kakak.
iyang
iyang
Premium member
Premium member

Jumlah posting : 703
Join date : 09.03.10
Age : 51
Lokasi : Tarumajaya Bekasi, 085714907816

Kembali Ke Atas Go down

Pelangi di langit Singosari jilid-1 (hal 1-10;11-20;21-30;31-52) jilid-1 selesai bersambung jilid-2 Empty Re: Pelangi di langit Singosari jilid-1 (hal 1-10;11-20;21-30;31-52) jilid-1 selesai bersambung jilid-2

Post  iyang Wed 23 May 2012, 11:46

sutejo rc wrote:wah bagus nih ceritanya.... coba kalau itu cerita tentang ayam laga bisa dibuat novel wah seru juga keliatanya ya?...
sekedar variasi aja Mr Rambo eh Mas "sutejo rc"
iyang
iyang
Premium member
Premium member

Jumlah posting : 703
Join date : 09.03.10
Age : 51
Lokasi : Tarumajaya Bekasi, 085714907816

Kembali Ke Atas Go down

Pelangi di langit Singosari jilid-1 (hal 1-10;11-20;21-30;31-52) jilid-1 selesai bersambung jilid-2 Empty Re: Pelangi di langit Singosari jilid-1 (hal 1-10;11-20;21-30;31-52) jilid-1 selesai bersambung jilid-2

Post  iyang Wed 23 May 2012, 11:48

Tiba-tiba wajah Agni menjadi kemerah-merahan. Ia
tidak berani meneruskan angan-angannya. Ia menjadi malu kepada dirinya sendiri.


Perlahan-lahan Mahisa Agni menggeleng-gelengkan
kepalanya. Ia terkejut ketika terdengar gurunya berkata, “Agni, sebaiknya kau
kembalikan trisula itu kepadaku. Aku mengharap bahwa kelak kau akan dapat
memilikinya.”


“Oh,” terdengar sebuah desis perlahan dari mulut
Agni. Cepat-cepat ia menyerahkan senjata aneh itu kepada gurunya tanpa sepatah
kata pun yang keluar dari mulutnya.


Kemudian mereka pun meneruskan perjalanan mereka.
Sudah tidak seberapa jauh lagi. Dari desa di hadapan mereka, terdengarlah kokok
ayam jantan bersahut-sahutan.


“Hari menjelang pagi,” desis Empu Purwa.


“Kita terhalang di padang Karautan,” sahut Mahisa
Agni.


Kembali mereka berdiam diri. Dan kembali Mahisa
Agni berangan-angan. Kini yang hadir di dalam benaknya adalah sahabatnya.
Seorang pemuda yang tampan, bertubuh tinggi tegap, bermata hitam mengkilat.
Anak muda itu adalah putra Ki Buyut Panawijen. Hampir setiap hari Mahisa Agni
bermain-main bersamanya. Menggembala kambing bersama. Bekerja di sawah bersama.
Saling membantu seperti kakak-beradik yang rukun. Mereka berdua mempunyai
banyak persamaan tabiat. Keduanya senang pada pekerjaan mereka sehari-hari.


Keduanya bekerja di antara penduduk Panawijen
yang rajin. Menggali parit, membuat bendungan di sungai, dan membersihkan
jalan-jalan desa, memelihara pura-pura, dan segala macam pekerjaan. Namun ada
yang tak dapat dipersamakan di antara mereka. Mahisa Agni adalah seorang pemuda
yang tangguh, yang hampir sempurna dalam ilmu tata beladiri dan tata bermain
senjata. Berkelahi seorang diri dan bertempur dalam gelar-gelar perang.
Sedangkan Wiraprana, anak muda putra Ki Buyut Panawijen, adalah seorang anak
muda yang tak banyak perhatiannya pada ilmu tata beladiri meskipun
dipelajarinya serba sedikit dari ayahnya. Meskipun anak muda itu rajin bekerja
namun ia tidak setekun Mahisa Agni dalam menempa diri. Meskipun demikian,
karena Agni tidak biasa menunjukkan kelebihannya, keduanya dapat bergaul dengan
rapatnya.


Mereka memasuki desa mereka pada saat cahaya
merah membayang di timur. Di telinga mereka masih menghambur suara kokok ayam
jantan bersahut-sahutan. Sekali-kali telah terdengar pula gerit senggot orang
menimba air dari perigi-perigi di belakang rumah mereka.


Ketika mereka, Empu Purwa dan Mahisa Agni,
memasuki halaman rumah mereka yang dikelilingi oleh pagar batu setinggi orang,
mereka melihat api menyala di ujung dapur.


“Ken Dedes sudah bangun,” berkata Empu Purwa
perlahan.


Mahisa Agni tidak menjawab. Sejak semula ia sudah
menyangka bahwa Ken Dedes dan para endanglah yang sedang merebus air sambil
menunggu kedatangan mereka.


Sekali mereka berjalan melingkari pertamanan di
tengah-tengah halaman yang luas itu. Kemudian mereka berjalan di tanggul kolam
yang berair bening. Di siang hari, kolam itu dipenuhi oleh itik, angsa, dan
berati, berenang dengan riangnya.


Kedatangan mereka disambut oleh Ken Dedes dengan
penuh kemanjaan. Dengan bersungut-sungut terdengar ia bergumam, “Ayah terlalu
lama pergi bersama Kakang Agni. Semalam aku tidak tidur. Ayah berkata bahwa
selambat-lambatnya senja kemarin sampai di rumah. Tetapi baru pagi ini ayah
sampai.”


“Agni kerasan di Tumapel,” jawab Empu Purwa.


“Ah,” desah Ken Dedes, “barangkali gadis-gadis Tumapel
menahannya.”


Mahisa Agni tersenyum kemalu-maluan. Ia tidak mau
disangka demikian, namun ia tidak dapat mengatakan keadaan yang sebenarnya di
padang Karautan. Karena itu menyahut, “Aku berburu kelinci di Padang Karautan.”


Ken Dedes mengerutkan keningnya. Katanya, “Ayah
melewati padang rumput itu?”


Empu Purwa mengangguk.


“Tidaklah Ayah takut kepada hantu yang sering
menghadang orang lalu di padang rumput itu?” desak Ken Dedes.


Sekali lagi Empu Purwa menggeleng. Katanya, “Tak
ada hantu di sana. Yang ada adalah kelinci-kelinci dan anak-anak rusa.”


Ken Dedes tidak bertanya lagi tetapi wajahnya
nampak bersungguh-sungguh. Tiba-tiba Ken Dedes melangkah maju mendekati Mahisa
Agni. Ditatapnya sesuatu pada wajah anak muda itu.


“Kenapa wajahmu, Kakang?” bertanya Ken Dedes
kemudian sambil meraba pipi Mahisa Agni.


Baru pada saat itu Mahisa Agni merasa wajahnya
nyeri. Sebuah jalur kemerah-merahan membujur di wajahnya, di samping noda yang
kebiru-biruan. Sekilas terasalah tangan hantu Karautan menghantam wajahnya itu pada
saat ia berkelahi.


“Pipiku tersangkut dahan pada saat aku merunduk
menangkap kelinci,” jawab Agni.


Meskipun Ken Dedes tidak bertanya lagi namun
tampaklah kerut-kerut di keningnya sebagai pertanyaan hatinya. Kemudian tanpa
disengajanya Ken Dedes mencibirkan bibirnya.


Sesaat kemudian mereka telah duduk menghadapi
minuman hangat. Air daun sereh dengan gula aren telah menyegarkan tubuh mereka.


“Kau terlalu lelah Agni,” berkata Empu Purwa.
“Beristirahatlah.”


Sebenarnyalah bahwa Agni terlalu lelah. Perkelahiannya
dengan Ken Arok telah memeras hampir seluruh tenaganya. Karena itu ia pun
segera beristirahat pula. Karena kelelahan itulah maka ia pun segera jatuh
tertidur.


Betapapun lelahnya namun Agni tidak dapat tidur
terlalu lama. Sudah menjadi kebiasaan anak muda itu bangun pagi-pagi sebelum
matahari melampaui punggung bukit-bukit di sebelah timur.


Tetapi kali ini Mahisa Agni terlambat juga.
Ketika ia membuka mata, dilihatnya cahaya matahari telah memanasi
dinding-dinding ruang tidurnya. Karena itu segera ia bangkit dan segera pula
dengan tergesa-gesa pergi ke belakang membersihkan diri.


Ketika ia melangkah kembali masuk ke ruang dalam,
Mahisa Agni terkejut mendengar sapa perlahan-lahan, “Kau kerinan,
Agni.”


Agni menoleh. Dilihatnya di sudut bale-bale besar
yang terbentang di ruangan itu, Wiraprana duduk bersila. Senyumnya yang segar
membayang di antara kedua bibirnya.


Agni pun tersenyum pula. Jawabnya, “Aku terlalu
lelah.”


“Kau baru pulang semalam?” bertanya Prana.


“Bukan semalam,” jawab Agni, “pagi ini.”


“Lama benar kau pergi,” sahut Prana.


“Sepekan,” jawab Agni.


“Selesaikan dirimu. Kita pergi ke sawah kalau kau
tidak terlalu lelah,” ajak Wiraprana.


Agni tidak menjawab. Segera ia membenahi diri.
Sesaat kemudian mereka berdua telah turun ke halaman. Beberapa kali mata Agni
mengitari seluruh ruangan dan halaman rumahnya untuk mencari Ken Dedes. Namun
gadis itu tak ditemuinya. Ketika di halaman ia berpapasan dengan seorang
cantrik, maka ia bertanya, “Ke mana Ken Dedes?”


“Ke sungai, Ngger,” jawab cantrik itu.


“Apa yang dilakukan?” desak Agni.


“Ken Dedes membawa kelenting dan dijinjingnya
bakul cucian,” jawab cantrik itu pula.


“Bapa Pendeta?” bertanya Agni pula.


“Di sanggar, sejak beliau datang bersama Angger,”
jawab cantriknya itu.


Agni tidak bertanya lagi. Dan keduanya berjalan
pula keluar halaman.


Tiba-tiba langkah mereka terhenti ketika mereka
melihat debu yang berhamburan dilemparkan oleh kaki-kaki kuda yang berlari
tidak terlalu kencang. Kuda itu berjalan searah dengan Agni dan Wiraprana.


Agni melihat kuda yang besar dan tegar itu dengan
kagumnya. Di punggung kuda itu duduk seorang pemuda dengan pakaian yang rapi
dan teratur. Kain lurik merah bergaris-garis cokelat, celana hitam mengkilat,
dan timang bermata berlian. Di punggungnya terselip sebuah pusaka, keris berwrangka
emas.


Pelangi di langit Singosari jilid-1 (hal 1-10;11-20;21-30;31-52) jilid-1 selesai bersambung jilid-2 Clip_image001Melihat anak muda yang duduk di
atas punggung kuda itu wajah Agni menjadi terang. Ia tertawa sambil melambaikan
tangannya dan dari sela-sela tertawanya terdengar ia menyapa, “Kuda Sempana!”


Wiraprana berdiri saja di tempatnya. Ia melihat Agni
dengan bibir yang ditarik ke sisi. Bisiknya, “Kau akan kecewa, Agni.”


Meskipun Agni mendengar bisik sahabatnya namun ia
tidak segera menangkap maksudnya. Ia masih tegak di tepi jalan menanti anak
muda yang berkuda dengan gagahnya itu.


Mula-mula Mahisa menyangka bahwa Kuda Sempana
tidak melihatnya. Karena itu sekali lagi menyapa, “He, Kuda Sempana!”


Anak muda yang bernama Kuda Sempana itu
memperlambat kudanya. Dilemparkan pandangannya ke arah Mahisa Agni. Namun hanya
sebentar. Ia mengangguk tanpa kesan. Kemudian ia melanjutkan perjalanan.


Mahisa Agni mengerutkan keningnya. Kuda Sempana
baru beberapa tahun meninggalkan kampung halaman. Apakah anak itu telah
melupakannya? Untuk meyakinkan dirinya, Mahisa Agni masih tetap berdiri menanti
Kuda Sempana. Tetapi ia menjadi kecewa ketika tiba-tiba kuda yang dinaikinya
membelok masuk ke halaman. Justru halaman rumah gurunya.


“Bukankah itu Kuda Sempana?” tanpa sesadarnya
Agni bertanya.


“Ya,” jawab Wiraprana.


“Kawan kita bermain dahulu?” Agni menegaskan.


“Ya,” jawab Prana.


“Bukankah anak itu baru beberapa tahun
meninggalkan kita,” Agni meneruskan.


“Ya,” sahut Prana pula.


“Aneh,” berkata Agni seperti orang yang menyesal.


“Sudah aku katakan,” jawab Prana, “kau akan
kecewa. Dua hari yang lampau, aku menyesal pula seperti kau sekarang. Anak itu
sekarang menjadi pelayan dalam dari Akuwu Tunggul Ametung. Ia menjadi kaya dan
tak mengenal kita lagi.”


“Barangkali ia tergesa-gesa,” Agni mencoba untuk
memuaskan hatinya sendiri.


“Aku telah mengalami dua hari yang lampau. Ia
memandangku seperti orang asing,” sahut Prana.


Tetapi Mahisa Agni masih belum yakin. Tak masuk
di akalnya bahwa hanya karena menjadi pelayan dalam Akuwu Tumapel, seseorang
dapat melupakan kawan-kawan bermain sejak masa kanak-kanaknya.


Wiraprana melihat keragu-raguan itu. Maka katanya
sambil tersenyum, “Agni, agaknya kau tidak yakin akan kata-kataku. Cobalah kau
temui anak itu.”


“Marilah,” ajak Agni.


Wiraprana menggeleng. Jawabnya, “Aku segan. Tak
ada gunanya. Aku akan mendahului. Aku tunggu kau di atas tanggul.”


Mahisa Agni sejenak menjadi ragu-ragu. Tetapi
bagaimanapun juga ia melihat sikap yang aneh pada Kuda Sempana. Apalagi anak
muda itu masuk ke halaman rumah gurunya. Karena itu akhirnya ia berkata,
“Baiklah Prana, tunggulah aku di atas tanggul. Aku segera menyusul.”


Sekali lagi Wiraprana tersenyum. Kemudian ia
memutar tubuhnya berjalan perlahan-lahan mendahului Agni, yang karena
keinginannya untuk mengetahui keadaan Kuda Sempana, berjalan kembali ke halaman
rumahnya.


Ketika ia memasuki halaman, dilihatnya Kuda
Sempana masih berada di atas punggung kudanya. Dengan sikap seorang bangsawan
ia sedang bercakap-cakap dengan seorang cantrik.


“Sudah lama ia pergi?” terdengar Kuda Sempana itu
bertanya.


“Sudah Angger,” jawab cantrik itu.


“Sendiri?” bertanya Kuda Sempana.


“Dengan beberapa endang, Angger,” jawab cantrik
itu.


Kuda Sempana mengangguk-anggukkan kepalanya.
Kemudian ditebarkan pandangannya ke seluruh sudut halaman. Dan ketika
dilihatnya Mahisa Agni, Kuda Sempana mengerutkan keningnya.


Mahisa Agni tersenyum dengan ramahnya. Dengan
akrabnya ia berkata, “Sempana. Alangkah gagahnya kau sekarang.”


Anak muda itu memandang Mahisa Agni dengan tajam.
Kemudian katanya, “Ya.”


Jawaban itu terlalu pendek bagi dua orang kawan
yang telah lama tidak bertemu. Meskipun demikian Agni masih menyapanya lagi,
“Apakah keperluanmu? Adakah aku dapat membantumu?”


Kuda Sempana menggeleng, “Aku tergesa-gesa.”


Perasaan kecewa mulai menjalari dada Mahisa Agni.
Percayalah ia sekarang kepada Wiraprana bahwa hal yang diragukan itu benar-benar
dapat terjadi.


Namun sekali lagi Agni bertanya, “Adakah sesuatu
pesan untuk Bapa Pendeta?”


Sempana menggeleng.


“Tidak,” katanya, “Aku tidak mempunyai sesuatu
keperluan dengan Empu Purwa. Aku datang untuk putrinya.”


Terasa sesuatu berdesir di dalam dada Agni.
Tetapi ia mencoba menguasai perasaannya. Dan tahulah ia sekarang, siapakah yang
ditanyakan oleh Sempana kepada cantrik itu.


Mahisa Agni terkejut ketika kemudian terdengar
Kuda Sempana berkata, “Aku tidak mempunyai banyak waktu.”


Anak muda yang gagah itu tidak menunggu jawaban
siapa pun. Segera ia menarik kekang kudanya, dan kuda yang tegar itu pun
berputar. Sesaat kemudian kuda itu telah menghambur meninggalkan halaman yang
luas dan sejuk itu.


Ketika Kuda Sempana telah hilang di balik pagar,
bertanyalah cantrik itu kepada Mahisa Agni, “Bukankah anak muda itu Angger Kuda
Sempana?”


“Ya,” jawab Agni sambil mengangguk-angguk
kepalanya.


“Tetapi,” cantrik itu meneruskan, “bukankah anak
muda itu kawan Angger Agni bermain-main seperti Angger Wiraprana?”


Agni mengangguk. Ditatapnya sisa-sisa debu yang
dilemparkan oleh kaki-kaki kuda yang mengagumkan itu. Jawabnya, “Begitulah.”


Cantrik itu tidak bertanya lagi ketika dilihatnya
sorot mata Agni yang aneh. Karena itu, segera ia kembali pada pekerjaannya
membersihkan halaman dan tanam-tanaman.


Agni pun kemudian tidak berkata-kata pula.
Diayunkan kakinya keluar halaman. Ia telah berjanji pergi ke tanggul. Di sana
Wiraprana menunggunya. Ia masih melihat Kuda Sempana melarikan kudanya lewat
jalan yang akan dilaluinya namun ia sama sekali sudah tidak menaruh perhatian
kepada anak muda yang sombong itu. Karena itu segera angan-angannya kembali
kepada sahabatnya, Wiraprana.


Tanggul yang dimaksud Wiraprana adalah tanggul
sebuah bendungan dari sebuah sungai kecil yang membujur agak jauh dari desanya.
Dari sungai itulah sawah-sawahnya mendapat aliran air. Karena itu, baik Agni
maupun Wiraprana sering benar pergi ke tanggul itu. Bahkan bukan saja anak-anak
muda namun gadis-gadis pun selalu pergi ke sungai itu untuk mencuci pakaian-pakaian
mereka dan mandi di belumbang kecil di bawah bendungan.


Tetapi Agni tidak langsung pergi ke tanggul itu.
Ketika ia lewat di samping sawah Empu Purwa yang menjadi garapannya, ia
berhenti. Dilihatnya beberapa batang rumput liar tumbuh di antara tanaman-tanamannya
meskipun masa matun baru saja lampau. Karena itu ia memerlukan waktu sejenak
untuk menyiangi tanamannya itu.


Wiraprana yang sudah sampai di pinggir kali,
duduk dengan enaknya di atas sebuah batu padas yang menjorok agak tinggi.
Ketika ia melihat bahwa tanggul dan bendungan cukup baik, maka yang
dikerjakannya adalah menunggu Mahisa Agni, yang akan diajaknya untuk melihat
apakah rumpon yang mereka buat telah masak untuk dibuka.


Wiraprana meredupkan matanya ketika ia melihat
seekor kuda berlari kencang ke arahnya. Segera ia mengenal bahwa di atas
punggung kuda itu duduk Kuda Sempana. Meskipun ia tidak tahu maksud kedatangan
anak muda itu namun perasaan tidak senang telah menjalari dirinya sehingga
tanpa sesadarnya ia turun dan duduk di balik batu padas itu. Ia sama sekali
tidak ingin untuk bertemu dengan anak yang sombong itu meskipun timbul juga
keinginannya untuk mengetahui, apakah maksud kedatangan anak muda itu ke
bendungan.


Ketika Wiraprana melayangkan pandangannya ke
belumbang kecil di bawah bendungan itu, dilihatnya beberapa orang gadis sedang
mencuci. Satu di antara mereka adalah gadis yang dikenalnya dengan baik, sebaik
ia mengenal Mahisa Agni. Gadis yang namanya selalu disebut oleh hampir setiap
pemuda di kaki Gunung Kawi itu. Gadis itu adalah Ken Dedes.


Wiraprana menarik nafas. Tetapi kemudian ia
dikejutkan oleh derap kaki kuda di sampingnya. Sekali lagi ia berkisar ke balik
batu itu. Ia benar-benar tidak mau bertemu lagi dengan Kuda Sempana setelah
hatinya dikecewakan dua hari yang lampau.


Tetapi didesak oleh perasaannya maka dengan
hati-hati ia mengintip apakah keperluan anak muda yang sombong itu. Ia menahan
nafas ketika ia melihat Sempana berjalan hanya beberapa langkah di mukanya,
kemudian membelok ke kanan, menuruni tebing sungai.


Beberapa orang gadis yang melihat kedatangan anak
muda itu menjadi heran. Mereka telah biasa melihat Wiraprana, Mahisa Agni, dan
anak-anak muda dari desa mereka berada di atas tanggul bendungan itu. Namun
anak muda dengan pakaian yang sedemikian lengkapnya adalah jarang mereka lihat.
Tetapi ketika anak muda itu menjadi semakin dekat, tiba-tiba terdengarlah
hampir bersamaan dari mulut gadis-gadis itu sebuah sapa yang riang, “Kuda
Sempana!”


Tetapi sapa itu sama sekali tak berbekas di wajah
Kuda Sempana yang seakan-akan telah membeku.


Meskipun kemudian gadis-gadis itu menjadi riuh,
namun Sempana sama sekali tak terpengaruh olehnya, sehingga akhirnya
gadis-gadis itu pun menjadi heran dan berhenti dengan sendirinya.


Tetapi di antara mereka, tampaklah Ken Dedes menjadi
pucat. Tiba-tiba terasa tubuhnya gemetar seperti kedinginan. Ia melihat
kedatangan Kuda Sempana seperti melihat hantu. Bagaimanapun ia mencoba
menguasai dirinya namun tampak juga tubuhnya bergetar. Untunglah tak seorang
pun dari kawan-kawannya memperhatikannya.


Kuda Sempana kemudian berdiri tegak di tepi
belumbang kecil itu. Gadis-gadis yang berada di hadapannya itu seakan-akan tak
dilihatnya selain seorang gadis yang dengan gemetar memperhatikan segala
tingkah lakunya.


“Ken Dedes,” kemudian terdengar kata-kata itu
meluncur dari mulutnya. Meskipun ia berdiri dengan garangnya namun terdengar
kata-katanya itu lunak dan lambat. Oleh kata-kata Sempana itu maka gadis-gadis
itu pun seperti terpikat oleh sebuah pesona, bersama-sama menoleh ke arah Ken
Dedes yang kemudian menundukkan wajahnya.


Ken Dedes sama sekali tidak menjawab sapa itu.
Bahkan tubuhnya seraya menjadi lemas. Detak jantung di dadanya seakan-akan
berdentang seperti guntur. Ketika sekali lagi ia mendengar anak muda itu
memanggilnya maka ditundukkannya wajahnya semakin dalam.


“Ken Dedes,” berkata Sempana kemudian, “aku tidak
banyak mempunyai waktu. Tinggalkan cucianmu sebentar. Ada sesuatu yang akan aku
katakan kepadamu.”


Gadis-gadis yang lain pun saling berpandangan.
Mereka memuji ketampanan Kuda Sempana namun mereka berteka-teki pula, mengapa
Kuda Sempana menemui seorang gadis di pemandian. Sudah tidak adakah waktu yang
lain?


“Aku telah datang ke rumahmu, Ken Dedes,” Kuda
Sempana meneruskan, “Tetapi kau tak ada. Karena itu aku terpaksa menyusulmu.”


“Kakang Sempana,” akhirnya Ken Dedes terpaksa
menjawabnya, “Tunggulah aku di rumah. Aku akan dapat membicarakannya dengan
ayah dan Kakang Agni.”


“Marilah kita pulang bersama-sama,” ajak Sempana.


“Aku belum mandi,” bantah Ken Dedes, “dan
cucianku belum selesai. Bukankah hari masih terlampau pagi?”


“Besok aku harus kembali ke Tumapel,” sahut Kuda
Sempana, “siang nanti aku akan berkemas. Seandainya kau bersedia…” Sempana tak
meneruskan kata-katanya. Ketika ia mendengar beberapa orang gadis menahan
senyumnya, ditatapnya wajah gadis-gadis itu dengan tajamnya sehingga
gadis-gadis itu pun menjadi ketakutan dan menjatuhkan pandangan mereka ke atas
pasir.


Ken Dedes menjadi semakin gemetar. Ia tidak tahu
apa yang akan dilakukan. Tetapi pasti bahwa ia tak dapat memenuhi permintaan
Kuda Sempana. Karena Ken Dedes tidak segera menjawab, Sempana mendesaknya, “Ken
Dedes, berpakaianlah!”


Nafas Ken Dedes menjadi sesak. Apalagi ketika
didengarnya Kuda Sempana meneruskan, “Bukankah tidak baik apabila aku
menyatakan maksudku di sini?”


Sekali lagi terdengar suara-suara tertawa yang
tertahan. Dan sekali lagi mata Sempana yang tajam beredar ke setiap wajah
gadis-gadis di belumbang itu, dan sekali lagi gadis-gadis itu melemparkan
pandangan jauh-jauh.


Mulut Ken Dedes telah benar-benar seperti
membeku. Karena itu tak sepatah kata pun dapat diutarakan meskipun hatinya
meronta-ronta. Adalah suatu aib yang mencoreng di wajahnya apabila kemudian
Sempana tak dapat menahan hatinya dan melamarnya langsung tidak setahu ayahnya.
Meskipun ia dapat menolak tetapi sikap yang demikian dari seorang pemuda adalah
sikap yang tercela. Hanya gadis-gadis yang tak berhargalah yang akan pernah
mengalami perlakuan demikian. Maka merataplah Ken Dedes di dalam hatinya,
“Apakah aku ini termasuk dalam lingkaran gadis-gadis yang demikian sehingga
Sempana memperlakukan aku begini?” Hampir saja air mata Ken Dedes meledak
seandainya ia tidak berusaha sekuat-kuatnya untuk menahannya.


Tetapi Sempana, pelayan dalam Akuwu Tumapel itu,
benar-benar seperti orang mabuk. Katanya, “Ken Dedes, bukankah sejak aku
pulang, aku telah berkata kepadamu bahwa suatu ketika aku akan datang ke
rumahmu? Seharusnya kau tahu akan maksudku itu. Karena itu sekarang marilah
kita pulang.”


Ken Dedes masih saja menundukkan wajahnya. Karena
itu kemudian Kuda Sempana menjadi tidak sabar lagi. Sorot matanya menjadi
semakin tajam. Beberapa orang gadis pergi menjauhinya. Mereka takut melihat
sikap Sempana yang menjadi semakin garang. Dada Ken Dedes pun menjadi semakin
sesak. Hatinya menjadi tegang. Tak ada yang dapat dilakukannya. Sekali ia
mencoba menatap wajah Sempana tetapi wajah itu terlalu menakutkan baginya
sehingga akhirnya kembali kepalanya ditundukkannya dalam-dalam.


Dalam kebingungan itu, tiba-tiba didengarnya
sebuah suara yang lain dari suara Kuda Sempana. Tidak terlalu keras namun kata
demi kata dapat didengarnya dengan baik. Katanya, “Kuda Sempana, adakah kau
akan ikut serta mencuci pakaianmu di belumbang ini?”


Kuda Sempana terkejut. Ketika ia menoleh,
dilihatnya Wiraprana berjalan perlahan-lahan ke arahnya. Karena itu wajah
Sempana segera menjadi merah. Dengan cepatnya ia memutar tubuhnya menghadap
Wiraprana. Dan dengan suara lantang ia berkata, “Apa kerjamu di sini?”


“Menunggui tanggul,” jawab Wiraprana singkat.


Kuda Sempana menggeram. Ia benar-benar menjadi
marah. Katanya, “Kau mencoba mencampuri urusanku?”


Wiraprana mengerutkan keningnya, “Apa yang aku
campuri? Setiap hari aku berada di tempat ini. Mengail, membuka parit, mencuci
pakaian, dan segala macam pekerjaan anak desa. Kaulah yang aneh. Seorang
pelayan dalam Tumapel berada di bendungan.”


“Tutup mulutmu!” bentak Sempana.


Gadis-gadis yang melihat peristiwa itu menjadi
ketakutan pula. Tubuh mereka bergetaran dan dada mereka menjadi sesak. Apalagi
Ken Dedes sendiri. Di samping perasaan takut yang membelit hatinya maka ia pun
merasa bahwa dirinyalah sebab dari pertengkaran itu. Karena itu maka ia menjadi
semakin cemas. Meskipun ia merasa bersyukur pula atas kehadiran Wiraprana namun
agaknya Kuda Sempana memandang kehadiran Wiraprana sebagai tantangan. Kuda
Sempana tidak menjadi malu atau segan, bahkan ia bersikap sebagai lawan.


Pada saat Wiraprana berada di balik batu padas,
dilihatnya sikap Kuda Sempana yang kurang wajar. Karena itu perlahan-lahan ia
merunduk di balik-balik batu mendekatinya. Meskipun ia tidak jelas apa yang
sebenarnya terjadi namun adalah pasti baginya bahwa Ken Dedes berada dalam
kesulitan. Maka sikap Sempana itu adalah merupakan penjelasan baginya. Anak
muda yang sombong itu benar-benar telah berbuat suatu kesalahan. Karena itu
jawabnya tatag, “Kuda Sempana. Jangan terlalu kasar. Bukankah dahulu kau setiap
hari juga berada di bendungan ini. Bahkan malam hari pun kau kadang-kadang
tidur di atas pasir di tepian itu bersama-sama aku? Marilah kita bersikap
wajar. Juga terhadap gadis-gadis, kau sebaiknya bersikap wajar.”


“Jangan gurui aku anak desa yang sombong. Selama
hidupmu kau dikungkung oleh kepicikan akal dan kesempitan pengetahuan,” jawab
Sempana, “Aku telah mencoba berlaku sopan kepada Ken Dedes. Aku hanya ingin
persoalanku cepat selesai.”


“Soalmu dan Ken Dedes benar-benar bukan
urusanku,” sahut Wiraprana, “Kalau kalian berdua telah bersepakat maka adalah
suatu dosa bagiku apabila aku datang kepadamu sekarang. Tetapi aku melihat
sikap Ken Dedes lain dari sikap yang kau harapkan. Dan kau terlalu bersikap
garang kepadanya.”


“Wiraprana!” bentak Kuda Sempana, “sekali lagi
aku peringatkan, tinggalkan tempat ini!”
iyang
iyang
Premium member
Premium member

Jumlah posting : 703
Join date : 09.03.10
Age : 51
Lokasi : Tarumajaya Bekasi, 085714907816

Kembali Ke Atas Go down

Pelangi di langit Singosari jilid-1 (hal 1-10;11-20;21-30;31-52) jilid-1 selesai bersambung jilid-2 Empty Re: Pelangi di langit Singosari jilid-1 (hal 1-10;11-20;21-30;31-52) jilid-1 selesai bersambung jilid-2

Post  iyang Wed 23 May 2012, 12:28

“Jangan bersikap demikian, Sempana,” jawab
Wiraprana, “Jangan bersikap seperti orang hendak berkelahi. Aku bukan orang
yang biasa berbuat demikian. Namun aku hanya ingin memperingatkan kepadamu.
Pulanglah. Pergilah kepada ayahnya dan biarlah ayahnya bertanya kepadanya,
apakah ia bersedia menerima kehadiranmu di dalam perjalanan hidupnya.”


Kuda Sempana yang sombong itu tidak mau lagi
mendengar kata-kata Wiraprana. Karena itu selangkah ia meloncat maju. Tangan
kanannya terayun menampar mulut Wiraprana. Gerak Sempana cepat seperti kilat
sehingga Wiraprana tak sempat mengelak. Terdengarlah seperti sebuah ledakan
cambuk di pipi Wiraprana. Wiraprana terkejut. Ia terdorong beberapa langkah ke
samping. Terasa betapa nyeri pukulan itu. Tetapi untunglah bahwa ia tidak
terbanting ke air.


“Sempana,” katanya sambil berdesis menahan sakit,
“jangan terlalu kasar.”


“Diam!” bentak Kuda Sempana, “Tinggalkan tempat
ini!”


“Kau telah melanggar kebiasaan kampung halaman
kita, Sempana,” berkata Wiraprana lantang, “adat itu tetap kita hormati.”


Sekali lagi Kuda Sempana tidak dapat
mengendalikan dirinya. Tangannya terayun kembali ke wajah Wiraprana. Namun,
kali ini Wiraprana tidak mau dikenai untuk kedua kalinya. Karena itu
cepat-cepat ia membungkukkan badannya. Tangan Kuda Sempana hanya sejari terbang
di atas kepalanya. Tetapi Sempana adalah pelayan dalam istana sehingga dengan
cepat ia dapat membetulkan kesalahannya. Ketika dirasa tangannya tak menyentuh
tubuh Wiraprana, segera ia mengulangi serangannya. Geraknya benar-benar tak
diduga oleh Wiraprana. Karena itu, selagi ia masih membungkuk, terasa sebuah
tamparan menyengat pipinya yang lain. Sekali lagi Wiraprana terdorong ke
samping dan sekali lagi ia berdesis menahan sakit.


Ketika Wiraprana telah tegak kembali,
terdengarlah giginya gemeretak dan matanya memancarkan sinar kemarahan. Telah
dua kali pipinya di kedua sisi merasakan betapa berat tangan Kuda Sempana.
Bagaimanapun juga Wiraprana adalah laki-laki juga seperti Kuda Sempana. Karena
itu katanya lantang, “Kuda Sempana. Jangan membusungkan dada hanya karena kau
telah mendapat kedudukan baik di samping Akuwu Tunggul Ametung. Persoalanmu adalah
persoalan adat kampung halaman.”


“Apa pedulimu!” bentak Kuda Sempana, “Kalau aku
tidak dapat menemui ayah gadis yang aku senangi, aku masih mempunyai cara lain.
Aku akan melarikannya. Kelak aku akan kembali dengan seorang cucu yang manis
bagi Empu Purwa. Dan ia harus menerima kedatangan kami.”


Wajah Wiraprana menjadi merah padam. Katanya
kepada Ken Dedes, “Adakah kau telah bersepakat untuk kawin lari?”


“Tidak! Tidak!” teriak Ken Dedes serta-merta.


“Hem,” geram Wiraprana kepada Kuda Sempana,
“kalau kau telah bersepakat, aku tak dapat menghalangimu. Tetapi kalau tidak,
dan kau akan memaksakan cara itu, aku akan mencegahmu.”


Kuda Sempana tertawa dengan sombongnya. Katanya,
“Bagus. Seseorang dibenarkan untuk melakukan pencegahan. Tetapi tatacara itu
pun menuntut pengorbanan bagi gadis yang diidamkan. Nyawaku menjadi taruhan.”


Wiraprana mengangkat alisnya. Ia ngeri mendengar
kata-kata Kuda Sempana. Mengorbankan nyawa berarti kematian. Dan ia ngeri
memikirkan kematian. Tetapi ia harus mencegahnya. Karena itu katanya, “Aku
tidak menghendaki bencana apa pun. Baik bagimu maupun bagiku. Tetapi aku hanya
akan mencegahmu.”


Kuda Sempana tidak sabar lagi. Dengan berteriak
nyaring, ia meloncat menyerang Wiraprana. Tetapi kali ini Wiraprana telah
bersiaga. Karena itu, ia pun berhasil mengelakkan serangan Kuda Sempana. Tetapi
Kuda Sempana tidak puas dengan serangannya yang gagal. Segera ia pun
memperbaiki kedudukannya dan dengan garangnya ia mengulangi serangannya.


Segera terjadilah perkelahian antara keduanya.
Wiraprana yang bertubuh tinggi tegap itu cukup mempunyai kekuatan namun Kuda
Sempana, yang tidak sebesar Wiraprana, mempunyai kelincahan yang mengagumkan.
Serangannya benar-benar datang seperti sikatan yang menari-nari di padang
rumput yang hijau.


Gadis-gadis yang melihat perkelahian itu menjadi
semakin ketakutan. Mereka berlari bercerai-berai sambil memekik-mekik. Namun
ada di antara mereka yang sedemikian takutnya sehingga mereka terduduk lemas,
seakan-akan tulang-belulangnya dicopoti.


Ken Dedes sendiri, seperti orang yang kehilangan
kesadarannya, duduk di atas pasir di tepi belumbang. Beberapa kali ia mencoba
menutup wajahnya dengan kedua belah tangannya. Tetapi kadang-kadang ia terpaksa
mengintip perkelahian itu dari celah-celah jarinya. Ia takut melihat perkelahian
itu namun ia terpaksa untuk melihatnya. Perkelahian yang demikian benar-benar
jarang terjadi di Panawijen yang tenteram. Hampir tak pernah terdengar
perselisihan di antara anak-anak muda. Namun tiba-tiba mereka harus melihat
sebuah perkelahian yang mengerikan.


Kuda Sempana benar-benar memiliki kelincahan dan
ketangkasan. Sebagai seorang abdi yang dipercaya, Sempana mempunyai bekal yang
cukup. Karena itu ia pun memiliki ilmu tata berkelahi yang baik. Sedangkan
Wiraprana, meskipun dari ayahnya, Buyut Panawijen, telah pernah dipelajarinya
ilmu itu namun anak muda itu sama sekali tidak menekuninya. Ketenteraman hidup
dan kedamaian hati penduduk Panawijen tidak pernah menuntunnya ke dalam
persoalan yang dapat memaksanya untuk menekuni ilmu semacam itu.


Karena itu, sesaat kemudian, terasa bahwa
Wiraprana yang tinggi tegap itu tak akan dapat mengimbangi kelincahan dan
ketangkasan lawannya. Berkali-kali ia terdorong surut dan berkali-kali ia
terhuyung karena pukulan-pukulan lawannya.


Untunglah bahwa pekerjaan-pekerjaan berat yang
selalu dilakukan dapat menolongnya. Tubuhnya menjadi kuat dan untuk beberapa
lama ia dapat menahan sakit yang menjalar hampir di setiap bagian tubuhnya.
Pukulan yang bertubi-tubi telah mematangkan kulit wajahnya. Merah biru, dan
dari bibirnya mengalir darah yang merah segar. Tetapi betapa kuat tubuh
Wiraprana, akhirnya terasa juga semakin lama semakin menjadi lemah. Nyeri dan
pedih menyengat-nyengat tak henti-hentinya dan setiap kali pula tangan Kuda
Sempana masih saja mengenainya. Namun Wiraprana tak mau melepaskan lawannya.
Kalau ia melepaskan Sempana dan melarikan diri, Kuda Sempana pasti akan
melaksanakan maksudnya. Telah terucapkan dari bibirnya bahwa ia akan dapat
menempuh cara yang keji terhadap gadis idamannya. Karena itu, tidak mustahil
bahwa ia pada saat itu pula akan memaksa Ken Dedes mengikutinya ke Tumapel. Ia
akan dapat bersembunyi di istana Tunggul Ametung sampai kelahiran anaknya. Dan
sesudah itu, tak seorang pun dapat menuntutnya. Tetapi di samping itu, terasa
pula oleh Wiraprana bahwa akhirnya ia tak akan mampu berbuat apa-apa. Sesaat
kemudian ia akan jatuh terjerembab. Mungkin pingsan dan mungkin terjadi
peristiwa yang mengerikan itu. Nyawanya harus dipertaruhkan.


Kuda Sempana masih berkelahi dengan penuh nafsu.
Meskipun ia sadar bahwa Wiraprana tak akan mampu menandinginya namun ia tetap
berlaku kasar. Tangannya menjambak bertubi-tubi, dan bahkan Kuda Sempana
menjadi semakin marah karena Wiraprana tidak segera jatuh. Karena itu, akhirnya
ia berketetapan hati untuk menyelesaikan perkelahian itu. Dengan garangnya ia
menyerang lawannya dan dengan kedua tangannya ia menghantam wajah Wiraprana
bertubi-tubi. Sekali wajah Wiraprana terangkat karena pukulan Kuda Sempana yang
tepat mengenai rahangnya namun sesaat kemudian kepalanya terkulai ke samping
oleh tangan lawannya yang lain.


Oleh keadaannya itu, hampir Wiraprana menjadi
putus asa. Ia merasa bahwa ia tak akan dapat berbuat banyak. Terbayang di
matanya kesudahan dari peristiwa itu. Panawijen akan berkabung. Anak Buyut
Panawijen terbunuh dan putri Pendeta Panawijen dilarikan orang.


Ketika Wiraprana hampir menyerahkan dirinya
kepada nasib, lamat-lamat didengarnya Ken Dedes memekik kecil. Gadis itu
menjadi ngeri ketika dilihatnya darah mengalir dari bibir dan hidung Wiraprana.
Namun bagi Wiraprana, pekik itu seakan-akan telah menggugah kembali
semangatnya. Tiba-tiba terpikir olehnya, kenapa gadis itu tidak saja lari dan
pulang ke rumah. Karena itu tiba-tiba, dengan tidak menghiraukan keadaan
dirinya, Wiraprana mendekap tubuh Kuda Sempana erat-erat. Bersamaan dengan itu
terdengar ia berkata parau, “Ken Dedes, tinggalkan tempat ini. Cepat, sebelum
aku kehabisan tenaga!”


Ken Dedes pun kemudian seperti orang bangkit dari
mimpi. Segera ia meloncat berdiri dan berlari meninggalkan belumbang yang
mengerikan itu. Tak diingatnya lagi barang-barang cuciannya serta pakaiannya
yang basah kuyup.


Sementara itu, Kuda Sempana menjadi marah bukan
kepalang. Ketika Wiraprana mendekap tubuhnya, ia tidak sempat mengelak karena
hal itu sama sekali tak diduganya. Tangan Wiraprana itu kemudian seakan-akan
terkunci di pinggangnya. Meskipun dengan sekuat tenaga ia menghantam tengkuk,
punggung, dan kepala Wiraprana namun tangan itu seperti tangan yang telah
melekat dengan jaringan kulitnya sendiri. Sehingga, karena marah, jengkel
bercampur baur, ia pun berteriak, “Wiraprana, jangan gila. Kau tidak berkelahi
seperti laki-laki. Lepaskan dan marilah kita berhadapan secara jantan.”


Tetapi Wiraprana tak mendengar kata-kata itu.
Telinganya seolah-olah telah tuli dan mulutnya membisu. Tangannya yang
melingkar itu menjadi kaku seperti tangan golek kayu.


Kuda Sempana mengempas-empaskan tubuhnya,
menendang, memukul, dan segala macam. Apalagi ketika dilihatnya Ken Dedes telah
berlari memanjat tebing.


Tetapi tiba-tiba langkah Ken Dedes terhenti.
Hampir saja ia melanggar sesosok tubuh yang tiba-tiba saja muncul dengan
tergesa-gesa. Terdengarlah gadis itu memekik kecil tetapi kemudian terdengar ia
berteriak nyaring, “Kakang Mahisa Agni!”


Mahisa Agni berdiri tegak seperti batu karang
yang kokoh kuat di tepi lautan. Sesaat wajahnya menyapu berkeliling, kemudian
terhenti pada tubuh-tubuh yang sedang bergulat di bawah bendungan. Dilihatnya
Kuda Sempana dengan bengisnya menghujani tubuh Wiraprana yang menjadi semakin
lemas. Dan bahkan akhirnya dilihatnya pelukan Wiraprana terlepas dan anak muda
itu jatuh terkulai di atas pasir tepian.


Ketika tangan Wiraprana terlepas dari tubuhnya,
segera Kuda Sempana meloncat berlari. Ia tidak mau melepaskan Ken Dedes lagi.
Telah bulat hatinya untuk melarikan saja gadis itu. Kalau ia sempat menangkap
dan membawanya ke atas kudanya. Ia tak perlu pulang. Berita tentang dirinya
akan memberitahukan kepada keluarganya bahwa ia telah kembali ke Tumapel. Ia
yakin pula bahwa tak seorang pun berani mengganggu keluarganya itu sebab ia
akan dapat menakut-nakuti mereka dengan kedudukannya sekarang.


Tetapi tiba-tiba langkahnya terhenti ketika
dilihatnya Ken Dedes berdiri rapat di belakang seorang anak muda yang tegak
seperti patung raksasa. Kakinya yang renggang seakan-akan berakar jauh terhujam
ke dalam tanah. Serta wajahnya yang tengadah membayangkan betapa teguh hatinya.


Sebelum ia sempat berkata sepatah kata pun,
terdengar batu karang itu seperti menggeram, “Kuda Sempana. Apakah yang telah
kau lakukan?”


Mata Kuda Sempana seakan-akan menyala karena
kemarahannya. Mahisa Agni itu pun akan mencoba menghalang-halanginya. Maka
katanya, “Agni. Jangan bersikap seperti seorang perwira tamtama. Lihatlah
Wiraprana. Ia telah mencoba melawan kehendakku.”


“Hem,” Mahisa Agni menarik nafas dalam-dalam.
Kuda Sempana itu dahulu adalah kawannya bermain pula seperti Wiraprana. Tetapi
tiba-tiba ia menjadi muak melihat wajah yang sombong itu. Maka katanya, “Kuda
Sempana. Jangan kau mencoba memperkecil arti kami, anak-anak Panawijen. Kau juga
anak dari tanah ini. Kau mampu menjabat pekerjaanmu sekarang. Demikian juga
anak-anak yang lain. Kau telah menghina kampung halamanmu sendiri.”


“Diam!” bentak Kuda Sempana.“Kalau kau ingin
mengalami nasib seperti Wiraprana, bilanglah.”


Selangkah demi selangkah Mahisa Agni berjalan
maju, menuruni tebing. Wajahnya menjadi tegang dan matanya menjadi bercahaya.
Kemarahan di dadanya telah menjalari kepalanya. Ditatapnya wajah Kuda Sempana
seperti menatap wajah hantu. Ya, baru semalam Mahisa Agni berkelahi melawan
hantu padang Karautan. Dan hantu itu tidak dapat mengalahkannya meskipun ia pun
tak akan dapat memenangkan perkelahian itu. Tetapi yang berdiri di hadapannya
sekarang bukan hantu Karautan yang menakutkan setiap orang. Yang ada di
hadapannya tidak lebih dari Kuda Sempana.


Tetapi Mahisa Agni tak pernah merendahkan orang
lain. Karena itu tak pernah ia kehilangan kewaspadaan. Demikianlah pada saat ia
berhadapan dengan Kuda Sempana. Diamatinya setiap lekuk kulit anak yang sombong
itu. Pakaian yang mewah namun sudah kusut dan kotor karena perkelahiannya
melawan Wiraprana.


Kuda Sempana, yang telah mendapat tempaan
keprajuritan beberapa tahun di Istana Tumapel, itu pun tidak sabar lagi. Dengan
garangnya ia berlari menyongsong Mahisa Agni. Tak ada sepatah kata pun lagi
yang meluncur dari mulutnya. Yang dilakukannya adalah langsung menyerang
lawannya.


Mahisa Agni telah bersiaga sepenuhnya. Karena
itu, dengan cepat ia mengelakkan diri. Sekali ia melingkar dan dengan sapuan
yang cepat, ia berhasil menyentuh lambung lawannya dengan tumitnya. Sentuhan
itu tidak terlalu keras dan Kuda Sempana pun tidak merasakan sesuatu karena
sentuhan itu. Namun sentuhan itu telah benar-benar mengejutkannya.


Ia sama sekali tidak menduga bahwa Mahisa Agni
mampu bergerak sedemikian cepatnya. Karena itu, sentuhan itu telah
memperingatkannya bahwa Mahisa Agni mampu mengelak dan sekaligus menyerang
dengan cepatnya sehingga ia tidak seharusnya melayani Mahisa Agni seperti
melayani Wiraprana yang tegap tinggi itu. Tetapi Kuda Sempana terlalu percaya
kepada dirinya. Dikenalnya seluruh anak-anak muda di Panawijen. Di antara
mereka, tak seorang pun yang pernah menerima gemblengan seperti yang dialaminya
di Istana Tunggul Ametung. Wiraprana tidak dan Mahisa Agni pun juga tidak.
Karena itu, kembali ia membusungkan dadanya. Dengan penuh keyakinan kepada diri
sendiri, Kuda Sempana meloncat dan menyerang kembali dengan garangnya. Namun
Mahisa Agni menyambut serangan itu dengan tangkas. Disadarinya bahwa lawannya
kali ini telah memiliki bekal yang cukup bagi kesombongannya. Karena itu Mahisa
Agni sadar bahwa ia harus berhati-hati.


Kuda Sempana menyerang Agni seperti badai yang
melanda-landa. Cepat, keras, dan kuat. Tangan dan kakinya bergerak terayun-ayun
membingungkan. Berputar, melingkar tetapi kadang-kadang menempuh dadanya
seperti angin ribut menghantam gunung.


Namun Mahisa Agni benar-benar seperti gunung yang
tegak tak tergoyahkan. Angin ribut dan badai yang betapapun kuatnya,
seakan-akan hanya sempat mengusap tubuhnya, seperti angin yang silir membelai
kulitnya. Serangan-serangan Kuda Sempana, betapapun cepat dan kerasnya, tak
banyak dapat menyentuh kulit Mahisa Agni. Sehingga dengan demikian Kuda Sempana
menjadi semakin marah. Sama sekali tak diduganya bahwa Mahisa Agni telah
memiliki ilmu tata beladiri sedemikian baiknya. Anak itu dikenalnya beberapa
tahun yang lalu sebagai anak yang patuh kepada gurunya, patuh melakukan ibadah,
dan rajin bekerja di sawah ladang dan di rumah gurunya. Tetapi sama sekali tak
diketahuinya bahwa di balik dinding-dinding batu yang memagari rumah Empu
Purwa, Agni mendapat tempaan lahir dan batin. Di setiap perjalanan yang mereka
lakukan, di setiap kesempatan yang ada, bahkan hampir di setiap tarikan nafas,
Agni selalu menekuni dan mendalami ilmu lahir dan batin dari gurunya. Ilmu yang
akan dapat menjadi penguat tubuh dan nyawanya. Tubuhnya yang harus melawan
setiap tantangan lahiriah dan nyawanya yang harus dipersiapkan untuk menghadap
Yang Maha Agung.


Demikianlah maka perkelahian antara Kuda Sempana
dan Mahisa Agni itu pun semakin lama menjadi semakin sengit. Kuda Sempana telah
kehilangan pengamatan diri. Anak itu telah lupa segala-galanya selain
secepat-cepatnya mengalahkan lawannya.


Wiraprana, yang kemudian telah mendapat seluruh
kesadarannya kembali, dengan susah-payah mencoba mengangkat wajahnya yang penuh
lumuran darah. Dari sela-sela pelupuk matanya yang bengkak, ia melihat
perkelahian yang sengit antara Mahisa Agni dan Kuda Sempana. Sekali-kali tampak
mulutnya menyeringai menahan sakit namun kemudian tampak ia tersenyum. Tetapi
senyum itu pun segera lenyap dari bibirnya. Bahkan ia menjadi cemas apabila
Mahisa Agni akan mengalami nasib seperti dirinya.


Wiraprana mencoba mengumpulkan segenap sisa-sisa
kekuatannya. Perlahan-lahan ia mencoba mengangkat tubuhnya dan duduk di atas
pasir. Kedua tangannya yang lemah dengan susah-payah berhasil menyangga
tubuhnya.


Pandangan matanya yang semula agak kabur, kini
berangsur terang. Lambat laun ia dapat melihat perkelahian antara Kuda Sempana
dan Mahisa Agni dengan jelas. Desak-mendesak, hantam-menghantam singa lena.


Meskipun Wiraprana tidak memiliki ilmu sebaik
Mahisa Agni maupun Kuda Sempana namun Wiraprana telah mampu menilai keduanya.
Dengan bekal ilmunya yang sedikit, Wiraprana dapat mengetahui bahwa keadaan
Mahisa Agni cukup baik. Diam-diam ia berbangga dan berharap di dalam hatinya.
Ia mengharap Mahisa Agni dapat memenangkan perkelahian itu.


Kuda Sempana yang dibakar oleh kemarahan dan
kesombongannya bertempur dengan seluruh tenaganya. Matanya yang menyala
memancarkan dendam yang tersimpan di hatinya. Sekali-sekali ia melontarkan
pandangannya kepada Ken Dedes. Ia masih melihat gadis itu berdiri kaku di
tanggul bendungan. Kuda Sempana mengharap gadis itu untuk tetap tinggal di
sana. Sehabis pekerjaannya ini, ia akan menangkap gadis itu dan membawanya
lari. Perkelahian yang terjadi di antara anak-anak muda itu akan menutup
kemungkinan yang sebaik-baiknya baginya untuk menempuh cara yang wajar dan
sopan. Ia takut kalau Empu Purwa akan keberatan.


Tetapi Mahisa Agni tidak segera dapat dikalahkan.
Bahkan anak itu semakin lama seakan-akan menjadi semakin kuat dan cekatan.
Memang, ketika tubuh Agni telah dibasahi oleh peluhnya maka tenaganya menjadi
seakan-akan bertambah.


Akhirnya Kuda Sempana benar-benar menjadi mata
gelap. Ia sudah tidak dapat membuat pertimbangan-pertimbangan lagi dengan
otaknya. Hanya ada satu pilihan yang ada padanya. Membawa Ken Dedes bersamanya
ke Tumapel saat itu juga. Karena itu, siapa yang menghalang-halangi harus
disingkirkan. Dengan cara kasar atau halus. Wiraprana telah dilumpuhkan dan
kini Mahisa Agni melintang di hadapannya. Tiba-tiba terdengar Kuda Sempana
berteriak nyaring, “Rawe-rawe rantas, malang-malang putung!


Bersamaan dengan itu terdengar pula Ken Dedes
berteriak nyaring dibarengi geram Wiraprana parau. Katanya, “Agni,
hati-hatilah!”


Mahisa Agni meloncat surut. Ditatapnya Kuda
Sempana dengan tajamnya. Kemudian terdengar ia berdesis, “Adakah itu pilihanmu
Kuda Sempana yang perkasa?”


“Wanita adalah sama berharganya dengan pusaka,”
sahut Sempana, “taruhannya adalah nyawa. Kau atau aku yang binasa.”


Mahisa Agni menggeram. Terdengar gemeretak
giginya oleh kemarahannya yang meluap-luap. Ternyata Kuda Sempana tega pada
pati uripnya untuk mendapatkan gadis idamannya. Dilihatnya di tangan anak muda
itu sebilah keris.


Kini Mahisa Agni tak dapat berbuat lain kecuali
berkelahi mati-matian. Ia sama sekali tak bersenjata. Namun ia pun tak dapat
disilaukan hatinya oleh Kuda Sempana yang kini bersenjata.


Perlahan-lahan Mahisa Agni menggosokkan kedua
telapak tangannya. Tetapi tiba-tiba ia menggeleng lemah. Diamatinya kedua
telapak tangannya itu. Terdengar ia bergumam perlahan sekali sehingga hanya
dapat didengarnya sendiri, “Tidak. Belum waktunya aku mempergunakan pusaka
pula. Aku akan mencoba menyelesaikan perkelahian ini dengan wajar.”


Namun yang terdengar adalah suara Kuda Sempana,
“Agni, aku masih memberimu sekedar waktu. Tinggalkan tempat ini!”


Mahisa Agni menggeleng lemah, jawabnya, “Harus
ada seseorang yang mencegah perbuatan gilamu itu.”


Kuda Sempana tidak menunggu mulut Agni mengatub.
Seperti tatit ia menyambar dada lawannya dengan ujung kerisnya.


Untunglah bahwa Agni tetap bersiaga sehingga ia
berhasil menyelamatkan dirinya. Dengan tangkas ia menghindari ujung maut yang
menghampirinya. Berbareng dengan kemarahannya yang merayap ke ubun-ubunnya.
Kuda Sempana telah benar-benar bertempur antara hidup dan mati.


Mahisa Agni pun kemudian tidak mau
diombang-ambingkan oleh ketidaktentuan dari ujung dan pangkal perkelahian itu.
Meskipun anak muda, murid Empu Purwa itu, belum mempergunakan senjata apa pun
namun ia telah melepaskan segenap ilmu lahiriahnya. Telah diperasnya tenaga
serta keprigelannya untuk melawan keris Kuda Sempana. Dan keris Kuda
Sempana memang berbahaya. Ujungnya seperti seekor lalat yang mendesing-desing
di sekeliling tubuhnya. Tetapi Agni cukup lincah sehingga lalat itu tidak
sempat hinggap di kulitnya. Meskipun demikian, seluruh tubuh Agni telah
basah-kuyup oleh keringatnya yang mengalir semakin lama semakin deras.


Namun Mahisa Agni adalah murid Empu Purwa yang
tekun. Tak ada kesempatan yang dilepaskannya. Karena itu Agni memiliki beberapa
kelebihan dari Kuda Sempana. Meskipun anak muda itu bersenjata namun akhirnya
terasa bahwa ujung kerisnya sama sekali tak dapat mengimbangi ujung jari-jari
Mahisa Agni. Ujung jari-jari Agni dengan lincahnya menyentuh-nyentuh Kuda
Sempana hampir di setiap bagian tubuhnya yang dikehendaki. Dan jari-jari Mahisa
Agni benar-benar seperti batang-batang besi. Sehingga kedua tangan Agni itu
mirip benar seperti dua batang tombak yang masing-masing bermata lima. Tetapi
keris Kuda Sempana pun keris yang ampuh pula. Namun, meskipun keris itu berbisa
setajam bisa ular bandotan, serta meskipun Mahisa Agni tak berani terkena
akibat meskipun sentuhan seujung rambut sekali pun dengan keris itu, tetapi
lambat-laun namun pasti Mahisa Agni tampak selalu menguasai lawannya.


Ken Dedes yang tidak dapat menilai perkelahian
itu mengikutinya dengan gemetar. Perasaan takut dan ngeri menjalari dadanya.
Tetapi setiap kali ia menutup matanya, setiap kali ia mengintipnya dari
sela-sela jarinya, bahkan kemudian, seperti terpukau, ia memandang pergulatan
itu dengan hati yang tegang dan kehilangan kesadaran.


Dada Wiraprana pun tak kalah tegangnya. Masih
terasa betapa berat tangan Kuda Sempana. Dan di tangan itu kini tergenggam
keris. Namun ia percaya bahwa Mahisa Agni ternyata memiliki ketangkasan jauh
melampaui ketangkasannya.


“Aku tidak mengira,” desisnya lemah, “Aku tidak
pernah melihat anak itu membentuk dirinya menjadi seekor burung rajawali yang
perkasa.”


Mahisa Agni kini benar-benar bertempur seperti
seekor rajawali yang garang. Sekali-sekali ia menyambar dengan tangkasnya dan
sekali-sekali ia mematuk dengan cepatnya. Jari-jari Mahisa Agni benar-benar
tidak kalah berbahayanya dari keris Kuda Sempana. Mula-mula Kuda Sempana tidak
mau melihat kenyataan itu. Matanya benar-benar dibutakan oleh kesombongannya.


Namun lambat-laun hatinya digetarkan oleh
kenyataan. Mahisa Agni melawannya dengan gigih. Karena itu hatinya menjadi
semakin gelap dan anak muda itu bertempur membabi-buta.


Akhirnya Mahisa Agni menjadi tidak sabar lagi.
Perkelahian itu sudah berlangsung terlalu lama. Matahari yang merambat dari
kaki langit kini telah hampir mencapai puncak ketinggian.


Meskipun hampir segenap perhatian Mahisa Agni
tertumpah pada perkelahian itu namun didengarnya pula suara riuh yang semakin
lama semakin dekat. Terlintaslah di dalam benaknya bahwa suara riuh itu pasti
suara orang-orang Panawijen yang telah mendengar berita perkelahian itu. Beberapa
orang gadis yang lari ketakutan telah menceritakan tentang peristiwa itu kepada
orang-orang tua mereka, kepada kawan-kawan mereka, dan kepada anak-anak muda
seluruh desa. Karena itu maka beramai-ramailah mereka pergi ke sungai.


Agaknya Kuda Sempana pun mendengar suara riuh
itu. Maka ia pun menjadi gelisah. Tetapi ia yakin, meskipun dikerahkan segenap
tenaga dan kemampuannya namun Agni tak akan dapat dikalahkan. Bahkan tiba-tiba
tanpa diduganya, Agni menyerangnya bertubi-tubi seperti prahara. Beberapa kali
ia melangkah surut. Namun putaran angin prahara itu seakan-akan telah
memeluknya.


Sebenarnya Agni telah berusaha sedapat ia lakukan
untuk memperpendek perkelahian itu. Ia ingin menyelesaikannya sebelum
orang-orang Panawijen datang. Agni tidak akan dapat mengira-ngira apakah yang
akan mereka lakukan terhadap Kuda Sempana.


Agaknya usaha Mahisa Agni itu berhasil. Dengan
sebuah serangan lambung yang mendatar, Mahisa Agni berhasil memutar tubuh Kuda
Sempana yang berusaha untuk menghindar. Namun tiba-tiba Mahisa Agni meloncat ke
sisi. Dengan tangannya ia menghantam tengkuk lawannya. Sekali lagi Kuda Sempana
berusaha menghindari. Dengan merendahkan diri ia berputar menghadap lawannya.
Tangan kanannya tiba-tiba terjulur lurus dan ujung kerisnya mengarah ke dada Agni.
Namun Agni cukup tangkas. Setengah langkah ia miring. Ketika keris itu lewat
secengkang di hadapan dadanya, cepat-cepat ia memukul pergelangan tangan Kuda
Sempana. Pukulan itu demikian kerasnya sehingga terdengarlah seakan-akan tulang
pergelangan tangan itu retak. Kuda Sempana terkejut bukan kepalang. Gerak yang
sedemikian cepatnya itu sama sekali tak pernah diduganya. Apalagi dilakukan
oleh Mahisa Agni, anak yang menghabiskan waktu remajanya di belakang dinding
Desa Panawijen.


Tetapi yang terjadi adalah, kerisnya terlepas dan
terpelanting lebih dari tiga langkah daripadanya. Sedangkan perasaan sakit yang
menyengat pergelangan tangannya, seakan-akan merambat sampai ke ubun-ubunnya.
Terdengar Kuda Sempana mengaduh tertahan. Kemudian wajahnya menjadi semakin
membara. Ia hanya dapat menunggu apa yang akan dilakukan Mahisa Agni atasnya.
Meremukkan tulang-tulang iganya atau merobek wajahnya. Kuda Sempana telah
mengakui di dalam hatinya bahwa ia tak akan mampu membela diri seandainya
Mahisa Agni akan membunuhnya.


Suara riuh di kejauhan semakin lama menjadi
semakin dekat. Karena itu, Kuda Sempana menjadi semakin gelisah. Kalau penduduk
Panawijen menganggap bahwa ia telah mencoba melarikan Ken Dedes serta penduduk
itu berhasil menangkapnya, akibatnya dapat mengerikan sekali. Sekali-sekali
terlintas di dalam otaknya bahwa lebih baik berkelahi mati-matian daripada
menyerahkan diri. Kalau ia mati, dua-tiga orang pasti dapat dibunuhnya. Kuda
Sempana tahu benar bahwa penduduk Panawijen yang tenteram itu tidak terlalu berbahaya
baginya. Bahkan mungkin tak seorang pun yang akan berani menangkapnya, apalagi
anak Buyut Panawijen telah ditundukkannya. Tetapi tiba-tiba Kuda Sempana
menyadari bahwa di hadapannya berdiri Mahisa Agni. Karena itu maka terdengar
giginya gemeretak menahan hati.


“Kuda Sempana,” terkejut ketika terdengar Mahisa
Agni berkata perlahan-lahan, “Kuda Sempana, ambil kerismu.”


Pelangi di langit Singosari jilid-1 (hal 1-10;11-20;21-30;31-52) jilid-1 selesai bersambung jilid-2 Clip_image001Kuda Sempana memandang wajah Agni
dengan mata yang memancarkan keragu-raguan hatinya. Benarkah Agni berkata
demikian atau telinganya telah rusak karena pukulan-pukulan Agni yang keras.
Tetapi sekali lagi ia mendengar Sempana berkata, “Ambillah kerismu.”


Kuda Sempana masih ragu. Kakinya masih tetap tak
beranjak dari tempatnya sehingga Mahisa Agni mengulangnya sekali lagi,
“Ambillah kerismu.”


Seperti mimpi, Kuda Sempana berjalan beberapa
langkah, kemudian membungkuk memungut pusaka. Tetapi ia tidak tahu, apa yang
harus dilakukan kemudian.


Mahisa Agni pun kemudian menjadi bingung, apa
yang sebaiknya dilakukan. Kuda Sempana adalah pelayan dalam Akuwu Tumapel.
Kalau terjadi sesuatu atasnya di desa kelahirannya, apakah Tunggul Ametung akan
berdiam diri.


Selagi Mahisa Agni menimbang-nimbang, suara riuh
itu pun telah dekat benar di belakangnya. Ketika ia menoleh, di atas tanggul
muncullah beberapa orang laki-laki, yang langsung berlari menghambur menuruni
tebing sungai.


Kuda Sempana melihat mereka itu pula. Dengan
gerak naluriah ia bersiap. Meskipun perasaan sakit pada tubuhnya semakin terasa
seakan-akan menggigit tulang namun ia masih berdiri dengan kokohnya.


Yang mula-mula mencapai tepian, tempat
perkelahian antara anak-anak muda itu terjadi, adalah seorang yang bertubuh
tinggi kekar, berdada bidang. Ia adalah Buyut Panawijen. Rambutnya yang
digelung tinggi di kepalanya tampak sudah mulai ditumbuhi uban di pelipisnya.
Dengan penuh wibawa ia memandang berkeliling. Kepada Mahisa Agni yang masih
tegak seperti tonggak, Kuda Sempana yang berdiri dengan kaki renggang dan
berwajah tegang. Kemudian kepada anaknya Wiraprana. Anak muda itu dengan susah
payah mencoba berdiri. Ketika ditatapnya wajah ayahnya tiba-tiba ia tersenyum.


“Latihan yang jelek, Ayah,” katanya.


Tetapi Buyut Panawijen itu sama sekali tidak
tersenyum. Bahkan tampak ia menyesal. Desisnya, “Kalian telah menjadikan
pedukuhan yang damai ini menjadi gempar.”


Wiraprana tidak tersenyum lagi. Tertatih-tatih ia
berjalan mendekati ayahnya. Sementara itu, beberapa orang laki-laki tiba-tiba
saja telah melingkari mereka bertiga. Seakan-akan sengaja mengepung
rapat-rapat.


“Apakah yang telah terjadi?” geram Buyut
Panawijen itu.


Suasana kemudian dicengkam oleh kesepian.
Wiraprana, Mahisa Agni, dan Kuda Sempana menundukkan wajah mereka. Apalagi
ketika kemudian mereka mendengar suara nyaring dari tebing, “Agni, apakah yang
kau lakukan?”


Agni mengangkat wajahnya. Hatinya berdebar-debar
ketika ia melihat gurunya yang tua itu berlari tersuruk-suruk. Sesaat kemudian
semua mata memandang ke arahnya, Empu Purwa, ayah gadis yang menimbulkan
perkelahian tanpa dikehendakinya itu.


Kuda Sempana pun melihat orang tua itu. Timbullah
beribu-ribu pertanyaan di dalam dadanya. Orang tua itu sama sekali tidak tampak
sebagai seorang sakti selain seorang yang tekun beribadah. Apakah Agni
mempunyai guru yang lain dalam pengolahan badan wadagnya? Tetapi adalah suatu
kenyataan bahwa anak muda itu telah mengalahkannya.


“Agni,” berkata Empu Purwa terengah-engah setelah
ia sampai ke tempat orang-orang Panawijen itu berkerumun, “Adakah kau telah
membuat onar?”


Mahisa Agni tak berani memandang wajah gurunya.
Ingin ia mengatakan apa yang sudah terjadi sebenarnya tetapi mulutnya seperti
terkunci. Ia takut kalau dengan demikian ia akan menyinggung Ken Dedes dan
menjadi semakin malu karenanya.


“Agni,” terdengar Empu Purwa berkata pula,
“Apakah pula sebabnya engkau berkelahi? Apakah kau ingin menunjukkan bahwa kau
adalah laki-laki muda yang pandai bertengkar?”


Mahisa Agni menarik nafas. Namun mulutnya tetap
membisu sehingga terdengar Wiraprana berkata, “Bukan salah Agni, Empu.”


Empu Purwa menoleh. Dilihatnya Wiraprana yang
wajahnya menjadi merah biru. Katanya, “Adakah itu perbuatan Agni?”


“Bukan, Empu,” jawab Wiraprana cepat-cepat, “Agni
tak akan berbuat demikian.”


Orang tua itu kemudian merenungi Mahisa Agni,
seakan-akan anak itu belum pernah dilihatnya. Kemudian matanya beredar dan
hinggap di wajah Kuda Sempana. Dengan terbata-bata Empu Purwa itu bertanya,
“Angger Kuda Sempana, kenapa Angger nganggar keris. Apakah Agni
mengganggumu?”


Kuda Sempana pun tak dapat menjawab pertanyaan
itu sehingga tanpa disadarinya kembali pandangan matanya terkulai di atas pasir
tepian.


“Empu,” terdengar kemudian Buyut Panawijen
berkata, “aku pun sedang berusaha mengerti, apakah yang sedang terjadi di
sini.”


Empu Purwa mengangguk-angguk. Katanya, “Ya, ya Ki
Buyut. Aku menjadi gemetar ketika aku mendengar anak-anak berteriak-teriak di
jalan, katanya Angger Kuda Sempana, Angger Wiraprana, dan Mahisa Agni saling
berkelahi. Aku jadi sedemikian bingung sehingga aku tidak sempat bertanya-tanya
lagi.”


“Aku pun mendengar dari anak-anak itu,” sahut Ki
Buyut Panawijen. Kemudian kepada Wiraprana ia bertanya, “Benarkah itu Prana?”


“Tidak seluruhnya,” jawab anak muda itu, “Yang
mula-mula berkelahi adalah aku dan Kuda Sempana.”


“Kau?” ulang ayahnya.


“Ya,” jawab Wiraprana, “tidakkah anak-anak itu
berkata demikian?”


“Aku tak sempat mendengarnya,” sahut ayahnya.


“Dan akhir dari perkelahian itu,” Wiraprana
meneruskan, “Aku kalah. Tidakkah Ayah lihat mukaku yang bengap?”


“Aku tidak bertanya akhir dari perkelahian itu,”
potong ayahnya, “tetapi kenapa perkelahian itu mulai?”


Wiraprana pun menjadi ragu-ragu. Ditatapnya wajah
Kuda Sempana yang masih tunduk dalam-dalam. Kemudian ketika ia melayangkan
pandangannya ke atas tanggul, dilihatnya beberapa kepala gadis-gadis tampak
berderet-deret mengintip. Dan tiba-tiba dilihatnya Ken Dedes masih berdiri
menggigil di tebing sungai.


Orang-orang yang berdiri memagari itu pun menjadi
gelisah. Beberapa orang sebenarnya telah mendengar apa yang sebenarnya terjadi
dari anak-anak mereka namun ketika di tempat itu hadir pula Empu Purwa maka
mereka pun menjadi ragu-ragu pula untuk mengatakannya.


Tetapi sesaat kemudian Ki Buyut itu pun mendesak
pula, “Wiraprana, tidakkah kau bisa berkata?”


Wiraprana menarik nafas dalam-dalam dan ketika ia
sudah tidak dapat mengelak lagi, maka katanya, “Ayah, bertanyalah kepada mereka
yang menceritakan perkelahian itu. Itulah mereka, anak-anak yang tadi sedang
mencuci pakaian di belumbang ini. Mereka kini sedang mengintip apa pula yang
akan terjadi di sini.”


Mendengar jawaban itu maka semua mata tiba-tiba
bergerak ke atas tanggul. Sehingga tampak pulalah oleh mereka itu,
kepala-kepala gadis yang sedang mengintip dengan keingintahuan, bagaimanakah
akhir dari peristiwa itu.


Ken Dedes yang melihat semua mata memandang ke
arah tanggul di atasnya, merasa seolah-olah mata itu memandangnya dengan penuh
hinaan dan penyesalan. Ia merasa bahwa dirinya sebab dari keributan itu. Karena
itu maka perasaan bersalah, malu, sesal, dan segala macam bercampur-baur di
dalam dadanya. Alangkah rendah martabatnya sehingga beberapa orang laki-laki
terpaksa berkelahi karenanya. Karena itu maka tiba-tiba perasaan yang bergolak
di dadanya itu tak dapat dibendungnya lagi sehingga tiba-tiba gadis itu berlari
menghambur sambil berteriak, “Ayah, akulah yang bersalah.”


Empu Purwa terkejut mendengar teriakan itu. Ketika
ia melihat anaknya berlari kepadanya, ia pun menyongsongnya.


Demikian Ken Dedes sampai kepada ayahnya itu maka
dengan serta-merta ia menjatuhkan dirinya sambil menangis sejadi-jadinya.
Katanya di sela-sela tangis itu, “Ayah. Akulah sumber dari malapetaka yang
menimpa padukuhan kita yang damai. Karena itu Ayah, betapa hinanya aku maka
adalah lebih baik bagiku kalau Ayah sudi membunuhku. Biarlah aku mati di
hadapan penduduk Panawijen yang tenteram ini untuk menebus kesalahan dan arang
yang mencoreng di wajah keluarga.”


“Ken Dedes,” sahut ayahnya, “kenapakah kau ini?”


“Bunuh saja aku, Ayah,” tangis gadis itu.


Empu Purwa kemudian tegak seperti patung.
Ditatapnya rambut anaknya yang panjang berombak, terurai menutup punggungnya.


“Bangunlah anakku,” bisiknya, “katakan apa yang
sebenarnya terjadi. Aku adalah ayahmu.”


“Tidak!” teriak Ken Dedes, “Bunuh aku, Ayah.”


Ki Buyut Panawijen pun kemudian mendekatinya
pula. Dengan lembut ia berkata, “Ken Dedes, jangan menyalahkan diri sendiri.
Berkatalah apa yang terjadi.”


Mula-mula gadis itu tidak juga mau berkata.
Tetapi lambat laun, setelah beberapa orang membujuknya, Ken Dedes pun
mengangkat wajahnya, memandang ayahnya dengan sayu. Katanya, “Apakah ada
gunanya?”


“Berkatalah, supaya kami mendengar,” sahut Ki
Buyut Panawijen. Sebenarnya Ki Buyut itu pun telah dapat menduga, apa sebabnya
maka tiba-tiba saja pedukuhannya yang tenteram itu diributkan oleh sebuah
perkelahian yang mengerikan. Dan tiba-tiba pula ia pun menjadi malu. Satu di
antara mereka yang berkelahi adalah anaknya.


“Hem,” pikirnya. “Adakah anakku berkelahi karena
seorang gadis?”


Ken Dedes pun kemudian bercerita terbata-bata.
Dikatakannya apa yang telah terjadi, sejak awal sampai orang-orang itu melihat
apa yang terjadi di tepi sungai itu.


Kuda Sempana pun mendengar kisah itu pula. Setiap
kata yang diucapkan oleh gadis itu, serasa sebuah pukulan yang menampar
dadanya. Diamat-amatnya setiap wajah dari orang-orang Panawijen. Terbayanglah
pada wajah-wajah itu, perasaan sesal dan marah. Kuda Sempana tahu pasti bahwa
orang-orang itu pasti akan menyalahkannya. Lalu apakah yang akan mereka
lakukan? Nafas anak muda itu pun menjadi semakin cepat mengalir, dan karena itu
maka digenggamnya hulu kerisnya semakin erat.


Tetapi kemudian Kuda Sempana itu pun sadar bahwa
di hadapannya berdiri Mahisa Agni. Ketika dipandangnya wajah anak muda itu,
hati Kuda Sempana berdesir. Dilihatnya Mahisa Agni pun telah bersiap pula.


“Hem,” geram Ki Buyut Panawijen setelah Ken Dedes
selesai berbicara. Dipandanginya wajah Kuda Sempana yang kaku tegang. Kemudian
terdengar Buyut Panawijen itu berkata, “Angger Kuda Sempana. Benarkah cerita
putri Empu Purwa itu?”


Kuda Sempana mengerling ke setiap wajah laki-laki
Panawijen yang berdiri melingkar di sekitarnya. Kemudian disambarnya pula wajah
Mahisa Agni dan Wiraprana dengan sudut pandangannya. Kuda Sempana tak dapat
mengelak lagi. Di hadapannya berdiri beberapa orang saksi. Selain Wiraprana dan
Mahisa Agni, dilihatnya pula beberapa orang gadis berderet-deret di atas
tanggul. Sehingga karena itu terpaksa ia mengangguk sambil berkata, “Ya, Ki
Buyut. Tetapi aku terdesak oleh keadaan. Aku telah mencoba datang ke rumah Ken
Dedes. Tetapi gadis itu tak ada di rumah,”


“Adakah demikian adat di pedukuhan kita?” desak
Ki Buyut, “Kenapa Angger Kuda Sempana tidak mencari ayahnya. Bahkan seharusnya
dengan sebuah upacara?”


“Aku ingin mendapat kepastian sedangkan waktuku
terlalu pendek. Besok aku harus terus kembali ke Tumapel,” jawab anak muda itu.


“Di pinggir sungai?” bertanya Ki Buyut.


Kuda Sempana tak dapat menjawab. Tetapi hatinya
mengumpat. Hampir saja ia menyebut ada yang akan ditempuhnya. Melarikan Ken
Dedes dan menyembunyikannya sampai terdapat keturunan daripadanya. Tetapi niat
itu urung. Akibat dari adat itu pun tak akan mau ditanggungkan. Sebab bila niat
itu gagal dan keluarga gadis yang dilarikan itu menuntutnya, ia akan dapat
perlakuan yang mengerikan. Mati dirampok orang seperti seekor harimau yang
masuk ke dalam padukuhan.


Karena Kuda Sempana tidak menjawab maka sejenak
suasana menjadi sepi. Yang terdengar hanyalah gemericik air yang mengalir dan
jatuh berderai dari atas bendungan. Bulatan demi bulatan melingkar di wajah air
yang jernih itu, semakin lama semakin besar. Dan kemudian pecah membentur
tepian. Yang satu disusul dengan yang lain. Tak henti-hentinya sejak bendungan
itu selesai dibuat beberapa tahun lampau.


Di dalam kepala Ki Buyut Panawijen itu pun
melingkar-lingkar pula berbagai pertanyaan. Tanpa terucapkan namun ia tahu apa
yang akan ditempuh oleh Kuda Sempana. Dikenalnya anak itu sebagai anak yang
cenderung menuruti kemauan sendiri. Karena itu tiba-tiba ia berdesis, “Sayang.
Sebenarnya kami, penduduk dari pedukuhan ini, merasa bangga bahwa seorang
anaknya telah berhasil merebut hati sang Akuwu Tumapel sehingga mendapat tempat
yang baik di sisinya. Kepercayaan itu sebenarnya kami rasakan sebagai suatu
kepercayaan pula buat kami, penduduk Panawijen yang sepi. Angger Kuda Sempana
akan dapat menjadi tempat kami untuk berteduh jika hujan turun dan bernaung
jika terik matahari membakar tubuh. Tetapi sayang. Sayang….” Penyesalan yang
dalam membayang di wajah Buyut Panawijen itu.


Tak seorang pun menyambung kata-kata itu. Mereka
tinggal menunggu apa yang akan dilakukan oleh pimpinan pedukuhan itu. Namun
timbullah di dalam setiap kepala, keragu-raguan untuk berbuat sesuatu. Pikiran
itu bertolak dari pendapat yang sama pula. Kuda Sempana adalah pengawal dalam
Akuwu Tumapel. Sedang setiap orang tahu sifat dan tabiat yang aneh dari Tunggul
Ametung itu. Tunggul Ametung dapat berbuat sebaik-baiknya sebagai seorang Akuwu
namun ia dapat pula berbuat sekejam-kejamnya. Akuwu itu benar-benar orang yang
keras hati, sekeras batu akik namun pada suatu saat hati itu dapat selunak
kapas.


Karena itu tak seorang pun dapat membayangkan apa
yang akan dilakukan oleh Tunggul Ametung jika salah seorang pengawalnya
mengalami perlakuan yang jelek di kampung halamannya. Meskipun demikian, adat
harus ditegakkan. Meskipun Kuda Sempana itu senapati sekali pun, seharusnya ia
mendapat perlakuan yang sama apabila telah dilakukan sesuatu kesalahan.


Dan semuanya itu tergantung kepada Empu Purwa,
ayah dari gadis yang akan dilarikan itu.


Maka akhirnya semua mata pun tertuju kepadanya.
Apakah yang akan dikatakan oleh orang tua itu. Apabila orang tua itu menganggap
bahwa Kuda Sempana telah melarikan anak gadisnya dan maksud itu dapat dicegah
maka ia dapat menuntut hukuman atas anak muda itu.


Kuda Sempana pun sadar akan hal itu. Namun telah
bulat tekad di dalam hatinya, bahwa wanita, pusaka, dan nyawanya tak berbeda
nilainya. Karena itu maka ia pun telah bersiap untuk menghadapi segala
kemungkinan. Menghadapi Mahisa Agni sekali pun meskipun akan berakibat maut
baginya.


Empu Purwa menyadari keadaannya. Ditatapnya
setiap wajah dari tetangga-tetangganya itu. Dilihatnya keragu-raguan dan
kecemasan di wajah-wajah itu. Sekali dipandangnya wajah anaknya pula. Pucat dan
gemetar. Hatinya masih saja dicengkam oleh perasaan malu dan hina. Ketika
kemudian Empu Purwa memandang wajah Mahisa Agni, dilihatnya wajah itu merah
membara. Dengan tajam anak muda itu tak melepaskan pandangannya atas Kuda
Sempana.


“Angger Kuda Sempana,” kemudian terdengar orang
tua itu berkata, “adakah angger tadi benar-benar bermaksud melarikan Ken
Dedes?”


Kuda Sempana menggigit bibirnya. Ketika
terpandang olehnya wajah Wiraprana yang bengap merah biru, dilihatnya anak muda
yang tinggi besar itu tersenyum sambil mengangguk kecil.


“Persetan!” umpatnya di dalam hati namun mulutnya
terpaksa menyahut, “Ya, Empu.”


Empu Purwa menarik nafas dan hampir setiap mulut
kemudian mengucap berbagai kata-kata yang tidak jelas.


Ketika untuk sesaat kemudian Empu Purwa terdiam
maka keadaan menjadi tegang. Orang-orang Panawijen itu melihat wajah Empu Purwa
seakan-akan tanggul yang sudah penuh dengan air. Apabila tanggul itu bobol maka
akan datanglah banjir. Dan orang-orang yang berdiri tegak memagari itu pun
harus ikut serta. Dan Kuda Sempana adalah biduk yang akan digulung oleh
kedahsyatan banjir itu.


Tiba-tiba ketegangan itu dipecahkan oleh
pertanyaan Empu Purwa kepada Kuda Sempana, “Angger, adakah Angger menyesal?”


Pertanyaan itu benar-benar tak terduga. Baik oleh
Kuda Sempana sendiri maupun oleh orang-orang Panawijen. Karena itu Kuda Sempana
tidak segera menjawab. Ditatapnya wajah Empu Purwa dengan ragu sSehingga Empu
Purwa yang tua itu mengulangi pertanyaannya, “Angger, adakah Angger menyesal
atas perbuatan itu?”


Pertanyaan itu jelas. Kata demi kata. Setiap
orang tahu maksud pertanyaan itu. Karena itu setiap orang menarik nafasnya.
Seakan-akan mereka melihat air yang memenuhi tanggul itu menjadi surut. Namun
Kuda Sempana masih belum menjawab. Di dalam dadanya timbullah suatu pergolakan
yang riuh. Sudah pasti sama sekali tak dihendakinya apabila orang-orang
sekampungnya akan beramai-ramai mengeroyoknya seperti seekor harimau yang
tersesat masuk ke kampung. Tetapi untuk menarik diri terasa bahwa harga dirinya
tersentuh. Ketika dilihatnya Mahisa Agni tegak seperti karang, sekali lagi ia
mengumpat di dalam hatinya, kalau saja anak gila itu tidak ada di sini maka
orang-orang Panawijen, laki-laki perempuan, tua muda, akan dihadapinya. Tetapi
kini Agni yang garang itu masih berdiri tegak di hadapannya. Maka sesaat Kuda
Sempana pun membuat perhitungan-perhitungan. Ia tidak takut mati. Namun ia
masih ingin menunda kematian itu. Meskipun demikian anak muda yang gagah itu pun
tidak segera menjawab sehingga kemudian kembali terdengar suara pendeta tua
itu, “Angger, aku tahu, betapa berat untuk mengucapkan kata-kata yang tak
pernah terucapkan. Apalagi oleh seorang satria seperti Angger Kuda Sempana.
Karena itu maka baiklah aku pakai cara seorang tua. Kalau Angger Kuda Sempana
menyesal, sarungkanlah keris angger.”


Kembali keadaan menjadi tegang. Semua mata
terpaku ke tangan Kuda Sempana yang menggenggam kerisnya erat-erat. Kuda
Sempana sendiri pun memandang tangannya itu. Dan tangan itu menjadi gemetar.
Setiap orang yang memandang tangan itu pun kemudian menjadi ngeri. Keris itu
benar-benar pusaka yang menakjubkan. Kalau Kuda Sempana tak mau menyarangkan
keris itu maka keris itu pun segera akan menari-nari. Setiap orang akan dapat
mengalami nasib yang jelek karenanya.


Ketika tangan Kuda Sempana itu bergerak
perlahan-lahan maka orang-orang yang terdekat pun bergeser. Namun semua orang
menarik nafas lega ketika mereka melihat, ujung keris yang gemetar itu manjing
ke dalam wrangkanya.


“Syukurlah berkata Empu Purwa kemudian sambil
mengangguk-angguk kecil, “ternyata Angger berjiwa besar.”


Kemudian, pendeta tua itu pun berkata kepada
Buyut Panawijen, “Ki Buyut, marilah persoalan ini kita hadapi dengan jiwa besar
pula. Marilah semuanya ini kita lupakan.”


Ki Buyut Panawijen mengangguk-angguk pula. Di
dalam hatinya pun tersimpan perasaan semacam itu. Meskipun di sudut hati itu
yang paling dalam melengking pula pertanyaan, “Adakah Kuda Sempana itu akan
dibiarkan membawa kesalahannya tanpa hukuman apapun?” Namun terdengar pula
jawaban dari sudut yang lain, “Ayah gadis itu tak menuntutnya. Dan, bukankah
anak muda itu pengawal dalam istana Tumapel.”


Ki Buyut Panawijen memandangi Kuda Sempana yang
gagah itu. Pakaian kelengkapannya yang indah meskipun kotor dan kusut, sabuk
bertimang emas dengan mata berlian.


Akhirnya Buyut Panawijen itu pun berkata, “Angger
Kuda Sempana. Angger telah berbuat kesalahan. Tetapi untunglah segala sesuatu
masih belum terlanjur. Aku tak dapat menyalahkan Wiraprana dan Angger Mahisa
Agni, bukan karena Wiraprana itu anakku. Berterima kasihlah Angger Sempana
kepada anak-anak muda yang mencegah Angger, sebelum Angger sempat menyentuh
gadis yang akan Angger larikan, sehingga kebebasan Angger dari setiap hukuman
tidak terasa sebagai pelanggaran yang mutlak atas adat di kampung kita. Namun
janganlah hal ini menjadi contoh. Kalau Empu Purwa menghendaki, hukuman itu
mempunyai alasan yang cukup untuk dijatuhkan. Tetapi dengan demikian, peristiwa
ini akan benar-benar mengganggu ketenteraman pedukuhan kita. Maka bijaksanalah
Empu Purwa. Meskipun demikian, tak dapat angin lalu tanpa menggoyangkan
daun-daun pepohonan. Karena itu, baiklah aku minta, sebagai orang yang diserahi
tanggung jawab atas pedukuhan ini, agar Angger Kuda Sempana segera meninggalkan
kampung kita. Jangan kembali sebelum sampai pada bilangan tahun.”


Kuda Sempana yang gagah itu mengerutkan
keningnya. Ia memandang hampir semua orang yang berdiri di sekelilingnya.
Hukuman yang jauh lebih ringan dari yang diduganya itu tidak juga menyenangkan
hatinya. Terasa bahwa sejak saat itu, ia akan dipisahkan dari tanah
kelahirannya, sedikitnya untuk setahun. “Persetan tanah kelahiran yang beku
ini!” pikirnya, “Di Tumapel aku mempunyai lingkungan yang jauh lebih baik dari
orang-orang yang bodoh dan keras kepala ini. Apakah artinya bagiku, bendungan,
belumbang, rumpon, sawah, parit, dan segala macam yang pasti akan menjemukan.
Di Tumapel, aku dapat bermain-main dengan kuda, tombak, dan kemewahan.” Tetapi
Kuda Sempana memandang Ken Dedes yang masih duduk di pasir tepian. Terasa
hatinya berdesir. Dan tiba-tiba menyalalah dendam yang membakar hatinya atas
kampung halamannya, atas orang-orang yang melingkungi hidupnya semasa
kanak-kanaknya. Dan dendam itu harus ditumpahkan. Kalau ia tak dapat memetik
bunga dari lereng Gunung Kawi itu maka biarlah bunga itu akan digugurkan saja
dari tangkainya. Sama sekali ia tidak rela melihat orang lain, apalagi
pemuda-pemuda desa seperti Agni atau Wiraprana, kelak akan memetiknya.


Sekali lagi Kuda Sempana memandangi setiap wajah
itu dengan muaknya. Kemudian dengan tergesa-gesa ia meloncat pergi meninggalkan
mereka dengan dendam yang membara di dadanya.


Berpuluh-puluh pasang mata mengikuti langkah
pemuda yang gagah itu. Sesaat kemudian Kuda Sempana telah meloncat ke atas
punggung kudanya yang sedang asyik makan rerumputan segar. Namun ketika terasa
sentuhan pada lambungnya, segera kuda yang tegar itu menengadah dan meloncatlah
ia dengan lajunya meninggalkan tepian sungai itu.


Beberapa orang menarik nafas lega. Mereka seakan
merasa terlepas dari bencana. Ki Buyut Panawijen dan Empu Purwa pun
mengangguk-anggukkan kepala mereka.


“Anak yang keras kepala,” desis Ki Buyut.


Tak seorang pun yang menyahut.


“Marilah kita tinggalkan tempat ini,” berkata
Buyut Panawijen itu pula.


Beberapa orang yang lain pun segera bergerak
mengikuti Buyut Panawijen itu. Tanpa berkata-kata sepatah pun, mereka mendaki
tebing dan hilang di belakang tanggul.


Yang tinggal kemudian adalah Empu Purwa, Ken
Dedes, Mahisa Agni, dan Wiraprana. Sedangkan gadis-gadis yang mengintip dari
atas tanggul, satu demi satu menuruni tebing untuk mengambil cucian-cucian
mereka yang tinggal di belumbang.


Untuk beberapa saat Empu Purwa, Mahisa Agni, dan
Wiraprana masih memandang ke arah Kuda Sempana menghilang. Empu yang tua dan
bijaksana itu mengeluh di dalam hatinya Sebenarnya Empu Purwa yang telah cukup
banyak mengenyam pahit manisnya kehidupan, segera dapat mengerti bahwa Kuda
Sempana sama sekali tidak ikhlas atas keputusan yang diambilnya. Namun perasaan
itu sama sekali tak diungkapnya. Tetapi betapa pendeta tua itu terkejut ketika
terdengar suara Mahisa Agni lirih, “Bapa, adakah Kuda Sempana menerima
keputusan ini dengan jujur?”


Empu Purwa memandang Agni dengan seksama. Ia pun
sadar bahwa tidak mustahil orang-orang lain pun menyimpan pertanyaan yang
demikian di dalam hatinya. Meskipun demikian ia menjawab, “Angger Kuda Sempana
adalah seorang satria yang berjiwa besar. Seorang yang demikian akan melihat
kenyataan dengan jujur.”


Mahisa Agni kecewa mendengar jawaban itu. Tetapi
ia sadar, bahwa di kampung halamannya, gurunya itu tidak lebih dari seorang
pendeta yang meluluhkan diri dalam ketekunan beribadah. Di pedukuhan yang
tenteram damai itu, tak seorang pun yang pernah melihat bahwa Empu Purwa yang
tua dan alim itu mampu menggenggam segala macam senjata di kedua sisi
tangannya. Mampu menghantam hancur lawan yang betapa pun tangguhnya hanya
dengan tangannya. Tetapi masa-masa yang demikian telah lampau bagi pendeta tua
itu. Namun demikian, ia tidak menutup mata atas suatu kenyataan bahwa
kadang-kadang kebenaran harus dibela dengan kemampuan yang demikian.
Kadang-kadang diperlukan kekuatan jasmaniah untuk menegakkan keadilan dan
terutama untuk melawan segala bentuk kejahatan dan pengingkaran atas kebenaran
dan keadilan itu. Kebenaran dan keadilan yang sebenar-benarnya. Kebenaran dan
keadilan yang dibenarkan oleh Yang Maha Agung. Karena itulah maka ia menempa
anak muda yang bernama Agni itu. Semoga anak itu dapat mengamalkan ilmunya.
Mengamalkan, dan bukan sebaliknya.


Pendeta tua itu tersentak ketika kemudian
Wiraprana berkata, “Empu, aku melihat sesuatu membayang di wajah Kuda Sempana.”


“Apakah itu?” bertanya Empu Purwa.


“Dendam,” jawab Wiraprana.


“Oh,” sahut Empu Purwa, “Tidak. Jangan
berprasangka, Ngger. Tak baik orang menyimpan dendam di dalam dirinya.”


“Yang menyimpan dendam itu bukan aku, Empu,”
jawab Wiraprana sambil tersenyum, “tetapi Kuda Sempana.”


“Ya, ya,” potong pendeta itu cepat-cepat,
“maksudku bukan Angger. Tetapi siapa saja,. semua orang.”


Wiraprana mengangguk-anggukkan kepalanya.
Meskipun wajahnya masih merah biru namun anak muda itu selalu tersenyum saja.
Hanya kadang-kadang tampak ia menyeringai, kalau nyeri-nyeri di punggungnya
terasa seperti menyengat-nyengat sampai ke ubun-ubun.


Sesaat kemudian Empu Purwa itu teringat kepada
anaknya yang masih duduk lesu di atas pasir. Dengan lembut orang tua itu
berkata sambil menarik lengan putrinya, “Ken Dedes, marilah kita pun pulang.
Ambillah cucianmu.”


Ken Dedes menatap wajah ayahnya. Wajah seorang
yang paling dikasihi dari semua orang yang dikenalnya.


“Adakah kau sudah selesai dengan cucianmu?”
bertanya ayahnya.


Ken Dedes menggeleng.


“Apakah kau ingin menyelesaikannya,” bertanya
ayahnya pula.


Sekali lagi gadis itu menggeleng.


“Kalau demikian, marilah kita pulang. Biarlah kau
selesaikan di rumah,” ajak Empu Purwa.


Perlahan-lahan Ken Dedes berdiri dan berjalan ke
belumbang untuk mengambil cuciannya. Namun wajahnya yang pucat itu selalu
ditundukkannya. Tak berani ia menatap wajah kawan-kawannya yang seakan-akan
memandangnya dengan penuh persoalan.


Sesaat kemudian mereka itu pun pulang
bersama-sama. Empu Purwa berjalan membimbing putrinya. Di belakang mereka
berjalan Mahisa Agni dan Wiraprana, Namun kadang-kadang Wiraprana masih harus
berpegangan pundak sahabatnya itu.


Di perjalanan itu pun mereka tak banyak
bercakap-cakap. Mereka sedang asyik bermain-main dengan angan-angan. Di dalam
kepala Mahisa Agni masih saja membayang wajah Kuda Sempana yang menyala-nyala
liar. Karena itu, mau tidak mau Mahisa Agni harus berpikir, “Bagaimanakah kalau
anak itu datang sebelum waktu yang ditentukan? Apalagi kalau anak itu datang
tidak seorang diri, tetapi dengan beberapa kawannya dari Tumapel?”


Tetapi kemudian dihiburnya sendiri hatinya, “Empu
Purwa pasti tidak akan membiarkan anaknya mengalami nasib sedemikian Kalau
perlu, perlu sekali, maka orang tua itu pasti akan membela anaknya. Kalau
terpaksa, pasti ia akan mempertahankan dengan kekerasan pula.” Demikianlah
batin Mahisa Agni menjadi agak tenteram karenanya.


Setelah mengantarkan Wiraprana, Agni pun segera
pulang ke rumah gurunya. Dan sehari itu sama sekali tak dijumpainya Ken Dedes,
yang kemudian merendam diri di dalam biliknya.


Empu Purwa pun tidak dijumpainya di halaman atau
di pendapa. Seorang cantrik berkata kepadanya bahwa Empu Purwa sedang berada di
sanggarnya.


Terasa sehari-hari rumah itu menjadi sepi. Mahisa
Agni berjalan hilir-mudik dengan gelisah. Sekali dipegangnya senggot timba
untuk mengisi jambangan tetapi belum lagi pekerjaan itu selesai, Mahisa Agni
telah berpindah pekerjaan. Diambilnya cangkul dan sabit. Dicobanya melupakan
kegelisahan dengan menyiangi pertamanan di belakang. Namun pekerjaan ini pun
tak menyenangkannya. Burung-burung peliharaannya yang bernyanyi riuh itu pun
tak menarik perhatiannya. Akhirnya Mahisa Agni pun menyekap diri di bilik
belakang. Bilik yang dipergunakannya untuk mesu diri, melatih tubuh wadagnya
sejak ia mulai berguru kepada Empu Purwa itu. Dengan serta-merta dilepasnya
ikat pinggangnya, diikatkan di pinggangnya. Dengan sebuah loncatan tinggi
Mahisa Agni mulai dengan latihannya. Latihan yang lain daripada saat-saat
berlatih. Ia hanya ingin melepaskan kesepian dan kegelisahan yang
mencengkamnya. Dilakukannya berbagai gerakan, dari yang paling sederhana sampai
yang paling sulit yang pernah dipelajarinya. Dengan tangkasnya ia
meloncat-loncat seperti kijang. Melingkar, berputar, dan melambung ke udara.
Ketika ia telah menjadi jemu dengan segala gerakan itu, tiba-tiba di tangannya
telah tergenggam sebilah pedang yang diraihnya dari dinding biliknya. Dengan
lincahnya Mahisa Agni mempermainkan pedangnya. Kadang-kadang ia mencoba membuat
gerakan-gerakan yang indah namun tiba-tiba gerakannya menjadi cepat dan kaku.
Demikianlah Mahisa Agni melepaskan kejemuan dengan berbagai-bagai senjata.
Pedang, tombak, cemeti, dan jenis-jenis senjata lain. Sehingga akhirnya Mahisa
Agni menjadi lelah. Satu demi satu senjata-senjata itu dikembalikannya pada
tempatnya, dan yang terakhir Mahisa Agni meletakkan tubuhnya di sudut bilik
itu. Demikian lelahnya setelah semalam ia harus bertempur melawan hantu
Karautan, pagi itu, dengan Kuda Sempana dan masa latihannya berlebih-lebihan,
maka akhirnya Mahisa Agni pun tertidur dengan nyenyaknya.


Betapa mimpi yang aneh-aneh telah mengganggunya.
Dilihatnya di dalam mimpi itu, Ken Dedes meloncat ke dalam perahu yang megah di
sebuah danau yang tenang. Tetapi tiba-tiba air danau itu pun bergolaklah.
Sebuah angin yang kencang telah mengguncang perahu yang megah itu sehingga
perahu itu bergoyang dengan kerasnya. Ken Dedes yang berada di dalam perahu itu
terlempar dan segera ditelan oleh gelombang yang ganas. Dan yang terakhir
Mahisa Agni melihat perahu itu tenggelam. Bagaimanapun ia mencoba untuk
menolong Ken Dedes maupun perahunya namun sia-sia. Bahkan akhirnya dirinya pun
terguncang keras-keras.


Mahisa Agni terkejut. Perlahan-lahan ia membuka
matanya. Dilihatnya bilik itu menjadi gelap. Seorang tua dengan lampu di tangan
berdiri di sampingnya. “Agni,” berkata orang itu, “Apakah kau sedang bermimpi?”


Perlahan-lahan Mahisa Agni bangkit. Dilihatnya
keadaan di sekelilingnya. Ternyata ia masih berada di dalam biliknya.


Sekali ia menggeliat, kemudian jawabnya, “Ya
Guru, sebuah mimpi yang jelek.”


“Aku sudah menduga. Di dalam tidur kau
menggeram,” sahut gurunya.


Mahisa Agni menarik nafas dalam-dalam. Syukurlah
bahwa semuanya itu hanya terjadi di dalam mimpi. Namun meskipun demikian mimpi
itu sangat mengganggunya. Sehingga kemudian terluncur juga dari mulutnya,
“Guru, mimpiku menggelisahkan sekali. Adakah setiap mimpi itu mempunyai arti?”


“Apakah mimpimu itu?” bertanya gurunya.


Mahisa Agni mencoba untuk menceritakan mimpinya.
Sejak awal sampai betapa ia meronta-ronta melawan ombak yang
menghempas-hempaskannya.


Empu Purwa mengerutkan keningnya. Tampaklah
wajahnya menjadi tegang. Namun kemudian ia tersenyum, katanya, “Waktu mimpimu
itu adalah waktu yang tak membawa arti. Mimpi yang mengandung makna adalah
mimpi pada saat-saat antara ayam jantan berkokok untuk kedua dan ketiga
kalinya. Mimpimu adalah mimpi seseorang yang terlalu banyak tidur, Agni.”


Mahisa Agni pun tersenyum pula. Tetapi senyumnya
itu pun sama sekali tidak meyakinkan. Mahisa Agni telah mengenal gurunya
baik-baik, sehingga ia tahu benar tabiat orang tua itu. Meskipun orang tua itu
mencoba menghapuskan kesannya atas mimpi Mahisa Agni, namun tertangkap juga
oleh Mahisa Agni, kegelisahan yang membayang di wajah itu, meskipun hanya
sesaat. Tetapi ia tidak berani bertanya lebih lanjut.


“Agni,” berkata Empu Purwa kemudian,
“bersihkanlah dirimu. Kami sudah makan malam. Makanlah dahulu, kemudian
datanglah kepadaku. Ada yang akan aku bicarakan.”


Mahisa Agni mengerutkan keningnya. Gurunya
memanggilnya. Pasti ada sesuatu yang penting.


Mahisa Agni pun kemudian berdiri dan
perlahan-lahan berjalan keluar. Panggilan gurunya itu agak mengganggunya, di samping
mimpi yang menggelisahkan itu.


“Mimpi seseorang yang terlalu banyak tidur,”
gumamnya, “Mudah-mudahan.” Namun meskipun demikian Mahisa Agni tak dapat
melupakannya.


Setelah membersihkan diri, Mahisa Agni segera
pergi ke dapur. Dilihatnya Ken Dedes duduk di atas bale-bale bambu. Ketika
dilihatnya ia datang, segera gadis itu menyapanya, “Kau tertidur di bilik
belakang Kakang?”


Mahisa Agni mengangguk. Ditatapnya wajah gadis
itu. Pucat, dan tampak bendul di kedua pelupuk matanya. Agaknya gadis itu
sehari-harian menangis di dalam biliknya.


Ken Dedes memalingkan wajahnya. Ia merasa Mahisa
Agni memandang bendul di pelupuk matanya itu. “Apa yang kau tatap itu Kakang?
Apakah kau belum pernah melihat mataku?” katanya sambil mencoba tersenyum.


“Bukan apa-apa,” jawab Agni. Dan tiba-tiba saja
sikapnya menjadi canggung. Ia telah berkumpul dengan Ken Dedes dalam satu rumah
bertahun-tahun lamanya. Namun kini terasa gadis itu menjadi asing baginya.
iyang
iyang
Premium member
Premium member

Jumlah posting : 703
Join date : 09.03.10
Age : 51
Lokasi : Tarumajaya Bekasi, 085714907816

Kembali Ke Atas Go down

Pelangi di langit Singosari jilid-1 (hal 1-10;11-20;21-30;31-52) jilid-1 selesai bersambung jilid-2 Empty Re: Pelangi di langit Singosari jilid-1 (hal 1-10;11-20;21-30;31-52) jilid-1 selesai bersambung jilid-2

Post  Sponsored content


Sponsored content


Kembali Ke Atas Go down

Kembali Ke Atas

- Similar topics

 
Permissions in this forum:
Anda tidak dapat menjawab topik